Akankah Pelanggaran HAM Tersolusikan dengan Keppres?


Oleh Ummu Muthya
Ibu Rumah Tangga 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan keputusan presiden (Keppres) nomor 4 tahun 2023, tentang tim pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non yudisial  Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat. Keppres tersebut terdiri dari 14 pasal. Berdasarkan dokumen salinan keppres yang dikutip detik.com Kamis (16/3/2023), Presiden Jokowi berjanji untuk menuntaskan masalah Hak Azasi Manusia (HAM) dan juga telah menegaskan menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Keputusan ini mulai berlaku sesuai tanggal yang ditetapkan pada pasal 14 Keppres nomor 4 tahun 2023. (Detiknews.com, 16/3/2023)

Salah satu contoh pelanggaran HAM berat di negeri ini adalah peristiwa 1965-1966. Dalam peristiwa ini banyak masyarakat yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) lalu ditangkap, disiksa, hingga dieksekusi tanpa proses hukum. Ada sekitar 500.000 hingga tiga juta orang tewas dalam pembantaian massal ini. Presiden Jokowi dalam konferensi persnya (11/1/2023) berjanji akan  memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Jokowi pun meminta kepada menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) untuk mengawal upaya-upaya kongkret pemerintah tersebut dan bisa memulihkan luka anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menkopolhukam Mahfud MD dalam konferensi pers yang sama menegaskan bahwa Tim PPHAM tidak meniadakan proses yudisial. Karena di dalam undang-undang disebutkan pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000 itu diselesaikan melalui pengadilan HAM Ad Hoc atas persetujuan DPR. Sedangkan yang sesudah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa. (Historia.id, 11/1/2023)

Untuk itulah akhirnya pemerintah mengeluarkan Keppres No 4/2023 sebagai bukti rasa simpati kepada para korban dan keluarganya. Pemerintah akan bertanggung jawab dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Akan tetapi, kenapa baru sekarang pemerintah serius memproses pelanggaran HAM? Bukan tidak mungkin langkah ini ditempuh karena dekat dengan Pilpres 2024 mendatang, sehingga dianggap momen yang pas menampilkan sesuatu yang baik di mata publik agar perolehan suara dan dukungan didapat. 

Seperti inilah kepemimpinan dalam sistem kapitalisme, sistem yang kurang mengindahkan pengaturan urusan publik karena bagi sistem ini keuntungan materi jauh lebih penting dibandingkan menjaga hak hidup manusia. Padahal perlindungan terhadap nyawa mnusia adalah tugas negara yang harus terlaksana selama kepemimpinannya, termasuk bagaimana pemenuhan kebutuhan pokok mereka kepala per kepala. Terbukti meskipun telah banyak kasus pelanggaran HAM baik di masa lalu maupun saat ini, penyelidikan dan penyelesaian korban untuk mendapatkan keadilan terasa jauh dari pelaksanaan. Para pelaku justru mendapat kebebasan remisi, bahkan kasus ditutup begitu saja, pada akhirnya nyawa manusia yang sudah meninggal tidak diperjuangkan keadilan. 

Berbeda dalam sistem Islam yang sangat menghormati dan menghargai nyawa, darah dan jiwa manusia. Negara berperan riil mewujudkan perlindungan terhadap masyarakat secara menyeluruh, baik muslim atau nonmuslim. Jangankan membunuh, melukai, membahayakan, dan menyusahkan kepada sesama saja diharamkan oleh Islam. Rasulullah mengancam siapa saja yang membahayakan atau menyulitkan orang lain dengan balasan yang serupa. Rasulullah saw. bersabda; 

"Siapa saja yang membahayakan orang lain Allah Swt.  akan melimpahkan bahaya kepada dirinya, siapa saja yang menyusahkan orang lain, Allah Swt. akan melimpahkan kesusahan kepada dirinya." (HR Al-Hakim) 

Tidak hanya itu penghormatan Islam terhadap nyawa manusia nampak pada hukum qishas, yakni hukuman setimpal akibat pembunuhan atau melukai, artinya nyawa dibalas dengan nyawa, luka dibalas luka. Karena itu ketika ada kasus pembunuhan tanpa hak seperti kasus kerusuhan yang menimpa korban pelanggaran HAM berat, Islam tidak akan membiarkan pelaku bebas begitu saja, Islam memiliki institusi praktis untuk mengusut tuntas, dan memberi sanksi kepada mereka yang melanggar aturan Allah Swt. institusi tersebut adalah sistem Islam yang menerapkan syariat Islam kaffah. Firman Allah Swt. 

"Hai orang-orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian melaksanakan qishas berkenaan dengan orang yang dibunuh." (QS Al-Baqarah: 178)

Jika korban memaafkan pelaku pembunuhan misalnya, maka pelaku wajib membayar Diyat berupa memberikan 100 ekor unta, 40 ekor diantaranya dalam keadaan bunting (hamil) kepada keluarga korbannya, jika dikonversi ke rupiah jumlah ini cukup fantastis. Sabda Rasulullah Saw: 

"Barang siapa membunuh dengan sengaja  ia diserahkan kepada keluarga terbunuh. Jika mereka keluarga terbunuh menghendaki, mereka dapat mengambil qishas, dan jika mereka tidak mengambil qishas, mereka dapat mengambil diyat, berupa 40 ekor hiqqah, 30 ekor jad'ah dan 40 ekor khiffah." (HR Abu Daud)

Penerapan hukum sanksi dalam Islam (uqubat) oleh penguasa akan membuat dua efek, yakni pertama efek jawabir sebagai penebus dosa pelaku dan membuat pelaku jera. Kedua efek jawazir sebagai pencegah agar masyarakat tidak melakukan yang serupa. Alhasil ketika manusia hidup dalam naungan syariat Islam nyawa manusia akan terlindungi, penguasa tidak akan membiarkan seterusnya darah tumpah tanpa hak, jika ada kasus yang demikian, penguasa akan tegas menerapkan sanksi uqubat Islam kepada para pelaku tanpa pandang bulu. 

Wallahu A'lam bish ash shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post