Utang Membengkak, Negara Salah Kelola?



Oleh Sadiah, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)

Dari tahun ke tahun ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan. Utang negara pun kian membengkak. Tak ayal semua ini memicu timbulnya kekhawatiran di tengah masyarakat

Dikutif dari HarianSIB.com (06/01/2023), Ekonom senior Institute for Development of Ekonomics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan bahwa di masa jabatan Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014, utang pemerintah terus meningkat. Ia memaparkan bahwa di tahun terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat pada tahun 2014 utang pemerintah sudah mencapai Rp 2.608,78 triliun. Dan kini utang negara Indonesia sudah mencapai Rp 7.554,25 triliun.

Sementara itu, Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam, mengatakan bahwa semakin besarnya utang Indonesia bisa merupakan salah satu kriteria kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. Dengan banyaknya utang luar negeri, ini bisa membuat wibawa negara semakin turun di dunia Internasional. Namun, menurutnya, publik justru merasa heran mengapa utang semakin meningkat? Padahal, rakyat tidak merasakan signifikansi dari membludaknya utang tersebut.
Meski demikian, hal tersebut akan sangat memberikan efek negatif bagi rakyat, karena pada akhirnya yang akan menanggung semua ini adalah rakyat, melalui pajak yang harus dibayar oleh mereka. (RMOINETWORK, 20/01/2023)

Sungguh ironis, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia tidak mampu mengelolanya dengan baik. Padahal, seandainya negara bisa mengelola SDA tersebut dengan benar, maka bisa menjadi pemasukan bagi kas negara dan bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan negara juga rakyat. Semua lapisan masyarakat  akan merasakan kesejahteraan, karena seluruh kebutuhannya terpenuhi, baik pangan, sandang, maupun papan. Kebutuhan terhadap kesehatan juga pendidikan.
Sayangnya, hal itu hanya angan-angan, karena faktanya negara justru menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada individu untuk diprivatisasi, yaitu kepada para kapitalis (pemilik modal), asing dan aseng. 

Sebenarnya tidak mengherankan, karena Indonesia sebagai negara yang menganut sistem kapitalis. Sistem ini terlahir dari satu landasan yaitu sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjurus pada pemisahan agama dari negara. Kapitalisme tidak mengenal batasan mana kepemilikan individu, umum, dan negara. Yang dibutuhkan hanya modal besar dalam rangka menguasai kekayaan, baik kekayaan yang menghidupi hajat orang banyak atau bukan, baik modal itu berasal dari harta halal atau pun haram melalui utang yang mengandung riba.

Padahal utang dapat menjadikan negara bunuh diri secara politik karena kedaulatannya tergadaikan. Melalui kerjasama organisasi regional dan dunia, dijeratlah negeri-negeri di dunia dengan utang, atas nama investasi, seperti negara Indonesia ini. Dengan jargon investasi membangun negeri.

Tanpa investasi kemajuan Indonesia akan sulit diwujudkan. Lalu, bagaimana dengan investasi di Morowali yang memakan korban pekerja pribumi? Sebab, nyatanya investasi Cina tak hanya uang, tetapi juga SDMnya, teknologi termasuk barang-barang yang diperlukan untuk project . Selain itu, posisi, pendapatan dan fasilitas yang didapat pekerja asing lebih baik dari yang didapat pekerja pribumi.

Hal tersebut tentu menimbulkan kecemburuan sosial dan bibit-bibit sentimen, hingga akhirnya terjadi kerusuhan yang memakan korban.
Inilah akibat dari sistem Kapitalisme yang hanya mencari materi, keuntungan dan kemanfaatan semata.

Berbeda dengan sistem Islam yang berasal dari Allah Swt. satu-satunya sistem yang memberikan kemanfaatan untuk umat, bukan untuk pribadi. Dalam sistem Islam, apa yang menjadi kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh individu.

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda, " Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api". (HR. Abu Dawud).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa fasilitas umum (kepemilikan umum) yaitu apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasul saw. menjelaskan bahwa barang tersebut menjadi milik umum dari sifatnya bukan dari sisi jumlahnya.
Benda-benda yang termasuk kategori kepemilikan umum yaitu benda yang dinyatakan Allah Swt. memang diperuntukkan bagi suatu komunitas masyarakat dan melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja.

Benda-benda itu tampak dalam tiga macam, pertama merupakan fasilitas umum, jika tidak ada dalam suatu komunitas atau negeri maka akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya (semisal air). Kedua, barang tambang yang tidak terbatas. Dan ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

Demikianlah pengelolaan kepemilikan umum dalam sistem Islam. Jika Indonesia menerapkannya, Indonesia akan mampu menjadi negara besar yang mampu mengelola sumber daya alam secara mandiri, dan hasilnya digunakan untuk membangun negeri dan menyejahterakan rakyat. Dengan potensi kekayaan alam yang dimiliki, baik di darat, laut dan udara sudah terbayang berapa banyak pendapatan negara. Negara pun akan mampu membiayai operasionalnya, berapapun besarnya, tanpa harus berhutang kepada asing.

Dalam sistem Islam, penguasa adalah raa'in (pengurus) umat. Tanpa memandang miskin-kaya, hidup di desa atau kota, bahkan di pelosok semua akan mendapatkan pengurusan dan pelayanan dari penguasa.

Rasulullah saw. bersabda:
"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengutusan rakyatnya. " (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian, rakyat adalah tumpuan perhatiannya, bukan para kapitalis (pemodal), sedangkan kita hanya mendapatkan remah-remah investasi yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan nilai tambang dan seluruh kekayaan alam negeri ini.

Hanya dalam sistem Islam lah kesejahteraan akan terwujud, dengan menerapkan aturan dari Sang Pencipta sekaligus al-Mudabbir (pengatur) yaitu Allah Swt.

Wallahu a'lam bishawwab 

Post a Comment

Previous Post Next Post