Irisan kemiskinan ekstrem dan stunting mencapai 60%. Artinya, sebagian besar penyebab stunting dilatarbelakangi oleh kemiskinan ekstrem, seperti mengakses kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), akses air bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Oleh karena itu, menurut Menko PMK Muhadjir Effendy, menyelesaikan kemiskinan ekstrem dan stunting harus dengan “keroyokan” berbagai pihak. Pemerintah harus berupaya serius menangani masalah tersebut melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif. (Republika, 14-1-2023).
Intervensi gizi spesifik, yaitu dengan peningkatan gizi dan kesehatan, dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Sementara itu, intervensi gizi sensitif, yakni intervensi pendukung untuk mempercepat penurunan stunting, seperti penyediaan air bersih, MCK, dan fasilitas sanitasi, dilakukan oleh Kementerian PUPR dan lainnya.
Semua harus serentak. Di pusat, Presiden Jokowi telah menargetkan masalah kemiskinan ekstrem nasional pada 2024 menjadi 0% dan masalah stunting turun menjadi 14%. Walhasil, kebijakan di daerah harus selaras. Rumah warga yang kurang layak, seperti akses sanitasi dan MCK yang buruk, juga akses air minum yang kurang, harus segera diselesaikan.
Muhadjir optimis, jika semua langkah itu dilakukan, permasalahan kemiskinan dan stunting pun akan terselesaikan. Ia pun meminta agar daerah mengoptimalkan potensi daerahnya untuk pendanaan. Misalnya, Kabupaten Sumbawa yang menjadi salah satu kabupaten yang termiskin dan angka stunting-nya tinggi, harus mengoptimalkan potensi baharinya.
Meski demikian, masyarakat kadung pesimis terhadap upaya pemerintah dalam menangani permasalahan kemiskinan dan stunting. Sedari awal kemerdekaannya hingga saat ini, masyarakat Indonesia selalu di bawah garis kemiskinan. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan, tetapi nihil dari keberhasilan.
Untuk di wilayah Sumatra Utara di gelontorkan dana yang cukup besar untuk mengatasi stunting pada anak.Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumatera Utara Muhammad Irzal menyampaikan Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB) Tahun 2023 di Sumut meningkat menjadi Rp493,7 miliar.
Menanggapi ini, Wakil Gubernur Sumut yang juga Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Sumut Musa Rajekshah berharap pemerintah kabupaten/kota dapat menyerap dana BOKB secara optimal guna mempercepat penurunan stunting sebagai fokus utama.
“Bersama BKKBN Sumut kita targetkan prevalensi stunting sebesar 18% tahun ini,” ujar Ijeck, sapaan akrab Musa Rajekshah saat rapat persiapan rakerda dan rencana kegiatan Ambasador Goes to Lake Toba di Ruang Kerja Wagub Sumut di Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Senin (30/1).
Tahun 2022, lanjut Ijeck, berdasarkan Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, Sumut berhasil menurunkan angka prevalensi stunting sebesar 4,7%, menjadi 21,1%, dari sebelumnya 25,8% pada 2021.
“Tahun 2022 kemarin kita targetkan prevalensi stunting turun 22% dan Alhamdulilah terealisasinya di bawah itu yakni 21,1%. Capaian yang luar biasa ini atas kerja sama antara Kepala Perwakilan BKKBN dengan pemerintah lrovinsi dan kabupaten/kota. Mudah-mudahan kami yakin untuk tahun 2023 angka 18% bisa tercapai bahkan mungkin bisa di bawah itu,” ujar Ijeck.
Penyerapan BOKB yang dinilai belum maksimal di tahun lalu, lanjut Ijeck, akan dibahas pada pertemuan di Rakerda Penurunan Stunting bersama Ketua TPPS Kabupaten/Kota se-Sumut pada 8 Februari mendatang.
