Sistem Islam Menjunjung Tinggi Supremasi Hukum

Oleh : Rosnani (Ibu Rumah Tangga)

Dikutip REPUBLIKA.CO.ID, tindakan Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan (Satlantas Polrestro Jaksel) menetapkan Muhammad Hasya Atallah Saputra sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas sebagai bentuk rekayasa kasus. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) pun merasa tindakan kepolisian itu seperti mirip ulah Irjen Ferdy Sambo dalam kasus kematian Brigadir J.
"Bagi kami, fenomena ini seperti Sambo jilid dua. Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji, kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan," kata Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Kemudian kasus ini berujung pada pencabutan status tersangka pada Muhammad Hasya, seperti yang disampaikan oleh Polda Metro Jaya dikutip dari beritasatu.com, bahwa ditemukan beberapa ketidaksesuaian administrasi prosedur yang diatur dalam aturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana terkait proses penetapan status dan tahapan lain terhadap perkara tersebut. Blunder yang terus berulang, begitu tanggapan dari masyarakat terhadap kasus ini, tidak lepas dari kasus-kasus sebelumnya yang hampir serupa yang sering berujung pada permohonan maaf dari pihak aparat, semua ini adalah bukti lemahnya hukum di Indonesia, yang bahkan mencederai keadilan di negeri ini. 
Kasus ini menjadikan profesionalisme penegak hukum dipertanyakan. Profesionalisme menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam profesi apapun, apalagi pada institusi penegak hukum. Sayangnya profesionalisme tidak berlaku dalam sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, agama hanya diletakan sebagai ibadah ritual semata bukan untuk mengatur kehidupan manusia. 
Tidak aneh karena sistem aturan yang berlaku pada saat  ini aturan buatan manusia, maka sering menyaksikan kasus hukum yang memutarbalikan fakta, hukum yang dapat diperjual-belikan karena manusia membuat dan mengatur hukum sesuai kepentingan masing-masing sehingga mudah sekali kasus yang menimpa Hasya terjadi apalagi korban telah meninggal. 
Hukum sekularisme bagai pisau dapur tajam ke masyarakat namun tumpul kepada orang-orang yang mempunyai kepentingan, kedudukan maupun jabatan. Maka tidak heran keadilan menjadi barang yang sangat langka pada saat ini.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Negara yang menerapkan sistem Islam sangat menjungjung tinggi supremasi hukum. Hal ini disebabkan penerapan hukum yang adil  adalah bagian dari syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh negara seperti disebutkan dalam Al-Quran, Surat Al-Maidah ayat 8 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah”. 
Keadilan akan terwujud ketika kedaulatan hukum berada di tangan As Syari sebagaimana Firman Allah yang artinya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum)  Allah bagi orang-orang yang yakin. ” (QS. Al-Maidah: 50) 
Sanksi pidana Islam untuk pelaku pembunuhan sengaja adalah salah satu dari 3 (tiga) jenis sanksi pidana syariah, bergantung pada pilihan yang diambil oleh keluarga korban, yaitu :
pertama, hukuman mati (qishâsh); atau
kedua, membayar diyat (tebusan/uang darah); atau
ketiga, memaafkan (al’afwu). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm Al-Uqûbât, hlm. 91 & 109).
Sanksi-sanksi pidana Islam didasarkan pada firman Allah yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178)

Merujuk pada kasus tragis al marhum Has jika dihukum dengan sanksi Islam kasus tersebut bisa terkategori pembunuhan tersalah sebab pembunuhan yang terjadi bukan dengan disengaja namun dengan jalan terbunuhnya seseorang. 
Dalam hukum Islam tidak mengenal peradilan banding, peninjauan kembali, dan yang lainnya  karena keputusan pengadilan bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Konsep ini akan menutup celah kong kalikong dan tarik menarik sanksi.
Jika terbukti pembunuhan tersalah pelaku akan dikenakan sanksi berupa membayar denda ringan yang diambilkan dari harta keluarga pembunuh dan dapat dibayarkan secara bertahap selama tiga tahun kepada keluarga korban setiap tahunnya seper tiga.
Penerapan hukum Islam telah terbukti selama 1.300 tahun lamanya baik korban dan pelaku sama-sama mendapatkan keadilan. Sanksi dalam Islam tidak mengenal hak istimewa golongan semua warga sama di mata hukum Islam. Sehingga tidak ada kesenjangan sosial hukum atau kecemburan antar masyarakat.
Wallahualam bish-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post