Kasus bunuh diri kian marak terjadi. Hal ini tentu
menjadi perhatian yang sangat serius. Hampir setiap hari ada saja kasus bunuh
diri yang mengisi berita di televisi maupun media online. Sebagaimana yang dikutip
dari laman Hello Sehat, lebih dari 90% orang yang bunuh diri memiliki
gangguan mental, seperti depresi, gangguan bipolar, atau diagnosis lainnya.
Penyakit kronis yang tak kunjung sembuh, trauma kekerasan, faktor sosial
ekonomi, hingga putus cinta pun umum menjadi pendorong keinginan bunuh diri.
Ternyata kasus bunuh diri terjadi di mana saja dan
dapat menimpa siapa saja, bukan hanya rakyat jelata tapi menimpa orang-orang
yang biasa dianggap sebagai panutan atau publik figur. Kasus bunuh diri juga
tak hanya menimpa negeri ini saja, bahkan terjadi di berbagai penjuru dunia dan
menjadi wabah global yang kronis.
Bahkan, menurut data WHO (World Health Organization) pada
2019, sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun di dunia, belum
termasuk angka yang tidak tercatat secara resmi. Usia muda menjadi angka
tertinggi yang meninggal akibat bunuh diri dan angka ini terus bertambah setiap
tahunnya. Yankes Kemkes .go.id mencatat di Asia Tenggara angka bunuh
diri tertinggi per 100.000 populasi yakni di Thailand (12,9), Singapura (7,9),
Vietnam (7,0), Malaysia (6,2), Indonesia (3,7) dan Filipina (3,7).
Kenapa bisa terjadi ya? Tentu saja bisa. Hidup dengan
hukum rimba kapitalisme yang menghamba pada harta pastilah meniscayakan
kehidupan berstandar fisik atau materi. Bagi pihak-pihak yang papa dan tak
mampu meraih materi, prestise, jabatan, sementara poros kebahagiaannya
pada capaian nominal. Oleh karenanya cepat atau lambat akan mengalami depresi
dan putus harapan.
Inilah bukti nyata jika kapitalisme sangat tidak
manusiawi mengelola eksistensi diri orang-orang yang bernaung dengan tata
aturannya. Dalam kapitalisme yang berkuasa yang berharta, yang kuat yang
berpangkat dan menjabat. Sementara yang tak berpunya dipersilakan minggir
bahkan tersingkir. Yang akhirnya menimbulkan berbagai macam problematika
kehidupan yang tak berkesudahan, seperti kesenjangan sosial yang sangat tajam,
masalah ketidakadilan, biaya hidup yang semakin mahal, sedangkan lapangan
pekerjaan makin dipersempit juga sulit.
Ditambah lagi permasalahan keluarga, seperti
perceraian, KDRT, permasalahan anak akibat kurangnya perhatian dan pendidikan
dari orang tua yang disibukkan dengan tuntutan kebutuhan hidup, juga berbagai
masalah-masalah lainnya yang mengakibatkan tingkat stres dan depresi kian
tinggi. Sedangkan upaya penyembuhan dan perlindungan masalah kesehatan mental
yang selama ini digalakkan oleh kapitalisme ternyata tidak mampu memberikan
solusi sepenuhnya hingga bunuh diri menjadi pilihan instan untuk menghindar dan
terbebas dari masalah juga beban kehidupan.
Benarkah dengan bunuh diri masalah akan selesai? Tentu
saja tidak, karena yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban dari
Allah SWT di akhirat kelak. Dan anggapan dengan bunuh diri semua masalah akan
berakhir itu menunjukkan jauhnya seseorang dari pemahaman Islam. Islam
memandang bunuh diri suatu dosa besar. Islam pun mencela dan memberikan sikap yang sangat tegas terhadap
pelaku bunuh diri.
Firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat
demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS an-Nisa : ayat
29-30).
Nabi SAW pun bersabda, “Barang siapa yang membunuh
dirinya dengan sesuatu, ia akan di azab dengan itu di hari kiamat (HR Bukhari-Muslim).
Jika seseorang memahami tentang hal ini, pasti dia
akan berpikir seribu kali untuk melakukan bunuh diri. Pemahaman ini tidak lepas
dari kuatnya akidah dan keimanan seseorang yang membentuk keyakinan bahwa dunia
adalah tempat ujian. Dunia adalah penjara bagi kaum Muslim. Ketika kita ditimpa
musibah atau masalah sebenarnya itu cara Allah untuk mengangkat derajat dan
menghapuskan dosa-dosa dan memberikan pahala yang besar bagi siapa saja yang
mampu bersabar. Karena, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kemampuannya” (QS al-Baqarah: ayat 286). Bahkan, “Dan Allah akan
memberikan jalan keluar bagi sapa saja yang bertakwa” (QS at-Thalaq: ayat
2).
Pemahaman-pemahaman tersebut hanya dimiliki oleh
seorang Muslim yang menjadikan Islam sebagai landasan berpikirnya. Dan inilah
yang kaum Muslim khususnya para pemuda saat ini kurang mengetahuinya. Maka,
sudah selayaknya semua pemahaman dan keyakinan ini ada pada diri kaum Muslim.
Dalam hal ini, Islam tidak hanya mengecam perilaku
bunuh diri tapi juga memberi solusinya. Solusinya bisa melalui upaya edukasi
atau pembinaan di dalam keluarga, penanaman pemahaman menghadapi masalah baik individu
atau masyarakat. Jika pemahaman ini ditanamkan, maka seorang Muslim tidak akan
mengalami kebuntuan solusi atas masalah-masalah yang dihadapinya karena ia
senantiasa bertawakal kepada Allah.
Jika seorang Muslim merujuk pada syari'at, Islam akan
memberikan jalan keluar atas berbagai problematika kehidupan manusia. Islam
juga memberlakukan aturan guna meminimalisir tekanan-tekanan kepada
masyarakatnya sehingga mewujudkan sebuah tatanan berbangsa dan bernegara yang
minim stres, minim menghasilkan orang yang depresi. Pasalnya, di dalam sistem
Islam juga dilahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak membuat orang sengsara
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[]
Post a Comment