Oleh Ummu Fauzi
(Pegiat Literasi)
Ketika masuk musim penghujan banjir sering melanda negeri ini, bahkan seolah sudah menjadi ritual tahunan. Beberapa waktu lalu banjir dan longsor telah terjadi di Kabupaten Bandung. Kepala Bidang Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Uka Suska Puji Utama mengatakan bahwa musibah tersebut terjadi di Kampung Bojong Sayang, Desa Pananjung Kecamatan Cangkuang. Banjir mengakibatkan ruas jalan dan pemukiman terendam dengan ketinggian 30-50 cm.
Dilansir dari Republika (6/5/2023), banjir juga melanda beberapa kampung di Kecamatan Baleendah, yang diduga disebabkan oleh meluapnya sungai Citarum dan Cisangkuy setelah hujan mengguyur wilayah Bandung Raya dari Jumat malam sampai hari Sabtu 6 Mei 2023. Peristiwa yang terjadi di beberapa titik ini telah menghambat akses pengguna kendaraan.
Di samping banjir, Kabupaten Bandung juga berpeluang mengalami kekeringan ketika musim kemarau tiba. Menurut Diki Sudrajat Kepala Bidang Pencegahan Kebencanaan (BPKD), wilayah yang berpotensi adalah daerah yang padat penduduk, karena kebutuhan air di sana pasti cukup banyak. Kekeringan tidak hanya terjadi di wilayah dataran rendah tapi bisa terjadi di tempat yang tinggi, kerena tidak adanya resapan air, dan air hanya mengalir begitu saja. Untuk mengatasi bencana ini pemerintah menyiapkan mobil tangki yang akan dikerahkan ketika terjadi kekeringan.
Meluapnya sungai dan longsor bukan sekali saja terjadi, tapi hampir setiap tahun berulang. Faktor alam pun selalu dijadikan kambing hitam. Cuaca seperti adanya fenomena La Nina, peningkatan permukaan laut, perubahan pola angin dan hujan yang deras dengan durasi lama, dianggap sebagai penyebab terjadinya bencana. Fenomena ini dianggap sebagai hal paling realistis untuk diterima oleh masyarakat. Padahal belum tentu keadaan tersebut menjadi satu-satunya penyebab terjadinya banjir. Namun ada hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia terutama dari kebijakan struktural dalam pembangunan. Dalam hal penanganan pemerintah lamban mengantisipasi sehingga dampaknya meluas
Selain banjir, kekeringan pun sering terjadi ketika musim kemarau tiba, walaupun negeri kita memiliki potensi sumber daya air melimpah tetapi tidak berarti bebas dari krisis. Lagi-lagi faktor alam yang dianggap menjadi penyebab, seperti El Nino dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim.
Padahal, meluapnya sungai, longsor dan kekeringan tidak semata-mata ada hanya karena faktor alam. Allah Swt. menurunkan hujan sebagai rahmat bagi umat, namun sayangnya akibat ulah manusia lah semua bencana itu terjadi. Allah Swt. menegaskannya dalam surat ar-Ruum ayat 41 yang artinya: "Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Inilah buah diterapkannya aturan yang tidak bersumber dari Sang Pencipta. Saat ini yang dipakai justru hukum yang dibuat oleh manusia yang menetapkannya berdasarkan hawa nafsu yaitu sistem kapitalis sekuler yang liberal, di mana agama dijauhkan dari kehidupan. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa ada rambu-rambu yang akan mengakibatkan kerugian orang lain.
Sebagian wilayah Indonesia mengalami kekurangan air, umumnya disebabkan oleh kelangkaan hutan yang menjadi sumber resapan, banyak pohon-pohon besar yang ditebang dan lahannya dijadikan proyek pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran seperti pertambangan dan perkebunan. Berkurangnya ruang terbuka hijau atau resapan karena dijadikan pemukiman juga berpengaruh pada kondisi cadangan air tanah. Namun sayang, kebijakan liberalisasi yang diberlakukan di negeri ini justru mengijinkan pihak swasta mengelola yang orientasinya keuntungan, tanpa mempertimbangkan bahaya jangka panjang.
Padahal jelas, air adalah sumber kehidupan bagi manusia, ketersediaannya harus senantiasa ada dan dijaga. Dalam sistem sekuler kapitalis kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah karena tidak menyentuh akar permasalahannya. Berkurangnya daerah resapan menunjukan gurita kapitalisme kian mencengkeram. Kebijakan yang diambil menguntungkan pihak yang bermodal dengan mengizinkan mereka untuk mengekploitasi lahan demi industrialisasi dan hunian-hunian elit.
Negara dan penguasa hanya mementingkan keuntungan dari segi materi saja, tidak memikirkan soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan. Begitu juga dengan masalah air, solusi yang diambil hanya untuk sesaat, yaitu dengan sekedar menyediakan tangki-tangki ketika bencana tiba, yang mana hal ini tentu tidak menyelesaikan masalah secara tuntas.
Berbeda dengan Islam, negara akan menjaga ketersediaan air agar masyarakat tidak kekurangan. Air adalah sumber daya alam milik umum, keberadaanya harus dijaga oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam Islam sumber daya alam seperti hutan, sungai, danau, laut pemanfatannya harus dirasakan rakyat. Sumber daya alam ini akan dikelola oleh negara, tidak boleh dimiliki oleh asing atau perorangan.
Banjir dan kekeringan adalah permasalahan yang sama-sama bersumber dari air, butuh keseimbangan dalam menjaganya agar tidak terjadi bencana. Islam benar-benar mengajarkan hal tersebut, misalnya menetapkan sumber daya alam hutan, sungai tambang sebagai milik rakyat. Mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang, melarang dengan tegas eksplorasi dan ekploitasi secara serampangan seperti yang dilakukan sekarang. Adab terhadap alam dinilai sebagian dari iman.
Maka siapapun yang melakukan kerusakan terhadap alam dianggap sebagai kejahatan dan kemaksiatan. Penguasa dalam Islam betul-betul berperan dalam mengurus dan menjaga umat. Melalui pelaksanaan syariat, keseimbangan alam terjaga, hutan akan terawat, sehingga umat mendapatkan manfaat bukan madharat.
Wallaahu a’lam bishawab
Post a Comment