(Pemerhati Umat)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (5/5) mengatakan bahwa COVID-19 tidak lagi memenuhi syarat untuk dianggap sebagai darurat global. Ini menandai akhir simbolis pandemi virus corona yang menghancurkan, yang pernah memicu lockdown yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, menjungkirbalikkan ekonomi global dan menewaskan sedikitnya tujuh juta orang di seluruh dunia.
WHO pertama kali menetapkan COVID-19 sebagai keadaan darurat lebih dari tiga tahun silam. Namun, meski status darurat Covid-19 berakhir, ancaman virus Covid-19 masih ketir-ketir. Pencabutan status darurat tidak berarti virus hilang sama sekali. Apalagi dalam sepekan terjadi peningkatan kasus aktif Covid.
Dari data yang terlaporkan, pandemi global Covid-19 setidaknya telah menewaskan kurang lebih tujuh juta orang di seluruh dunia, melumpuhkan perekonomian, dan menjerumuskan jutaan orang ke dalam jurang kemiskinan. Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia Saat Ini, merunut ke tiga tahun silam, kasus pertama kali Covid-19 di Indonesia muncul pada 2-3-2020 setelah seorang WNI terpapar Covid-19 sepulang dari luar negeri. Saat itu, respons pemerintah santai saja menghadapinya. Setelah sebaran virus Covid-19 menyebar luas, pemerintah baru melakukan upaya kuratif.
Kebijakan pemerintah kala itu banyak mendapat sorotan dan kritikan. Mulai dari pembentukan Satgas Covid-19, tambahan APBN sebesar Rp405,1 triliun, sejumlah bantuan sosial selama pandemi seperti PKH, Kartu Sembako, Kartu Prakerja, keringanan tarif listrik, insentif untuk pelaku usaha UMKM, hingga enggannya melakukan kebijakan lockdown dan menggantinya dengan pembatasan kegiatan masyarakat yang berganti nama dan format berkali-kali seperti PSBB, PSBB Transisi, PPKM Darurat, hingga PPKM empat level.
Kebijakan tersebut menghasilkan capaian kematian akibat Covid-19 di Indonesia menjadi tertinggi kedua di Asia pada 2022. Per 8-5-2023, tercatat jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 sebanyak 6.776.984 jiwa. Sementara itu, total kasus kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 161.327 jiwa. Hingga 7-5-2023 ini, jumlah kasus Covid-19 selama 7 hari terakhir per 1 juta penduduk akibat Covid-19 di Indonesia sebanyak 46 orang. Dengan jumlah tersebut, Worldometer menempatkan angka jumlah kasus Covid-19 dalam 7 hari terakhir per 1 juta penduduk di Indonesia di urutan ke-13 di Asia.
Posisi Indonesia hari ini bergerak turun dibandingkan hari sebelumnya yang ada di urutan ke-14. (Katadata, 7-5-2023). Setelah WHO mencabut status darurat pandemi global, Indonesia menyiapkan transisi untuk mengakhiri status kedaruratan kesehatan Covid-19. Menurut WHO, kesiapan Indonesia menuju transisi endemi dipandang sudah baik.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menegaskan perlunya masa transisi untuk penanganan Covid-19 jangka panjang.
Perlu Upaya Promotif Preventif
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan perubahan kebijakan perihal pencabutan kedaruratan kesehatan nasional Covid-19. Perubahan yang akan diatur antara lain terkait kebijakan tentang protokol kesehatan, surveillance, respons kegawatdaruratan di wilayah dan fasilitas kesehatan, serta kebijakan mengenai vaksinasi Covid-19.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, ketika status kedaruratan nasional Covid-19 dicabut, akan berdampak pada program vaksinasi dan pembiayaan perawatan Covid-19. Vaksinasi Covid-19 tidak akan lagi menjadi program nasional.
Namun terkait rencana layanan vaksinasi Covid-19 yang menjadi berbayar, hal tersebut belum bisa dipastikan. Begitu pula dengan pembiayaan perawatan dan pengobatan Covid-19, juga tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan menjadi tanggung jawab pasien yang perlu membayar mandiri atau melalui program JKN-KIS.
Belajar dari kegagalan pemerintah di awal kasus penanganan Covid-19, mestinya pemerintah melakukan langkah promotif dan preventif untuk mencegah penyebaran virus di masa mendatang. Pertama, melakukan edukasi menyeluruh agar tidak ada mispersepsi di masyarakat. Salah satu faktor tingginya kasus Covid-19 di Indonesia ialah tidak adanya edukasi secara menyeluruh terhadap pencegahan penularan virus.
