Bullying Terus Berulang, Butuh Solusi Gemilang


Oleh : Norma Rahman, S.Pi
 (Pegiat Opini Muslimah Sultra)

Miris, perbincangan akhir-akhir ini masalah kasus bullying yang kembali terjadi dan memakan korban. Seperti dilansir dari laman Repblika.com, Perilaku bullying kian hari makin marak di kalangan remaja dan bahkan anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Terbukti bukan kali ini saja namun kerap ditemukan kasus bullying yang pelakunya anak sekolah dasar. Bahkan makin hari perilaku bullying ini makin sadis dan bengis. 

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya mengatakan, "Kasus tewasnya siswa SD di Sukabumi karena diduga dikeroyok oleh teman sekolah menambah panjang deretan korban meninggal karena perundungan di lingkungan sekolah. Kasus ini kembali menjadi warning bagi semua stake holder pendidikan jika perundungan tidak hanya dosa besar, tetapi juga ancaman nyata." (Republika, 22/5/2023). 

Selain itu, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011-2019 tercatat ada 574 anak laki-laki dan 425 anak perempuan menjadi korban perundungan di sekolah. Sedangkan 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan tercatat sebagai pelaku perundungan di sekolah. Sedangkan sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 53 kasus perundungan yang terjadi di berbagai jenjang di satuan pendidikan. Jumlah ini menurun karena sebagian besar sekolah ditutup karena pandemi.

Akar Masalah Darurat Bullying
Konsep pendidikan yang berbasis sekuler liberal tak dapat dipungkiri sebagai pembentuk utama perilaku anak makin sadis dan bengis. Bukan hanya menjadi dasar kurikulum pendidikan, akan tetapi sekuler liberal ini telah meracuni pemikiran masyarakat sehingga tanpa sadar mewarnai pola pendidikan baik di keluarga maupun lingkungan masyarakat. 

Beberapa faktor yang memicu perilaku sadis dan bengis anak, di antaranya: Pertama, hilangnya peran keluarga dalam mendampingi terbentuknya karakter seorang anak. Tidak sedikit perceraian antara kedua orang tua menimbulkan ketidakharmonisan suatu bangunan keluarga menjadikan pendidikan anak terlantar dan hanya diserahkan kepada sekolah. Belum lagi beban kesibukan ayah dan ibu dengan pekerjaannya, kelelahan bekerja berujung penelantaran dan kurangnya kasih sayang serta perhatian memunculkan ketidakpuasan dan kekesalan pada anak. Juga pola asuh yang sekuler makin menjauhkan anak dari agama, serta membiarkan anak bebas berperilaku tanpa pemantauan ketika di luar rumah. 

Kedua, tontonan kekerasan. Tidak dipungkiri berbagai tontonan kekerasan, baik dalam film ataupun game telah marak dan dibiarkan diakses oleh anak-anak. Alhasil, tontonan ini dapat memicu pembentukan perilaku anak makin sadis dan bengis. Mereka mencontoh apa yang dilihat karena tanpa adanya bimbingan keluarga. 

Ketiga, hilangnya peran masyarakat untuk turut peduli terhadap kualitas generasi. Sikap materialistik dan individualistik membelenggu serta sikap acuh. Padahal masyarakat merupakan salah satu pilar penopang kualitas generasi. Masyarakat yang peduli akan mudah mengenali ketika terjadi perubahan yang diluar kewajaran terhadap kondisi anak-anak di sekitar lingkungan. Dan akan berusaha turut menciptakan kondisi yang kondusif dan nyaman bagi perkembangan perilaku anak. 

Keempat, yang paling penting hilangnya peran negara sebagai pelindung generasi. Negara memiliki kewajiban menjaga generasi agar tidak terpapar segala jenis tontonan yang mencerminkan tindak kekerasan, psikopat, nihil empati. Namun negara sepenuhnya abai terhadap tanggung jawabnya ini, negara sebagai penyelenggara pendidikan bagi generasi dan kontrol masyarakat tidak menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya. Atas nama keuntungan negara melegalkan segala jenis tontonan yang merusak tanpa adanya filter, tanpa peduli dampak yang ditimbulkan dapat menciptakan pengaruh buruk bagi perkembangan perilaku generasi. 

Dalam sistem kehidupan sekuler, anak sangat minim dibentengi dengan akidah agamanya. Kurikulum pendidikan yang dirancang oleh negara pun jauh dari menjadikan agama sebagai dasarnya. Bahkan, tren perilaku liberal menghalalkan anak berperilaku sesukanya. 

Oleh karena itu, pola pendidikan yang sekuler liberal baik dalam konsep pendidikan formal maupun informal di keluarga dan lingkungan akar terciptanya generasi yang berperilaku sadis dan bengis. Sistem kehidupan sekularisme liberal telah menjadi biang kerok atas rusaknya generasi bangsa.

Islam, Solusi Menuntaskan Bullying
Sistem Islam adalah  satu-satunya harapan yang menyajikan solusi tuntas. Sistem ini terbukti mampu melahirkan generasi-generasi mulia yang menjaga akhlak, adab, serta memiliki keluasan ilmu yang tinggi. Sistem Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah, yaitu sistem yang melandaskan kehidupan pada aturan syariat Islam yang kaffah (menyeluruh). Landasan setiap perbuatan manusia adalah akidah, keimanan, dan hukum syariat Islam. Semua aturan jelas diatur dalam batasan yang baku sesuai perintah Allah SWT. 

Syariat Islam menetapkan bahwa bullying adalah perbuatan dosa, wajib ditinggalkan setiap muslim karena termasuk perbuatan yang menzalimi pihak lain. Tindakan sadis yang dapat mengancam nyawa seseorang termasuk dosa besar yang dilarang syariat Islam. Dengan dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., kaum muslimin seharusnya mampu meninggalkan perbuatan yang mengakibatkan dharar (bahaya) pada pihak lain. 

Allah SWT, berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 11, yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al Hujurat: 11).

Dengan demikian, semua usaha pencegahan bullying membutuhkan adanya dukungan aturan negara yang ideologis dalam mendidik generasi, yaitu negara yang mengintegrasikan pendidikan generasi berdasarkan aturan syariat Islam. Negara-lah satu-satunya institusi terkuat yang mampu mengikat warga negara. Negara juga sebagai satu-satunya elemen penting yang mampu membentuk karakter generasi sesuai dengan kriteria syariat Islam. 

Alhasil, tak ada alasan untuk meninggalkan syariat Islam. Apa pun alasannya, syariat Islam wajib diterapkan untuk mengatur kehidupan. Ini karena syariat Islam adalah satu-satunya petunjuk kehidupan bagi seluruh manusia, demi menjaga kemuliaan generasi dari masa ke masa. Wallahu a'lam bisshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post