Komisi IV DPR RI menyoroti kasus pencemaran limbah berbentuk tailing dari PT Freeport Indonesia yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah Timika, Papua.
Anggota Komisi IV DPR RI Sulaeman L Hamzah dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya telah menerima aspirasi dari DPRD Papua tentang pencemaran limbah tersebut.
"Dari dua sungai yang tadinya itu jadi alur pembuangan tailing ternyata sekarang melebar sampai jauh. Bahkan menutup sampai ke pulau dan masyarakat praktis tidak bisa jalan leluasa seperti sebelumnya,” kata Sulaeman.
Komisi IV menyatakan akan melakukan peninjauan ke Papua untuk mengetahui dampak kerusakan lingkungan dari limbah yang disebabkan oleh Freeport.
Sulaeman menuturkan pencemaran limbah tailing telah berdampak terhadap mata pencaharian masyarakat setempat, karena laut tercemar hingga menimbulkan penyakit, terutama bagi anak-anak kecil yang kulitnya sensitif.
Ia menambahkan masyarakat juga kesulitan untuk mencari air bersih sebab mereka harus mencari ke tempat yang jauh, ditambah akses jalan yang sulit karena adanya pendangkalan sungai.
"Kami akan melakukan rapat dengar pendapat sekali lagi dengan mitra. Kami undang semua di Komisi untuk membahas bersama-sama melibatkan juga pimpinan daerah, gubernur, dan juga bupati, dan mungkin mitra lain yang juga akan kami libatkan,” kata Sulaeman.
Lebih lanjut ia berharap informasi yang diterima dari DPRD Papua dan melalui kunjungan Komisi IV DPR RI nantinya bisa mengatasi masalah limbah tailing tersebut.
“Mudah-mudahan Freeport juga membuka diri, sekalipun wilayah yang terdampak menurut datanya itu bukan tanggung jawab perusahaan, tetapi tailing itu tidak ada sebab dari tempat lain," kata Sulaeman.
"Hanya satu-satunya Freeport yang membuang tailing yang dampaknya sampai ke desa-desa dan mudah-mudahan nanti jadi bagian dari tanggung jawab penyelesaian masalah," imbuhnya.
Anggota DPRD Papua John Gobay bersama Yayasan Lepemawi dan Jaringan Advokasi Tambang meminta pemerintah untuk segera melakukan audit terhadap seluruh operasi pertambangan Freeport, terutama dampaknya terhadap warga dan lingkungan.
Jhon Gobay mengungkapkan warga asli Papua, terutama suku Kamoro dan Sempan yang dikenal dengan budaya 3S (sungai, sampan, dan sagu), saat ini mulai hilang akibat efek pencemaran limbah tailing yang menyebabkan pendangkalan sungai.
Sementara itu Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang Muhammad Jamil memandang akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen seharusnya menguatkan kedaulatan pemerintah untuk mengatur perusahaan tambang itu agar taat dan patuh kepada hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Persoalan lingkungan dalam demokrasi, mereka kampanyekan pelestarian lingkungan hidup tapi hanya omong kosong semata. Jika dihadapkan dengan tuntutan korporasi, pelestarian lingkungan tinggal kenangan. Dalam Islam jelas dilarang keras merusak lingkungan.
Abu Hayyan dalam buku tafsirnya Al-Bahru al-Muhith membahas hal ini dengan menafsirkan surah Al-Araf ayat 56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang yang berbuat baik.”
Ayat ini merupakan penegasan larangan semua bentuk kerusakan. Maka itu, membunuh jiwa, keturunan, harta benda, akal , dan agama merupakan perbuatan yang dilarang. Termasuk juga merusak lingkungan, upaya pelestarian lingkungan tak hanya dalam tataran konsep atau kampanye kosong ala demokrasi, melainkan terwujud dengan nyata dalam kehidupan muslim.
Kerusakan lingkungan dan dirampasnya kesejahteraan rakyat, di sinyalir merupakan kesalahan regulasi. meskipun dibuatnya kebijakan agar kegiatan pertambangan memperhatikan lingkungan dan kesejahteraan, bukanlah solusi fundamental atas problem tersebut. Lebih dari sekadar regulasi, kesalahan fatal terletak pada penentuan landasan sistem ekonominya yang bercorak kapitalistik.
Begitu pun kerusakan lingkungan, tak menjadi fokus kegiatan mereka. Lingkungan hanyalah faktor produksi yang harus dieksploitasi. Akhirnya, kerakusan dan ketamakan mengalahkan rasa peduli pada sesama, apalagi pada alam raya.
Tentu, keserakahan pemilik modal dalam mengeruk dan melakukan kerusakan tak terjadi dengan sendirinya. Ada tangan-tangan birokrasi yang mempermulus hegemoni.
Berbeda 180 derajat dengan industri ala kapitalisme yang fokus pada keuntungan pemilik modal, industri dalam Islam ada semata untuk kemaslahatan umat manusia. Keberadaan penambangan misalnya, semata untuk kemaslahatan manusia. Penguasa wajib menghindarkan rakyatnya dari mudarat, termasuk limbah berbahaya.
Karena fungsi penguasa adalah pelindung umat dari segala macam bahaya dan pengurus umat dari segala macam kebutuhannya, maka Islam sangat memperhatikan keselamatan manusia dan memperhatikan kesejahteraannya. Demikian juga, Islam sangat memperhatikan lingkungan tempat masyarakat tinggal.
Islam Mengatur Pengelolaan SDA
Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89).
Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Rasul saw. juga bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.
Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”
Alhasil, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Wajib Terikat Syariah
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada Alquran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa [4]: 59).
Selain itu, apa saja yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, termasuk ketentuan dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana dipaparkan di atas, wajib dilaksanakan. Tak boleh dibantah apalagi diingkari sedikit pun. Allah SWT berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Allah SWT telah menjadikan ketaatan terhadap apa saja yang diputuskan oleh Rasulullah saw. sebagai bukti keimanan seseorang:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi Tuhanmu (wahai Muhammad), pada hakikatnya mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau Muhammad sebagai hakim dalam semua perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat di hati mereka terhadap apa yang telah engkau putuskan, dan mereka menerima keputusan itu dengan ketundukan sepenuhnya (TQS an-Nisa [4]: 65).
Dengan demikian, untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Khatimah
Alhasil, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini.
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), bagi dia kehidupan yang sempat, dan dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat kelak dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Post a Comment