Korban Gempa Terkatung-Katung Akibat Lemahnya Tanggung Jawab Negara

Oleh: Novalis Cinta Sari

Aktivis Muslimah

 

Tak terasa sudah satu bulan berlalu selepas gempa bumi berkekuatan 5,6 skala richter yang mengguncang Cianjur, Jawa Barat. Faktanya banyak warga masih terkatung-katung bertahan di tenda-tenda pengungsian, menanti kejelasan dari pemerintah untuk bisa memulai kembali  kehidupan normal mereka seperti dulu. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk membenahi rumah mereka.

Pemerintah telah menjanjikan dana bantuan senilai Rp60 juta untuk rumah rusak berat Rp 30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rumah rusak ringan. Namun kenyataannya banyak warga di Desa Cibeureum, Kecamatan Cugeunang ini mengaku belum medapatkan dana stimulus untuk memperbaiki rumah karena adanya ketidaksinkronan data dan mengharuskan diulangnya kembali proses pendataan. Selain itu sebagai salah satu desa yang dilalui patahan sesar aktif, warga juga gamang dengan kepastian relokasi tempat tinggal mereka. Ditambah lagi kondisi kesehatan para pengungsi semakin mengkhawatirkan, banyak balita, anak-anak, maupun orang dewasa yang mengalami demam, batuk, dan gatal-gatal.

Ini menunjukkan ketidakoptimalan pemerintah mengurusi korban gempa apalagi persoalan utama adalah rumah tinggal. Seharusnya negara bergerak cepat menyelesaikannya, mengingat Cianjur adalah sesar gempa. Sebab pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pencegahan dan penanggulangan segala sesuatu bagi masyarakat, apalagi yang mengandung bahaya.

Namun, sistem kehidupan sekuler hanya mencetak pemerintah yang terbiasa melakukan kelalaian, bahkan kelalaian pemerintahan ini sudah menjadi karakter dan sifat bawaan rezim sistem politik demokrasi. Karakter buruk ini tidak dapat dipisahkan dari cacat bawaan sistem yang diterapkan. Karakter sistem politik demokrasi dengan kehidupan sistem sekuler, ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling mendukung sebagai pelaksana kebatilan.

Berbeda dengan Islam, Rasulullah SAW menegaskan, yang artinya "Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana pengembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya" (HR Al-Bukhari).

Penanganan bencana alam mengharuskan adanya manajemen bencana yang jitu. Jika merujuk pada manajemen bencana dalam sistem Islam, maka akan ditemukan penanganan sebelum bencana, ketika bencana, dan sesudah bencana. Ilustrasi sederhana penanganan bencana dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatthab ketika menangani masa paceklik yang menimpa jazirah Arab.

Khalifah benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan pelayan rakyatnya. Khalifah akan mengerahkan segala potensi untuk mengurus rakyat yang terkena bencana. Oleh karena itu, di dalam APBN terdapat pos pengeluaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana. Pos bencana ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat, seperti gempa, kelaparan, dan sebagainya. Sumber dananya berasal dari pos fa'i dan kharaj serta pos kepemilikan umum.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post