(Pegiat Literasi)
Keadilan dalam suatu kasus hukum pidana menjadi harapan setiap orang, baik posisinya rakyat jelata ataupun pejabat. Tidak boleh ada tebang pilih, ataupun kekebalan hukum didalamnya. Karena, seharusnya semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Ironisnya di negeri Indonesia tidak demikian. Banyak kasus yang tidak jarang mencederai keadilan penegak hukum. Sebut saja, beberapa hari yang lalu, seorang pemuda yang terlindas truk akibat dengan sengaja ingin menghentikannya demi membuat konten. Akibatnya, pemuda tersebut tewas seketika, dan selang berapa lama polisi menetapkan supir menjadi tersangka. Alasannya, sang supir dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya.
Belum lagi yang viral beberapa hari yang lalu, tentang seorang mahasiswa UI yang tewas karena terlindas mobil pajero milik seorang pensiunan polri. Disini polisi menetapkan si korban menjadi tersangka, alasannya kelalaian dalam berkendara yang akhirnya menewaskan dirinya sendiri. Padahal, si korban pun tidak sengaja terpental ke arah jalan yang berlawanan, sehingga terlindas.
Berkaca dari dua kejadian tersebut, masyarakat pun geram. Berbagai kritik menghampiri tubuh polisi, sebab ketidakadilan dalam menetapkan tersangka. Padahal penetapan tersangka terjadi ketika ada serangkaian proses penyelidikan dan persidangan suatu kasus.
Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran menuturkan bahwa polda akan membentuk tim khusus sesuai arahan langsung dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan masukan dari berbagai pihak. Serta akan melakukan reka ulang di tempat kejadian perkara yang menghadirkan keluarga korban dan saksi mata. Sehingga, proses penyidikan bisa dilakukan dengan benar dan tepat.
*Keadilan Sulit Diraih*
Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto menekankan bahwa kasus mahasiswa yang tewas sebagai tersangka itu tidak adil dan tidak wajar. Sehingga, wajar menjadikan masyarakat menjadi risau atas keputusan tersebut. Sebenarnya, dalam logika dan common sense publik penetapan tersangka oleh penyidik tersebut bisa dianggap tidak adil dan tidak wajar jika tidak bisa dipertanggungjawabkan transparansi dan akuntabilitas pemeriksaan dan keputusannya. Seharusnya penegak hukum melakukan
governance dan akuntabilitasnya agar terhindar dari potensi kriminalisasi terhadap orang yang tidak salah, dan sebaliknya membebaskan pelaku yang sesungguhnya. (Detik.com, 30/2/2023).
Begitulah hukum di negeri ini. Betapa sulitnya meraih keadilan, jika berbenturan dengan pejabat. Rakyat kecil harus mengemis dan menjerit demi mendapatkannya. Padahal, itu tidak harus terjadi, karena semua rakyat sama di mata hukum.
Realitasnya tidak demikian, aparat penegak hukum menjadi tidak profesional, karena tidak memikirkan perasaan keluarga yang ditinggalkan. Walhasil, nampak sekali bahwa supremasi hukum menjadi lemah dan tidak berdaya. Apalagi dihadapkan dengan tindak pidana yang melibatkan pejabat, sudahlah rakyat kecil akan terlempar.
Dilansir dari buku berjudul Politik Hukum: Studi Perbandingan Dalam Praktik Ketatanegaraan Islam dan Sistem Hukum Barat oleh Abdul Manan, supremasi hukum adalah bentuk penegakan dan penempatan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat dengan tidak diintervensi oleh satu pihak atau pihak mana pun termasuk oleh penyelenggara negara. Artinya, setiap masyarakat berhak mendapatkan keadilan didepan hukum, jika memang terbukti tidak bersalah, tanpa harus merintih terlebih dahulu.
Inilah dampak penerapan aturan manusia yang tak jelas. Bisa diintervensi dari berbagai pihak, dengan alasan memiliki jabatan atau keterpengaruhannya dalam proses hukum. Ya, akhirnya rakyat menjadi korban dan ketidakadilan pun tercipta. Hanya yang kuat, memiliki kedudukan akan menang.
Padahal seharusnya, ketika rakyat mengalami kesulitan dan butuh bantuan, hendaknya aparat pemerintah sigap memenuhinya. Tidak boleh bersikap pilih kasih, hanya mau melayani kalangan yang mampu, kuat, dan memiliki kedudukan. Sedangkan kaum yang lemah ia abaikan.
*Islam itu Adil*
Islam hadir untuk memberikan keadilan bagi siapapun, tak memandang kedudukan, baik muslim ataupun non muslim. Islam tidak mengenal diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak istimewa. Siapa pun yang melakukan tindakan kriminal akan mendapatkan hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya.
Seperti kisah Abdurrahman bin Umar bin Khaththab, putra Amirul Mukminin Umar bin Khathab, dan temannya Abi Sarwa'ah Uqbah bin al-Harits meminum minuman keras, sehingga keduanya mabuk. Kemudian keduanya mendatangi Amr bin 'Ash, yang saat itu menjadi Gubernur di Mesir. Keduanya menyesali perbuatannya, dan sebagai hukumannya mereka digunduli rambutnya dan didera.
Lantas, kejadian tersebut terdengar oleh Umar bin Khatab, dan meminta anaknya untuk ke Madinah. Sesampainya di sana, sang anak pun didera kembali oleh sang ayah. Padahal, posisinya sang putera adalah anak dari seorang pejabat. Ini memberikan pelajaran bahwa siapapun yang bersalah dalam Islam, haruslah dihukumi.
Sehingga, keadilan akan tercipta di tengah masyarakat dan tidak adanya ketakutan terhadap penegakkan hukum yang berlaku. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya yang menyebabkan hancur dan binasanya ummat sebelum kalian adalah bilamana orang-orang lemah melakukan kesalahan, mereka lalu menghukumnya. Akan tetapi bilamana orang-orang terhormat yang melakukannya, mereka membiarkannya (tidak menghukumnya)."
Akhirnya, supremasi hukum akan terwujud dalam sistem Islam. Karena kongkret dan ada jaminan kuat dari penguasa tertinggi. Sebagaimana jaminan Rasulullah Saw terhadap para sahabat dan ummatnya, ''Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, aku pasti akan memotong tangannya.'' (HR Bukhari Muslim). Wallahu'alam bishshawab
Post a Comment