“Nanti pada saat rakerda akan kita diskusikan apa kendala selama ini di daerah, seperti apa nanti penggunaan anggarannya agar tidak ragu-ragu dalam optimal dalam penyerapan dana BOKB, apalagi tahun ini jumlahnya meningkat hampir 300%. Kita bukan mau mengejar angka, kita mau daerah-daerah yang memang angka stuntingnya tinggi itu kita kejar supaya kasusnya menurun, karena ini menyangkut kesejahteraan rakyat kita,” tutup Ijeck.
Sementara itu, Muhammad Irzal juga menyampaikan target prevalensi stunting di Sumut pada tahun 2023 mencapai 18,55% dan di tahun 2024 mencapai 14,92%. Ia juga berharap realisasi dana BOKB bisa maksimal di tahun ini, karena menurutnya tahun lalu belum ada kabupaten/kota yang berhasil menyerap hingga 100%.
“Realisasi dana BOKB tahun 2022 yang paling tinggi di antaranya Tapanuli Selatan mencapai 90,57% dan Sibolga sebesar 86,92%. Tahun ini dana BOKB meningkat menjadi Rp493.759.896.000, jumlah ini mengalami kenaikan hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2022 sebesar Rp171 miliar,” katanya.
Ia pun berharap, tahun ini serapan dana alokasi khusus BOKB tersebut bisa meningkat. BKKBN, lanjutnya, telah menyediakan data keluarga berisiko stunting dari hasil Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK21) yang diiringi dengan verifikasi dan validasi setiap tahunnya.
“Data by name by address tersebut menjadi pegangan Tim Pendamping Keluarga (TPK) dalam melaksanakan fungsi pendampingan,” katanya.
Selain itu, operasional BKKBN Sumut juga telah membentuk 10.323 TPK di semua desa dan kelurahan, dimana tim ini beranggotakan sekitar 30.369 orang bidan, PKK dan kader KB. “TPK dibekali dengan pelatihan dasar dalam melaksanakan fungsinya, diperlengkapi dengan penyediaan paket data setiap bulannya dan anggaran operasional saat melakukan pendampingan kepada keluarga sasaran,” tutupnya.
Apa sebab utamanya? Mampukah persoalan kemiskinan dan stunting terselesaikan?
Mustahil Terselesaikan dalam Kapitalisme
Kemiskinan adalah persoalan yang tidak akan pernah dapat diselesaikan oleh sistem hari ini. Ini karena sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan hari ini lahir dari lemahnya akal manusia. Sistem ini tidak pernah sedikit pun melirik pada syariat Islam, padahal yang paling mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya adalah Sang Pencipta manusia dan alam raya, yaitu Allah Taala.
Setidaknya ada dua kelemahan yang menjadi permasalahan fundamental penyebab sistem ekonomi kapitalisme tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan stunting.
Pertama, adanya kebebasan kepemilikan. Sistem ini meliberalisasi seluruh sumber daya, termasuk sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, barang tambang batu bara mayoritas dikuasai swasta. Padahal, batu bara sebagai bahan bakar sangatlah diperlukan bagi terpenuhinya kebutuhan hidup manusia.
Akhirnya, tarif listrik menjadi mahal karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara. Andaikan batu baranya milik negara, otomatis ongkos produksinya tidak akan mahal. Belum lagi kepemilikan saham PLN yang ternyata mayoritasnya milik swasta. Jika sudah terkait swasta, orientasinya ada pada keuntungan perusahaan, bukan lagi pada terpenuhinya kebutuhan rakyat.
Ini baru kepemilikan batu bara yang jika seluruhnya dikuasai negara, Indonesia tidak harus berutang untuk menutupi defisitnya APBN. Belum bicara tambang lainnya, seperti nikel, minyak dan gas, emas, dan sebagainya.
Begitu pun dengan potensi bahari kita yang melimpah. Sebanyak 70% negara kita adalah lautan yang berpotensi bahari, seperti perikanan, terumbu karang, mangrove, energi dan pertambangan, dll. Nyatanya, mayoritas potensi itu justru dikuasai swasta sehingga mengoptimalkan potensi bahari oleh desa menjadi sangat sulit.
