Oleh: Jasmine Fahira Adelia Fasha
Anggota
Komunitas Muslimah Menulis Depok
Belakangan
ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya gerai ice cream asal Cina, yakni Mixue
yang banyak diminati masyarakat dan
ternyata belum mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lebih lagi, salah satu gerainya justru memasang stiker logo halal MUI. Tentu
hal ini membuat masyarakat geger, pasalnya gerai ini sama sekali belum memiliki sertifikasi
halal MUI. MUI pun mengonfirmasi terkait adanya informasi tersebut, bahwa Mixue belum mendapatkan
sertifikasi halal MUI melainkan masih dalam proses.
Namun
tak sedikit masyarakat masih memilih untuk membeli Mixue. Tampak terlihat gerai tersebut masih dipenuhi masyarakat
khususnya anak-anak sampai remaja. Hal ini tentu menjadi renungan untuk kita
semua, sebab makanan dan minuman yang tersebar di Indonesia saat ini memang
belum semuanya memiliki sertifikat halal dari MUI.
Negeri yang mayoritas Muslim ini seharusnya menjadi pusat
perhatian bagi negara untuk segera mengambil langkah menjadikan sertifikasi
halal sebagai kewajiban bagi usaha mikro maupun makro. Mengingat kondisinya
saat ini belum semua masyarakat Indonesia memperhatikan betul urgensi
sertifikasi halal MUI. Karena persepsi yang beredar terkait halal dan haram
hanyalah sebatas ‘no
pork no lard’ (tidak mengandung
babi dan lemak bab) atau ‘no alcohol’ (tidak mengandung alkohol).
Padahal,
jika kita teliti lebih dalam titik kritis dari suatu makanan dan minuman bukan
sekadar ‘no pork no lard’ melainkan
ada banyak titik kritis yang harus kita perhatikan. Kita tidak tahu apakah
produk yang digunakan dan proses pembuatan yang dilakukan sudah aman dari
bahan-bahan non-halal atau belum. Maka dari itu, sertifikasi tentu penting
adanya. Sehingga tidak akan lagi menyulitkan masyarakat Muslim.
Lantas
bagaimana dengan restoran atau produk yang memang menggunakan bahan-bahan
non-halal? Bukankah
tidak semua restoran menjadikan Muslim
sebagai target pasarnya? Apakah
harus merubah target pasarnya demi memiliki sertifikasi halal MUI?
Hal
itu betul adanya, tidak semua restoran harus menjadikan Muslim sebagai target
pasarnya. Namun akan selalu ada cara atau solusi yang masih bisa diakukan selama ada
kemauan, yakni dengan mewajibkan semua usaha baik mikro dan makro mempunyai
sertifikat halal MUI dan apabila tidak bersedia maka wajib hukumnya untuk
menempelkan stiker logo makanan atau minuman non-halal. Sehingga tidak lagi
menyulitkan masyarakat Muslim
dalam memilih makanan karena negara sudah memfasilitasi dengan baik.
Bukan
hanya itu, negara juga wajib memberikan pelayanan lainnya berupa edukasi
seputar makanan dan minuman halal seperti memahami titik kritis makanan dan
minuman agar masyarakat bisa semakin peduli dengan asupan yang ia terima
sehari-harinya.
Pasalnya, sebagai Muslim tentu harus paham betul makanan yang
masuk makanan halal dan juga thayyib. Hal tersebut Allah sampaikan dalam surah al-Baqarah ayat 168 yang
isinya:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوۡا مِمَّا فِى الۡاَرۡضِ
حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِؕ اِنَّهٗ لَـكُمۡ
عَدُوٌّ مُّبِيۡ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan)
yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu,” (QS al-Baqarah: 168).
Allah sudah jelas menegaskan untuk memakan
makanan yang halal dan baik yang ada di bumi. Maka
inilah tugas kita sebagai Muslim
untuk terus menjaga setiap makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh kita.
Begitu pun dengan peran negara
yang diharapkan bisa memberikan pelayanan dan fasilitas yang baik dalam edukasi
halal serta kewajiban usaha dalam memproses dan mendapatkan sertifikasi halal
MUI demi kebaikan umat bersama agar masyarakat
tidak ragu dan bingung makanan yang dimakan itu halal atau haram.[]
Post a Comment