Papua yang Merana, Papua yang Meradang


Oleh Enny Nurafifah
Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Belum selesai dengan gempa di Turki beberapa waktu lalu yang menarik empati dan simpati dunia, di tanah air tepatnya di Jayapura, Papua juga telah terjadi gempa berkekuatan magnitudo 5,2 pada 9 Februari 2023. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan sudah ada lebih dari 1.000 gempa menggoyang Jayapura, Papua, sejak awal Januari 2023 hingga 9 Februari 2023 (CNN Indonesia, 9/2/2023).

Kepala Pusat Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono menjelaskan kawasan gempa di Jayapura merupakan wilayah yang rawan pergeseran akibat kondisi batuan rapuh. Kedalaman gempa bumi ini relatif dangkal, di mana pembentukan batuan itu tidak sekompak pada kedalaman puluhan hingga ratusan kilometer sehingga sangat mudah dengan pergerakan itu menimbulkan gempa.

Diberitakan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencan) korban gempa mengungsi mencapai 2.136 jiwa yang tersebar di 15 titik. Ada korban meninggal 4 jiwa. Gempa itu juga menyebabkan sedikitnya 55 bangunan rusak, yaitu 15 rumah rusak berat, satu rumah rusak sedang,serta 28 rumah rusak ringan. (BBC News Indonesia, 10/2/2023)

Sementara itu situasi di Nduga Papua Pegununagan memanas. Gabungan TNI-Polri mengevakuasi 25 warga distrik Paro ke distrik Kenyam ibu kota kabupaten Nduga. Evakuasi ini merupakan yang kedua pasca penyelamatan terhadap 15 pekerja puskesmas yang sempat disandera Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), pimpinan Egianus Kogoya. Sebelumnya sebagaimana diberitakan pesawat Susi Air dibakar oleh KKB di Nduga pada  7 Februari lalu.

Konflik yang terjadi berlarut-larut baik terror yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) maupun konflik antar suku makin memperparah kondisi di Papua. Banyak bentrokan dan konflik yang memicu terjadinya pembakaran, perusakan sampai pada pembunuhan.  Polda Papua mencatat, pada 2022 ada sekitar 90 kasus kejahatan yang dilakukan KKB. Dari catatan itu, sedikitnya ada 53 korban meninggal dunia, baik warga sipil, TNI, maupun Polri (CNN Indonesia, 9/2/2023)

Semua itu tentu sangat berimbas kepada pembangunan infrastuktur di Papua. Padahal pembangunan infrastruktur sangat memberikan banyak manfaat untuk masyarakat Papua. Banyak pembangunan jalan dan telekomunikasi yang dirusak oleh KKB. Perusakan akses dan fasilitas umum milik negara, tower telekomunikasi, rumah sakit, sekolah hingga bandara tidak jarang disertai dengan ancaman. Situasi seperti ini sudah tentu sangat merugikan rakyat Papua. 
Pembangunan yang terhambat dan suasana konflik yang berkelanjutan sudah pasti akhirnya berimbas kepada kondisi kemiskinan yang makin meningkat di Papua. Sebagaimana data yang dirilis oleh BPS provinsi Papua memimpin provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi pada September 2022, yakni sebesar 26,80% meningkat 0,24% poin terhadap Maret 2022 (CNBC Indonesia, 17/1/2023). 

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sepertinya peribahasa yang pas untuk menggambarkan kondisi terkini di Papua.

Papua Daerah Melimpah Sumber Daya Alam.
Papua merupakan wilayah yang kaya akan bahan tambang seperti tembaga, emas, batu bara, besi, batu kapur, pasir kaolin, minyak bumi, dan gas alam. Perlu diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Indonesia memiliki tambang emas seluas 1.181.071,52 hektare (ha). Tambang tersebut tersebar di 25 provinsi. Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha dengan kandungan bijih emas terbesar sebanyak 52% dari seluruh tambang emas di Indonesia. Tambang emas tersebut tersebar di enam kabupaten, yakni Pegunungan Bintang, Keerom, Nabire, Dogiyai, Mimika, dan Paniai (CNBC Indonesia, 12/1/2023). 

