Oleh: Anindita Ekaning Saputri
Alumnus UHAMKA
Pemerintah berencana membangun hunian vertikal dengan konsep
transit oriented development (TOD) untuk para milenial.
Pasalnya, berdasarkan data milik Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebanyak 81 juta
penduduk Indonesia kelompok milenial belum memiliki rumah. Namun, kebutuhan akan kepemilikan rumah tidak hanya milenial saja, tapi semua rakyat.
Belum terpenuhinya
kebutuhan rumah ada banyak faktor, di antaranya karena harga mahal. Meski ada subsidi dari pemerintahan namun tetap saja
harga rumah tetap menjulang tinggi sehingga sulit untuk dijangkau masyarakat.
Dalam sistem kapitalisme, kebutuhan rumah menjadi tanggung jawab individu. Hal
ini menunjukkan negara abai atas kondisi rakyat yang lemah dan miskin.
Dalam sistem ekonomi kapitalis menjadikan negara berlepas
tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hunian bagi rakyat. Sementara itu,
korporasi sebagai operator jelas berorientasi semata-mata hanya untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya bukan pada pelayanan. Pemberian konsesi serta
liberalisasi lahan pada pihak swasta mengakibatkan lahan perumahan dalam
kendali dan kekuasaan korporasi pengembang.
Konsep kapitalisme
berupa anggaran berbasis kinerja hanyalah memfasilitasi korporasi
mengomersialkan hunian yang dibutuhkan publik. Adanya liberalisasi harta milik
umum menjadi salah satu yang berperan mahalnya harga rumah. Perhatian atas
pemenuhan rumah pun seharusnya tidak hanya pada milenial, tapi pada semuanya.
Kondisi berbeda
terjadi dalam negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Islam memiliki
sejumlah konsep dan pengaturan pengelolaan perumahan yang jika diterapkan dalam
sebuah negara Islam meniscayakan rakyat dapat mengakses rumah
yang layak, nyaman, harga yang terjangkau, juga syar’i.
Islam memandang rumah
adalah salah satu kebutuhan pokok, yang menjadi tanggung jawab negara untuk
memenuhinya. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya
menjamin kebutuhan hunian bagi rakyat. Keberadaan rumah sangat penting bagi
keberlangsungan hidup sebuah keluarga.
Negara tidak boleh
hanya berperan sebagai regulator, sebab ditegaskan oleh Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah
pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (THR al Bukhari).
Negara juga tidak
dibenarkan mengalihkan tanggung jawabnya kepada operator, Adapun pembiayaan
pembangunan perumahan berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Sumber-sumber
pemasukan dan sumber-sumber pengeluaran semuanya berdasarkan pertimbangan juga
ketentuan syariat, artinya tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis
kinerja apa pun alasannya.
Negara juga tidak
dibenarkan mengadakan pembangunan perumahan dengan konsep KPBU (Kerja sama
Pemerintah dan Badan Usaha) karena hal ini dapat menghilangkan tanggung jawab
negara sebagai pelayan publik. Bagi rakyat miskin yang memiliki rumah, namun
tidak layak huni dan mengharuskan renovasi maka negara harus melakukan renovasi
langsung dan segera. Lahan-lahan yang dimiliki oleh negara bisa langsung
dibangunkan rumah untuk rakyat miskin atau negara memberikan tanahnya pada
mereka secara cuma-cuma, hal ini dibenarkan selama bertujuan untuk kemaslahatan
kaum Muslim.
Di samping itu, negara juga harus melarang penguasaan
tanah oleh korporasi, karena hal itu akan menghalangi negara dalam proses
penjaminan ketersediaan lahan untuk perumahan. Penerapan syariat Islam secara kaffah/menyeluruh dalam suatu negara
sejatinya menjadi jaminan ketersediaan perumahan bagi seluruh rakyat tanpa
terkecuali.[]
Post a Comment