Demi Kursi Lebih Tinggi, Tinggalkan Kursi Lama, Pejabat Nyaleg?

 


Oleh Waryati

(Pegiat Literasi) 


Jabatan memang menjadi impian sebagian kalangan. Jabatan juga merupakan lambang pencapaian kesuksesan bagi anggapan banyak orang. Maka itulah mengapa jabatan jadi incaran, dikejar dengan berbagai cara. Meski untuk mendapatkannya harus ditempuh susah payah serta modal tak murah. 


Jelang gelaran pemilu serentak 2024 isu koalisi kian menguat. Masing-masing partai sibuk mencari "sahabat" dengan menggandeng partai lain meskipun pada mulanya partai tersebut bukan "teman dekat." Hal ini lazim terjadi karena dalam politik demokrasi tidak ada kawan atau lawan abadi. Selagi memberikan keuntungan, dengan siapa pun, dari partai mana pun bisa mendadak mesra. 


Untuk mendongkrak suara di pileg mendatang, masing-masing partai peserta pemilu membuat strategi politiknya dengan mendaftarkan bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari kalangan pejabat daerah yang notabene masih menjabat. Hal ini dilakukan berdasarkan alasan suara mayoritas mereka di tingkat daerah sudah sukses. Otomatis pencalonan mereka sebagai anggota DPR dengan bekal popularitas dari keterpilihan sebelumnya diharapkan mampu meraup suara. Masyarakat yang dulu memilih mereka bisa tetap memilihnya kembali. 


Pencalonan para kepala dan wakil kepala daerah di pemilu serentak 2024 bisa dikatakan hanya sebagai amanat atau arahan dari partai semata. Betapa tidak, upaya ini dilakukan untuk mengamankan suara partai. Dengan demikian, ketika suara partai sudah naik terjadi limpahan suara di pileg mendatang. Hal ini disampaikan pula oleh Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono. Menurut Arfianto itu merupakan bagian dari strategi menyikapi pemilu serentak. Artinya mereka mengamankan dulu suara partai. Ketika suara partai sudah naik, ada limpahan suara di sana( Tirto.id, 21/05/2023). 


Sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah mendapat mandat dari partainya untuk maju di pileg harus bersiap pula untuk turun dari kursi kebesarannya. Sesuai komando undang-undang yang berlaku. Berdasarkan Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 ayat (1) huruf k UU Pemilu, mereka harus mundur dari jabatan mereka. 


Keikutsertaan para pejabat daerah di pileg ini mengusik benak publik. Bagaimana bisa saat mereka tengah menjalankan amanah malah mencalonkan diri untuk kontestasi anggota dewan. Bukankah amanah yang diemban belum habis masa jabatannya? Setidaknya tuntaskan dulu amanah yang telah mereka dapat dari rakyat. Karena itu bentuk tanggung jawab dari keterpilihan mereka sebagai wakil rakyat di daerahnya. 


Di sisi lain, mundurnya para pejabat daerah bisa sangat merugikan masyarakat. Kebijakan yang sedang atau akan dijalankan bisa mandeg di tengah jalan. Meskipun posisi kepala daerah bisa digantikan oleh Pelaksana Tugas (Plt). Namun secara kebijakan Plt tidak bisa mengambil keputusan besar atau kebijakan strategis dalam penganggaran seperti kepala daerah tetap. 


Oleh karenanya, jika mereka berkeras maju dalam kontestasi dengan meninggalkan amanah yang belum rampung masa jabatanya, sama saja mereka menyepelekan kepercayaan dari rakyat. Melupakan janji-janji kampanye yang belum semua terealisasi. Mereka justru melenggang pergi tanpa mempertimbangkan perasaan rakyat. Ya begitulah demokrasi, apa pun bisa terjadi. Demi meraih singgasana kekuasaan lebih tinggi, amanah pun bisa ditinggalkan tanpa tapi. 


Perilaku yang kurang pantas ini nyatanya dilindungi undang-undang. Ada kebolehan atau semacam dorongan para elit politik bergerak sesuai keinginan pribadi atau mengikuti arahan partai untuk ikut serta dalam pemilihan, sekalipun sebagai pejabat aktif. Keberadaan UU yang telah dipaparkan di atas, membuat ruang gerak para elit politik seperti telah diatur sedemikian rupa demi tercapainya kepentingan politik dan eksistensi partai itu sendiri. Boleh kiranya jika rakyat menduga aturan ini hanya dibuat untuk kepentingan partai bukan untuk kepentingan publik. 


Sangat jauh berbeda dengan pandangan Islam tentang paradigma kekuasaan. Menurut Islam, kekuasaan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab. Serta seorang pemimpin memiliki kesadaran bahwa amanah yang diembannya tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada rakyat, tetapi akan dipertanggung jawabkan pula kepada Tuhan. Dengan demikian, setiap amanah di level manapun patut dilaksanakan secara maksimal, sesuai tupoksinya masing-masing. 


Seorang yang berkuasa pun tidak hanya berdasarkan keinginan, namun harus disertai kecerdasan akal untuk bekal kepemimpinannya. Sehingga dalam menyusun setrategi, termasuk merumuskan dan membuat kebijakan semata-mata untuk kepentingan rakyat, berdasarkan kebutuhan rakyat. Selain itu, memiliki problem solving atas setiap persoalan yang muncul dengan menggunakan standar berdasarkan Al-Quran dan sunah sebagai rujukannya. 


Menjadi pemimpin adalah tugas mulia. Sekalipun demikian, untuk menjadi seorang pemimpin tidak bisa sembarang orang. Harus memiliki sifat diantaranya sifat amanah, fatanah, shiddiq, tabligh, sangat diutamakan. Jika figur dan cara kepemimpinan mengikuti contoh dalam kepemimpinan Islam, bisa dipastikan  kekuasaan bisa melahirkan kedamaian dan kesejahteraan di mana pun negeri itu berada. 


Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post