Pada 2021, Tambang Grasberg yang ada di Papua, Indonesia, memproduksi 1,34 miliar pon tembaga pada 2021 lalu. Papua juga memiliki sebanyak 1.76 juta ton biji dan 1.875 juta ton biji untuk cadangan perak. Berdasarkan data Booklet Perak yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, ini cadangan sumberdaya yang dimiliki Tanah Papua.
Tidak heran tanah Papua menjadi rebutan perusahan asing untuk melakukan ekpslorasi. Sebut saja Barrick Gold dan Freeport MC Moran yang banyak melakukan investasi sektor tambang di Papua.

Sementara kita melihat sendiri bagaimana kondisi masyarakat Papua yang kian tidak menentu. Hari-hari dipenuhi dengan situasi yang menegangkan dan mencekam. Kemiskinan tertinggi padahal mereka punya tambang emas terbesar di Indonesia bahkan dunia.  Potensi Papua memang sangat luar biasa. Namun, bukan secara ekonomis saja, tapi Papua memiliki potensi geopolitis dan geostrategis bagi pertahanan dan kedaulatan Indonesia. Papua adalah sabuk pertama Indonesia di kawasan Pasifik.

Keterlibatan Asing Dalam Persoalan Papua 

Persoalan Papua memang tak sederhana. Selain soal kesejahteraan dan ketidakadilan, ada kepentingan asing yang berkelindan di sana. Terutama saat ditemukannya potensi SDA Papua yang luar biasa, yang membuat asing berebut masuk dengan berbagai cara. Meski pada akhirnya, Amerikalah yang jadi pemenangnya. Di saat yang sama pemerintah dianggap terlalu fokus dengan pembangunan yang ada di Jawa sementara di Papua cenderung abai. Ketidakadilan ini sungguh mencolok di mata rakyat Papua hingga sebagian rakyat Papua mereka merasa “dijajah” Indonesia.
Inilah yang membuka celah bagi asing dan antek-anteknya untuk bermain-main dengan isu Papua. Mereka tiupkan angin surga “Papua Merdeka” di tengah rakyat yang menderita. “Papua merdeka” pun menjadi mimpi besar yang diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Namun, dalam perkembangannya yang sesungguhnya paling mencolok dalam problem Papua adalah kian menguatnya belenggu oligarki kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di sana. Di mana wilayah Papua kian tampak menjadi ladang bancakan proyek para oknum politikus pusat dan daerah yang berkolaborasi dengan para kapitalis asing yang hendak menarik untung dari situasi Papua.

Sejak awal, Papua sejatinya adalah bagian dari Nusantara. Yakni masuk dalam wilayah kekuasaan kesultanan Tidore. Lalu ratusan tahun jatuh ke tangan penjajah Spanyol dan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pada 1961 Belanda yang serakah hendak mencabiknya kembali dari Indonesia.
Maka, jadilah tanah Papua sebagai medan konflik berkepanjangan. Baik sejak era administratif sementara PBB (1962-1969), hingga saat rakyat Papua memutuskan tetap bersama Indonesia melalui referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan lalu berganti nama dengan IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland) JAYA. Hanya saja, banyak yang menengarai bahwa bergabungnya Papua dengan Indonesia justru menjadi awal penderitaan yang lebih dalam bagi rakyat Papua. Betapa tidak? Sejarah menunjukkan, Papua digabung dengan Indonesia adalah demi kontrak karya. Sebagaimana diketahui, saat masih menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera atau sebelum resmi menjadi presiden, Soeharto sudah menerbitkan Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dan untuk Freeport sendiri, kontrak karyanya sudah diteken pada 7 April 1967. Dan saat itu juga, nyaris seluruh kekayaan alam Papua, baik berupa tambang termasuk migas, hutan, laut, dan sebagainya langsung menjadi rebutan para kapitalis rakus dari berbagai negara. Dan justru semua inilah yang menjadi akar problem yang tak pernah tuntas di Papua.

