Oleh: Junari, S.I.Kom
Negeri ini dikelilingi oleh kekayaan yang melimpah. Memiliki kekayaan alam yang luas, tanah yang subur serta pantai yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sejatinya kekayaan alam ini membuat negeri ini sejahtera. Namun hal ini sangat disayangkan, bagaimana tidak kekayaan yang melimpah ruah tidak memberikan keuntungan bagi pribumi, malah hutang menumpuk dan meningkat. Rakyat diibaratkan ayam mati di lumbung padi.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57% (cnbcindonesia.com, 18-01-2023).
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengungkapkan, utang pemerintah terus menerus meningkat sejak 2014 utang pemerintah tercatat Rp 2.608,78 triliun dan di November 2022 mencapai Rp 7.554,25 triliun. Karena buruknya sistem politik di Indonesia, sehingga perencanaan keuangan negara menjadi sangat buruk. "Ekonomi dan politik sebetulnya tidak bisa dipisahkan, yang jadi masalah adalah adanya kemunduran pada dunia politik di Indonesia, terlalu banyak kongkalikong yang membuat fungsi check and balance di DPR menjadi sangat lemah, perkembangan utang pemerintah meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi," tegas Didik (harianSIB.com, 06-01-2023).
"Terkait utang Indonesia yang semakin besar, maka ini bisa merupakan salah satu kriteria kegagalan pemerintah mengelola negara, sehingga hutang makin tak terbendung. Dengan banyaknya hutang luar negeri maka ini membuat wibawa negara makin turun di dunia internasional "ujar Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam (Republikmerdeka, 20-01-2023).
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hutang akan terus meningkat di setiap tahun. Bahkan pergantian seorang pemimpin dalam sistem ini tidak merubah angka peningkatan hutang. Melainkan makin bertambah dan tidak terbendung. Padahal hutang dapat menjadikan negara bunuh diri secara politik karena kedaulatannya bisa tergadai.
Hal itu terlihat paling menonjol pada saat masa Covid-19, pemerintah secara otoriter mengeluarkan Perppu yang memperlebar defisit anggaran, pasalnya dari momen ini lah yang menjadikan utang pemerintah semakin besar. Walaupun sebelumnya juga pemerintah doyan terhadap ngutang. Karakter doyan hutang yang dimiliki oleh negara kita saat ini bukanlah karena negeri ini kekurangan materi atau kekayaan alam. Melainkan, adanya kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam yang ada. Negara malah melepas tangan terhadap pengelolaan dan memberikan kepada pihak-pihak swasta. Sehingga, hasil dari pengelolaan itu Indonesia hanya mendapatkan sisa-sisa dari keuntungan swasta. Karena, perhitungan laba-rugi itu memakai standar mereka yang mengelola yaitu pihak swasta. Padahal, kekayaan alam Indonesia itu sangat melimpah ruah dan kemungkinan untuk Indonesia ngutang itu sangat minim.
Kegagalan pengelolaan sumber daya alam (SDA) ini merupakan hasil dari negara menerapkan sistem pengelolaan yang salah. Sistem tersebut yaitu sistem kapitalisme dengan asas sekularismenya. Dalam sistem kapitalisme semua kekayaan di negeri ini bisa dimiliki oleh siapapun semasih memiliki modal dan backing dari penguasa. Karena, kapitalisme menjunjung tinggi asas kebebasan salah satunya kebebasan berpemilikan. Sehingga, wajar SDA dalam negeri ini terswastanisasi semua.
Maka dari itu, agar pengelolaan sumber daya alam (SDA) tidak dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu maka dibutuhkan sistem yang tidak memberikan ruang terhadap pihak yang memonopoli. Yakni, swasta itu sendiri. Sistem yang tidak mentolerir SDA dimonopoli oleh pihak swasta maupun asing hanya sistem Islam. Sistem Islam hanya akan sempurna diterapkan dalam kehidupan ketika adanya sebuah negara yang menerapkannya secara kaffah dan negara itu adalah Khilafah.
Sebab, di dalam negara khilafah terkait kekayaan dipilah menjadi tiga kategori. Pertama, kekayaan milik pribadi. Kedua, kekayaan milik umum. Ketiga, kekayaan milik negara. Kekayaan milik pribadi tidak akan bisa dinasionalisasi, kecuali dengan izin pembuat syariat. Begitu juga kekayaan milik umum tidak akan bisa diprivatisasi, karena tidak adanya izin dari pembuat syariat. Begitu pula, kekayaan milik negara bisa diberikan kepada individu juga karena adanya izin dari pembuat syariat yang diberikan kepada khalifah melalui mekanisme iqtha, dll.
Kemudian pengelolaan kekayaan individu dan distribusinya akan kembali kepada individu. Sedangkan kekayaan milik umum dan negara, pengelolaan dan distribusinya kembali kepada negara. Negaralah satu-satunya yang berhak untuk mengelola dan mendistribusikannya sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat. Namun, dalam hal ini negara tidak boleh melanggar ketentuan syariat. Seperti melakukan privatisasi kekayaan milik umum kepada individu, baik domestik maupun asing (KH. Hafidz Abdurrahman, MA., Peradaban Emas Khilafah Islamiyah).
Oleh karena itu, hanya dalam sistem Islam lah indonesia akan mampu menjadi negara besar. Negara yang mampu mengelola SDA secara mandiri dan hasilnya digunakan untuk membangun negeri dan mensejahterakan semua rakyatnya.
Wallahualam Bishawwab.
Post a Comment