Ramadhan adalah bulan kemuliaan yang penuh dengan
keberkahan. Tentunya semua elemen masyarakat pun berharap bisa menjalankan
Ramadhan dengan baik hingga fokus ibadah dengan maksimal. Tapi bagaimana umat
bisa menjalankan ibadah dengan maksimal jika tidak disupport dengan
sarana dan prasarana yang memadai, terutama ketika harga beberapa komoditas
pangan naik harga saat menjelang atau tibanya Ramadhan. Kenaikan harga pangan menjadi persoalan yang
seakan-akan tidak pernah terselesaikan. Seolah sudah tradisi, harga menjelang
Ramadhan dan hari besar agama selalu naik.
Menilik dari suaramerdeka.com (9/3/2023)
kenaikan harga pangan menjelang Ramadhan 2023 terjadi dihampir seluruh wilayah
Indonesia. Adapun bahan pangan yang mengalami kenaikan meliputi beras, cabai,
telur ayam, hingga daging ayam. Dikabarkan penyebab kenaikan harga sembako
menjelang Ramadhan dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya permintaan
yang meningkat, ketersediaan bahan pokok, distribusi bahan pokok yang panjang,
pengaturan harga, dan juga kondisi
iklim.
Meskipun kenaikan harga sembako tidak dapat dicegah,
pemerintah melakukan beberapa upaya-upaya dalam menanggulanginya. Adapun
langkah pemerintah ialah: Pertama, memberikan bansos (bantuan sosial)
selama 3 bulan (Maret, April, Mei) kepada rakyat terkategori BPH (Program
Keluarga Harapan) dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai). Kedua, melakukan
operasi pasar. Ketiga, membuka pasar murah.
Kenaikan harga yang terjadi menjelang Ramadhan
mengakibatkan rakyat kesusahan dalam mendapatkan kebutuhan pokok. Meski negara
mengklaim melakukan upaya antisipatif, nyatanya hal itu tidak membuat harga
komoditas menjadi stabil pada saat permintaan sedang naik.
Realitanya upaya-upaya pemerintah ini tidak mampu
menjaga kestabilan harga, justru kenaikan menjadi tidak terkendali. Terbukti
komoditas lainnya mengalami kesulitan untuk kembali pada harga normal yang
tentunya merugikan rakyat. Komoditas
pokok berupa sumber energi dan pangan adalah kebutuhan utama masyarakat yang
wajib dipenuhi. Kebutuhan pangan ini bersifat kontinyu. Volume kebutuhan
masyarakat bisa dihitung sehingga stoknya bisa dipersiapkan secara rutin. Oleh
karena itu, tugas pemerintah untuk memastikan stoknya cukup, mulai aspek
produksi hingga distribusi.
Alasan momen, seperti Natal dan Tahun baru, Ramadhan,
atau menjelang Lebaran yang biasanya permintaan melonjak, tidak bisa diterima.
Pasalnya, kondisi itu sangat bisa diantisipasi. Bukankah momen-momen itu selalu
berulang setiap tahun? Bukan alasan untuk tidak mampu mengatasinya.
Jadi, seharusnya pemerintah melipatgandakan stok pada
musim-musim itu, sehingga antara permintaan dan penawaran tetap seimbang.
Jangan setiap tahun alasannya karena tingginya permintaan. Namun, seolah sudah
tradisi, setiap tahun dibiarkan terjadi inflasi atau kenaikan harga pangan. Hal
Ini menunjukkan ketidakseriusan negara dalam mengutamakan kebutuhan masyarakat.
Inilah gambaran pemimpin dalam sistem kapitalisme, pemimpin hanya bertindak sebagai regulator (pembuat aturan). Dalam aspek pangan, negara hanya berupaya menyediakan pasokan pangan sesuai permintaan, meskipun juga terkadang tidak mencukupi, sementara negara tidak memastikan apakah komoditas pangan tersebut terjangkau oleh setiap rakyat atau tidak. Di sisi lain ada pihak yang bermain curang dalam menimbun atau memonopoli perdagangan barang tertentu dan lagi-lagi negara gagal menumpas kelompok-kelompok tersebut.
Operasi pasar yang sering dilakukan instansi terkait
hingga saat ini tidak bisa mengurai masalah kenaikan harga. Gagalnya semua
upaya negara dalam menyelesaikan persoalan kenaikan harga ini adalah karena
jauhnya upaya tersebut dari akar persoalan yang ada. Sebab pada dasarnya hal
ini terjadi karena regulasi yang dibuat selama ini hanya mengatur aspek teknis
saja tapi tidak menyentuh persoalan mendasarnya. Harga pangan yang melonjak
terjadi berpangkal dari sistem pengelolaan yang menggunakan konsep kapitalistik
neoliberal yang selama ini dijadikan pijakan dalam mengelola pangan rakyat.
Secara politik, bukti penerapan sistem ini sangat
terasa dengan ketiadaan peran negara yang sebenarnya. Negara/pemerintah hadir
sekadar regulator dan fasilitator bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat.
Sementara pengurusan berbagai urusan rakyat diserahkan kepada korporasi.
Sehingga akhirnya diatur ‘suka-sukanya’ korporasi dan dikelola untuk mencari
keuntungan semata tanpa memperhatikan kemudharatan pihak lain, dan aspek
halal-haram.
Pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme dengan
paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas meniscayakan lahirnya
korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal sangat besar. Sehingga bisa menguasai seluruh rantai usaha
pangan, pertanian, mulai dari produksi-distribusi-konsumsi bahkan termasuk
importasi. Model korporatisasi seperti ini akhirnya mampu mengambil kendali
terhadap pasokan pangan, mengendalikan harga pasar dan konsumsi masyarakat.
Demikianlah problem utamanya adalah penerapan sistem
politik demokrasi kapitalisme sehingga melahirkan pemerintahan yang lemah, abai
dan gagal mengurusi rakyat. Karena penguasa sejatinya bukanlah negara, namun
beralih pada korporasi. Secara ekonomi, praktik sistem ekonomi kapitalisme
telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang sangat dalam. Sehingga penguasaan
pangan berada di tangan korporasi seperti dinyatakan Dirut Bulog bahwa Bulog
sebenarnya hanya menguasai 6% pasar pangan, sedangkan 94% berada di tangan
korporasi swasta.[]
Post a Comment