Kala itu, masyarakat juga dibuat bingung dengan kebijakan-kebijakan yang plin-plan dilakukan oleh pemerintah yang berulang kali mengganti regulasi kerumunan dengan istilah yang berubah-ubah. Jika memang ingin transisi pandemi ke endemi, pemerintah harus mengedukasi masyarakat terkait kondisi ini. Jangan sampai ada anggapan Covid-19 sudah tidak ada, lalu masyarakat bersikap apatis terhadap protokol kesehatan.
Edukasi ini juga merupakan upaya promotif kesehatan dengan peningkatan pendidikan dan pemahaman masyarakat perihal kesehatan. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, tidak cukup dengan program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, tetapi juga dengan kebijakan politik ekonomi yang membuat masyarakat mudah mengakses layanan dan kebutuhan hidup sehat.
Kedua, mereformasi sistem kesehatan berbasis layanan primer. Kesehatan adalah kebutuhan mutlak bagi masyarakat. Oleh karena itu, tidak semestinya layanan kesehatan menjadi hal langka dan sulit bagi masyarakat untuk mengaksesnya. Harus ada perubahan paradigma dari sistem kesehatan berbayar menjadi sistem kesehatan gratis. Sistem ini hanya bisa terwujud dalam sistem kesehatan yang ditopang dengan kebijakan politik kesehatan Islam secara kaffah.
Dalam pandangan Islam, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, baik muslim maupun nonmuslim. Oleh karena itu, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.
Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya ia yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari).
Negara tidak boleh melalaikan tugas ini sedikit pun karena akan menimbulkan kemudaratan yang jelas diharamkan dalam Islam. Islam memiliki paket lengkap dalam melakukan upaya promotif, preventif, dan kuratif dalam sistem kesehatan. Jauh sebelum muncul beraneka penyebaran virus di dunia, Islam sudah mengajarkan pola makan, emosi, dan aktivitas yang sehat, kebersihan dan lingkungan yang sehat, perilaku seks yang sehat, juga epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik.
Semua itu adalah buah manis diterapkannya hukum syariat secara kafah.
Keberhasilan Islam melakukan upaya promotif preventif yang tecermin pada satu peristiwa yang menandai kesuksesan Rasulullah Saw, membangun sistem kesehatan, yaitu selama setahun praktik, dokter kiriman Kaisar Romawi tidak menemukan orang sakit di Madinah. Upaya kuratif terealisasikan dengan prinsip-prinsip etik kedokteran yang tinggi.
Hal ini menjadi faktor penting agar setiap pasien memperoleh pelayanan penuh, rasa aman, nyaman, terpelihara jiwa dan kehormatannya sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah Taala. Di antara prinsip etik kedokteran tersebut adalah larangan menggunakan metode pengobatan yang membahayakan akidah, martabat, jiwa, dan fisik pasien.
Izin praktik hanya diberikan kepada dokter yang memiliki kompetensi keilmuan kedokteran dan berakhlak mulia. Obat dan bahan obat hanyalah yang halal dan baik saja. Juga ada larangan menggunakan lambang-lambang yang mengandung unsur kemusyrikan dan kekufuran. Layanan kesehatan berkualitas juga terjamin ketersediaannya. Negara menggratiskan biaya kesehatan bagi warga negara yang membutuhkan, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial, maupun agama.
Pembiayaannya bersumber dari baitulmal.
Hal ini pernah terefleksikan pada sikap Rasulullah saw. terhadap delapan orang dari Urainah yang menderita gangguan limpa. Saat itu, mereka datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Mereka dirawat di kawasan penggembalaan ternak kepunyaan Baitulmal, yakni di Dzil Jildr arah Quba’. Selama dirawat, mereka mendapat susu dari peternakan milik Baitulmal.
Begitu pula kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab yang mengalokasikan anggaran dari Baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam. (Help Sharia, 20-1-2017). Khilafah juga mendirikan banyak rumah sakit berkualitas dengan layanan gratis. Contohnya, rumah sakit di Kairo yang didirikan pada 1248 oleh Khalifah Al-Mansyur. Berkapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi masjid untuk pasien dan kapel (gereja kecil) untuk pasien Kristen, serta melayani 4.000 pasien setiap hari.
Begitu pula dengan RS An-Nur di Damaskus yang didirikan pada 706 oleh Khalifah Al-Walid pada masa Bani Umayyah. Rumah sakit ini menjalankan fungsinya selama delapan abad dan sisa kejayaannya masih ditemukan hingga saat ini. Lembaga pendidikan kedokterannya pun berkualitas terbaik.
Dengan demikian penerapan sistem Islam kaffah yang memungkinkan bagi kita untuk mendapatkan layanan kesehatan secara gratis dengan layanan terbaik. Ini karena paradigma Islam tentang kesehatan bertolak belakang dengan paradigma kapitalisme yang selalu mempertimbangkan untung dan rugi dalam setiap kebijakannya.
Wallahu ‘alam bisshowab
Post a Comment