Polemik ojek online atau ojol terus bergulir dari semenjak berdirinya di tahun 2010 silam. Diawali dengan persaingan hingga tindak kekerasan dan kerusuhan dengan ojek konvensional, dugaan ribuan pengemudi melakukan orderan fiktif, hingga hak-hak pengemudi yang dirampas, sampai pemotongan penghasilan driver secara sepihak oleh pihak aplikator.
Seperti yang disampaikan ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati, bahwa penghasilan pengemudi ojol hingga saat ini tak kunjung membaik lantaran regulasi batas maksimal biasa komisi tersebut kembali menjadi 20 persen.
Walaupun sudah ditetapkan maksimal 20 persen, ujarnya, tetap saja aplikator melanggar ketentuan tersebut dengan melakukan potongan kepada pengemudi ojol lebih dari 20 persen. Potongan yang memberatkan pengemudi ojol tersebut di kisaran 22-40 persen dalam setiap orderan. (Tempo.com, 1/4/2023)
Ironi Pelayanan Transportasi
Kemunculan ojol tidak terlepas karena semakin semrawutnya layanan transportasi akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan semua sektor kehidupan diserahkan kepada swasta maupun asing. Sedang penguasa tak lebih hanya sebatas regulator belaka.
Akhirnya, kehadiran ojol menjadi pilihan bagi rakyat ditengah-tengah berbagai polemik dan rendahnya pelayanan transportasi. Selain karena proses pemesanan yang mudah dan kisaran biaya yang dapat diketahui diawal serta biaya yang tergolong terjangkau serta bonus yang diberikan.
Namun, berjalannya waktu ojol terus saja menuai polemik. Bisnis startup transportasi ini awalnya memang dipandang bisa dijadikan harapan untuk rakyat sebagai lapangan kerja tanpa harus terikat oleh persyaratan yang rumit. Begitupun penghasilan driver ojol yang bisa dibilang tinggi, bisa menembus 5 juta sampai 10 juta lebih per bulannya. Tentu ini menjadi angin segar bagi para pencari kerja ditengah sempitnya lapangan pekerjaan.
Namun, karena pijakan bisnis startup transportasi ini tetap pada kapitalis sekuler. Tentu pintu kedzaliman pada pihak yang lemah, terkhusus para pengemudi ojol terbuka lebar. Bagaimana kapitalisme menjadikan konsep keuntungan materi sebagai tujuan hidup dengan modal sekecil-kecilnya. Menjadikan para pengemudi ojol tak ubahnya sebagai sapih perah. Yang tentu ini semua disahkan oleh para pemilik kebijakan alias penguasa. Seperti, keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 telah menurunkan potongan komisi atau biaya sewa penggunaan aplikasi menjadi 15 persen dari sebelumnya 20%. Namun, aturan tersebut dirubah kembali melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022 hanya dalam waktu 2 bulan kemudian.
Lebih lanjut lagi para pengemudi ojol tidak memilik hak sebagaimana para pekerja, seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melainkan hanya berstatus sebagai mitra belaka. Dengan ini tidak akan ada gaji bulanan bahkan kepastian jam kerja dan jaminan-jaminan lainnya. Jadilah mereka dipaksa bekerja 8 jam hingga 17 jam perharinya.
Ini berarti pula hak untuk mendirikan serikat pekerja pun otomatis hilang. Padahal, hak berserikat sangat penting, jika terjadi perselisihan dapat diselesaikan melalui perundingan.
Semua ini nampak nyata, bahwa peraturan yang dibuat tidaklah untuk kesejahteraan bagi para pengemudi ojol melainkan mengikuti kemauan aplikator sebagai pihak pemilik modal (kapitalis). Karena memang inilah watak kapitalisme sekuler yang menjadikan para pemilik modal sebagai penguasa sesungguhnya. Maka, tidak heran jika undangan-undangan lainnyapun akan demikian, sebut saja UU ciptaker.
Islam Solusi Praktis Transportasi
Islam sebagai agama yang sempurna yang lahir dari Sang Maha Sempurna memiliki aturan yang lengkap dalam urusan seluruh aspek kehidupan, termasuk sarana transportasi. Islam menjadikan transportasi adalah kewajiban negara atas rakyatnya dengan sumber pembiayaan dari pos Baitul mal terutama dari pos pengelolaan SDA yang merupakan harta milik umum dan harta kharaj, jiziyah, fai' dan lain-lain. Sehingga, rakyat akan dapat mengakses transportasi dengan mudah, aman, nyaman, memadai dan berkualitas. Serta dengan biaya yang murah dan bahkan gratis.
Disisi lain khilafah bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja yang luas bagi rakyatnya. Dengan sistem kepemilikan Islam akan memastikan terpenuhinya kebutuhan ini. Sebab, dalam sistem Islam seluruh sumber daya alam (SDA) diposisikan sebagai milik umum (rakyat). Sedang pengelolaannya hanya boleh dilakukan oleh negara dengan keuntungan atau kebermanfaatannya dikembalikan kepada rakyat secara utuh bukan sebagai lahan bisnis, seperti yang terjadi pada sistem kapitalisme hari ini.
Sedang untuk SDA yang membutuhkan usaha eksplorasi dan sistem pengelolaan khusus sebelum didistribusikan ke masyarakat seperti migas, batu-bara dan lain-lain. Maka, negara membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Disinilah negara mempekerjakan rakyatnya sebagai tenaga ahli maupun terampil dan menggajinya sesuai sistem pengupahan dalam Islam. Mereka mendapatkan perlakuan yang adil sejalan dengan hukum syariat. Hak-hak sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur dilindungi oleh khilafah. Dimana para pegawai bekerja sesuai dengan bidang masing-masing dengan memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara maupun sebagai rakyat.
Selain itu Khilafah menjalankan sistem strategi terkoordinasi antara sistem pendidikan dengan potensi ekonomi diberbagai area. Selanjutnya, akan mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan disektor real, seperti pertanian, perhutanan, kelautan, tambang maupun perdagangan. Sehingga, dengan ini transportasi tidak lagi menjadi lahan bisnis melainkan menjadi sarana yang memudahkan aktifitas perjalanan rakyat.
Wallahu'alam
Post a Comment