Sistem kapitalisme juga menjadikan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite saja. Mayoritas rakyat yang tidak memiliki kekuatan akan tersendat kebutuhan hidupnya. Inilah musabab listrik, air, pangan, kesehatan, pendidikan, dan seluruh kebutuhan hidup menjadi sulit diakses warga secara merata dan adil.
Kedua, negara korporatokrasi. Jika kita mencermati, banyaknya program yang diperuntukkan untuk mengentaskan kemiskinan selalu saja menggandeng swasta. Pemerintah sendiri hanya bertugas sebagai regulator, alias yang menetapkan kebijakan agar swasta dan rakyat mendapatkan maslahat bersama.
Pada penyediaan air bersih, misalnya, biasanya menggandeng swasta dengan alasan agar mendapat kualitas terbaik dan menyerap lapangan pekerjaan, padahal—aslinya—kurang dana. Jika sudah menggandeng swasta, artinya ada profit di sana. Inilah yang menjadikan tarif air menjadi mahal sebab negara malah berbisnis untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Sungguh, negara korporatokrasi hanya akan menghasilkan kebijakan yang mengarah pada kemaslahatan pengusaha. Kebijakan intervensi gizi dan penyediaan sejumlah fasilitas, seperti pengadaan air bersih, MCK, dll. bisa mandul dalam menyelesaikan permasalahan.
Ekonomi Islam Solusi Nyata
Jika telah jelas ekonomi kapitalisme mustahil menyelesaikan permasalahan, tentu solusinya tidak bisa sekadar pada tataran teknis program pemerintah. Ini karena apa pun programnya, jika kerangkanya masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme, bukan rakyat yang menjadi orientasi kebijakan, melainkan profit pengusaha dan penguasa.
Walhasil, perlu adanya sistem ekonomi alternatif untuk menyelesaikan problem kemiskinan dan stunting. Tentu sistem ekonomi Islamlah yang akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Sistem ekonomi Islam mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan stunting tersebab dua poin penting.
Pertama, pembatasan aturan kepemilikan. Aturan ini mampu mencegah kemiskinan secara permanen sebab yang menjadi hak banyak orang terlarang dikuasai individu, sekalipun ia mampu membelinya.
Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Untuk kepemilikan individu, setiap individu boleh memilikinya dengan cara sesuai syariat, seperti hasil kerja keras, warisan, pemberian harta, hadiah, dsb.
Adapun kepemilikan umum, terlarang bagi individu untuk memprivatisasi/memonopolinya sebab aset tersebut notabene milik masyarakat. Misalnya, rumput, air, pembangkit listrik, danau, laut, jalan raya, ataupun barang tambang melimpah (emas, batu bara, dan minyak bumi).
Kepemilikan negara meliputi harta yang pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah, seperti ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, dsb.
Pengelolaan kepemilikan pun harus sesuai syariat. Haram bagi seseorang menginvestasikan hartanya dengan cara ribawi. Cara ini akan menjadikan harta berputar, perekonomian riil menjadi berkembang, kemiskinan pun otomatis berkurang.
Kedua, peran negara begitu sentral dalam distribusi kekayaan. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan dasar umatnya. Negara akan benar-benar mensensus warganya, memastikan para kepala keluarga bisa menafkahi tanggungannya, sekaligus menyediakan lapangan pekerjaannya.
Jika kepala keluarga dan kerabatnya tidak sanggup menafkahi, negara wajib membantu warganya untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhannya pun harus layak, perumahan, pakaian, termasuk pangannya, semua harus layak konsumsi dan bergizi. Dari sini, permasalahan stunting bisa terselesaikan.
Khatimah
Stunting yang makin genting akibat kemiskinan ekstrem adalah buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme, sistem yang melahirkan kebebasan kepemilikan dan abainya negara korporatokrasi dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.
Oleh karenanya, menyelesaikannya harus dengan mengganti paradigma sistem kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam yang diterapkan secara dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dengan demikian, akan tercipta masyarakat sejahtera dan anak-anaknya pun tercukupi gizinya. Inilah yang jaminan terlahirnya generasi cemerlang yang siap memimpin peradaban Islam yang gemilang.
Post a Comment