Oleh: Kharimah El-Khuluq
Naik haji merupakan rukun Islam yang ke lima dan hukumnya fardlu'ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan mampu. Walaupun terhalang oleh jarak, biaya, dll. itu semua tidak menyurutkan keinginan kaum muslim untuk menunaikan ibadah haji.
Namun, naasnya di tengah keinginan kaum muslim yang sangat menggebu, penguasa di negeri ini malah dengan santainya membelenggu keinginan kaum muslim untuk naik haji. Hal ini bisa kita amati dengan kebijakan baru dari pemerintah yaitu menaikkan tarif ongkos naik haji.
Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jamaah haji jadi sebesar Rp69 juta.
Biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta. Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan 2018 sampai 2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35 juta.
Tidak hanya itu, pemerintah mengusulkan biaya hidup (living cost) yang diberikan kepada jemaah haji tahun ini hanya sebesar 1000 Riyal atau setara Rp4.080.000. Angka ini menurun 500 Riyal dari tahun lalu (cnnIndonesia. com, 20/01/2023).
Biaya perjalanan ibadah haji yang diusulkan sangat luar biasa tidak masuk akal. Sebab, kita ketahui sendiri bahwa kondisi ekonomi masyarakat di negeri ini sebagian besar masih belum sejahtera. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah sangat mencekik bagi mereka.
Di tengah himpitan ekonomi yang tidak kunjung berakhir, seyogianya pemerintah memfasilitasi rakyat untuk mudah beribadah. Apatah lagi, Indonesia penguasanya adalah seorang muslim dan masyarakatnya mayoritas Islam. Sudah sepatutnya dalam kebijakannya terkait pelaksanaan ibadah penguasa menunjukkan dedikasinya sebagai pemimpin yang beragama Islam. Yakni, mempermudah dan mendorong rakyatnya untuk bersegera menunaikan segala ibadah yang diperintah oleh Allah SWT. salah satunya adalah menunaikkan ibadah haji.
Namun sayangnya, penguasa saat ini paradigma berpikirnya tidak mengarah kepada menghambakan dirinya kepada Allah. Melainkan di dalam benak mereka adalah melahirkan kebijakan yang menghasilkan keuntungan. Sehingga, demi meraup keuntungan apapun akan mereka lakukan, salah satunya dalam menaikan ongkos naik haji negara diduga mengapitalisasi dana haji rakyat. Karena, Pemerintah Saudi telah mengumumkan pengurangan biaya asuransi untuk haji 2023. Tarif asuransi akan diturunkan dari 109 SAR (29 USD) menjadi 29 SAR (7,7 USD) untuk setiap jamaah haji, yang menunjukkan penurunan sebesar 73%. Tarif premium untuk umrah juga akan dikurangi sebesar 63% dari 235 SAR (62,6 USD) menjadi 88 SAR (23,4 USD), (Atlas Magazine, 13/01/2023).
Lahirnya kebijakan yang hanya berstandarkan manfaat semata adalah biang kerok dari ideologi kapitalisme dengan akidah sekularismenya. Akidah sekularisme yaitu pemisahan agama dengan kehidupan termasuk negara. Sehingga, ketika ideologi kapitalisme merancang kebijakan maka sudah pasti mereka menafikan pandangan agama Islam. Karena, prioritas mereka adalah keuntungan. Mirisnya yang menikmati keuntungan itu hanya segelintir orang, yaitu pemilik modal (kaum kapitalis) beserta para penguasa yang menjadi robotnya mereka. Sedangkan masyarakat menjadi sapi perahnya mereka.
Oleh karena itu, agar tidak menjadi sapi perahnya penguasa dan Kaum kapital. Rakyat butuh diatur oleh sistem yang menyatu dengan kehidupan manusia. Sistem yang mengatur segala aktivitas manusia di segala lini kehidupan, dari aktivitas ibadah ritual hingga aktivitas bernegara.
Sistem yang komprehensif dalam mengatur urusan kehidupan manusia adalah sistem Islam yang di terapkan negara Khilafah. Terlebih dalam hal ibadah seperti halnya biaya perjalanan haji, negara Islam (Khilafah) memiliki mekanisme yang luar biasa.
Ketika negara menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah). Juga beserta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.
Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri'ayatu syu'un al-hujjaj wa al-ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Apatah lagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Di zaman Sultan Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal di Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, khalifah bani Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. (KH. Hafidz Abdurrahman, MA. Kebijakan Agung Khilafah Islamiyyah).
Oleh sebab itu, agar rakyat memperoleh kemudahan baik dalam hal muamalah maupun ibadah maka dibutuhkan negara yang menerapkan sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyyah. Khilafah adalah kebutuhan pokok rakyat saat ini bukan kebijakan abal-abal dalam wadah kapitalisme.
Wallahualam Bishawwab.
Post a Comment