Penguasaan investor atas kekayaan alam Papua bisa digambarkan sebagai berikut:
Kontrak Karya (KK) Freeport saja mencakup area seluas 2,6 juta hektar. Hak Penguasaan Hutan (HPH) seluas 15 juta Hektar. Hutan Tanaman Indistri (HTI) seluas 1,5 juta hektar. Izin perkebunan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) seluas 5,4 juta hektar.
Jika ditotal, seluruh izin ekploitasi kekayaan alam tersebut luasnya setara dengan 57 persen luas daratan Papua. Dan ini, belum termasuk kontrak migas, di mana perusahaan minyak terbesar yang sekarang beroperasi di Papua adalah British Petroleum (BP) yang menguasai Gas Tangguh di Teluk Bintuni Papua Barat.

Selain Amerika dan Inggris, Papua juga menjadi lahan bancakan negara Australia, Jepang, dan Cina. Australia, ada 6 perusahaan yang beroperasi di sana. Yakni Hillgrove Resources, Killara Resources, Painai Gold, Queensland Nickel, Rio Tinto, dan Santo. Sementara Cina, ada China National Offshore National Oil Cooperation (CNOOC), serta Anhui Conch Cement Company. Adapun Jepang, diwakili Japan Gasoline Co (JGC), perusahaan LNG yang bergerak di bidang pembangkit listrik di Sorong, Papua Barat.

Solusi Pemerintah dalam Persoalan Papua

Pada 2002 Pemerintah Pusat sendiri telah memberi status otonomi khusus (otsus) terhadap Papua. Sedangkan untuk Papua Barat diberikan sejak 2009. Dengan status ini, pemerintah daerah Papua diberi kewenangan untuk menentukan sendiri kebijakan yang dibutuhkannya, sekaligus berhak mendapat dana khusus dan dana tambahan infrastruktur ratusan triliun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Papua mengakui, pemanfaatan dana otsus tersebut belum benar-benar optimal merata dan belum menyentuh kepentingan masyarakat asli Papua (OAP). Hal ini bisa dilihat dari indikator pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di wilayah Papua tetap saja masih lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata kabupaten/kota dengan karakteristik serupa. Apalagi di tengah konflik dan serangan KKB semakin memparah kondisi masyarakat Papua.

Solusi Hakiki Peroalan Papua

Sesungguhnya yang dibutuhkan Papua adalah hak beroleh keadilan dan kesejahteraan bukan disintegrasi. Harus ada perubahan mendasar terkait paradigma kepemimpinan penguasa sekaligus sistem hidup yang diterapkannya. Selama kepemimpinan tegak di atas asas sekularisme yang berbasis kebebasan dan materialisme, serta aturan yang diterapkan adalah sistem demokrasi kapitalisme neoliberal, maka dipastikan keadilan dan kesejahteraan hanya ada dalam impian. Bukan hanya bagi rakyat Papua, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Paradigma kepemimpinan sekuler memang jauh dari nilai-nilai ruhiyah dan moralitas. Kepemimpinan, hanya melulu soal memuaskan syahwat berkuasa serta target meraih keuntungan bagi segelintir orang atau elite saja. Jauh dari paradigma tanggung jawab mengurus dan menjaga. 

Begitu pun dengan sistem hidup yang diterapkan. Demokrasi dan kapitalisme nyatanya hanya melahirkan ketidakadilan dan kemiskinan. Karena sistem ini berbasis pada kekuatan modal dan pro para pemodal (kapitalis) yang berkolaborasi dengan para penguasa yang kekuasaannya pun tegak dengan kekuatan modal.

Sungguh yang dibutuhkan rakyat Papua dan masyarakat Indonesia seluruhnya hanyalah kepemimpinan Islam. Karena kepemimpinan ini tegak di atas asas akidah yang melahirkan aturan untuk memecahkan seluruh persoalan sesuai tujuan penciptaan. Akidah inilah yang akan menuntun para penguasa menempatkan dirinya sebagai pengurus dan penjaga rakyatnya. Kepemimpinan ini tak hanya berdimensi dunia saja, tetapi berkonsekuensi berat bagi nasib mereka kelak di akhirat. 

Bersamaan dengan itu, dari akidah ini lahir pula aturan atau sistem hidup yang saheh yang dipastikan akan melahirkan keadilan dan kesejahteraan. Karena aturan ini berasal dari Zat yang menciptakan manusia dan kehidupan, Zat pemilik segala kebaikan, ilmu, kesempurnaan, dan keadilan. 
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur'an surat Al-A'raf ayat 96:
 
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post