Oleh Desi Anggraini
(Pendidik Palembang)
Belakangan ini viral di media sosial isu penculikan anak di sejumlah daerah di Indonesia. Pada awal Januari lalu, bocah 11 tahun diculik dan dibunuh oleh dua remaja di Makassar. Motivasi mereka menculik anak-anak karena tergiur besaran uang jual-beli ginjal. Belakangan, muncul video seorang anak yang dimasukan ke dalam karung oleh lelaki tak dikenal. Namun, polisi menyatakan video tersebut hoaks.
Dilansir dari Tempo (31/01/2023 ),
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) pada 2022, angka kasus penculikan anak mencapai 28 kejadian sepanjang tahun tersebut. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 15 kejadian. Merespons kasus ini, Sekretaris Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Putri Aisyiyah Rachma Dewi mengatakan ada banyak faktor mengapa anak sering menjadi korban penculikan
Berbagai motif penculikan anak menjurus pada satu garis besar, yaitu kemiskinan. Memang bukan semata karena kemiskinan. Ada banyak faktor penyebab maraknya tindakan kriminal, termasuk penculikan. Faktor utama adalah ketakwaan kepada Allah Taala. Andai saja para pelaku tersebut beriman pada Allah Swt. dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya.
Namun, bagaimana bisa ketakwaan tumbuh pada diri mereka, sedangkan mereka lahir di tengah sistem kehidupan sekuler? Sejak dari kecil mereka tidak mengenal agamanya secara utuh. Mereka tidak paham berbagai nilai ajaran Islam, seperti bahwa nyawa manusia lebih mulia dari dunia dan isinya, pembunuhan adalah kejahatan paling besar, wajib mencari nafkah dengan cara halal, wajibnya seorang ayah menafkahi anak dan istrinya, dan sebagainya.
Kehidupan sekuler sungguh telah melahirkan berbagai tindak kriminal. Ini karena kebebasan tingkah laku menjadi konsekuensi logis dari paham ini. Masyarakat merasa bebas berbuat untuk kepentingan mereka sendiri, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak.
Negara pun alih-alih menyelesaikan masalah, malah memicu terjadinya tindak kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, menetapkan sejumlah kebijakan yang ternyata kontradiktif terhadap penyelesaian tindak kriminal, termasuk penculikan anak.
Kebijakan terkait dengan perekonomian rakyat melalui UU Omnibus law cipta kerja, misalnya, melegalkan perusahaan untuk mengupah murah pekerjanya, bahkan mem-PHK mereka. UU Minerba juga jelas-jelas memihak korporasi untuk makin menguasai kekayaan yang sejatinya milik rakyat. Dua kebijakan ini saja sudah merugikan rakyat kecil yang kemudian makin menambah angka kemiskinan. Akhirnya, akibat kemiskinan, suburlah tindak kriminal, termasuk penculikan anak.
Belum lagi kebijakan lain terkait perlindungan anak. Payung hukum memang telah ada, hanya saja, sanksinya sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Bagaimana bisa sanksi begini bikin pelaku jera?
Belum bicara realita hukum di negeri ini yang tampak mudah diperjualbelikan. Asal ada uang, hukuman bisa ringan, bahkan pelaku dibebaskan. Walhasil, tindakan kuratif untuk menyelesaikan persoalan penculikan tidak berjalan efektif. Begitu pula tiadanya tindakan preventif, masyarakat begitu mudah mengakses media sosial yang mengajarkan kejahatan dan pornografi, memicu maraknya penculikan dan pelecehan seksual.
Barang haram narkoba dan miras juga masih marak beredar. Padahal, barang-barang haram ini jelas-jelas menjadi awal malapetaka, tetapi tidak kunjung mendapat penyelesaian. Bahkan, miras masih bisa beredar menjadi pendapatan ekonomi meski dengan dalih terbatas dan terlindungi oleh regulasi.
Sejatinya, peran negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan di tengah rakyat, termasuk kasus penculikan. Ini karena tatkala syariat Islam ditegakkan, fungsi negara bukan sekadar regulator sebagaimana sistem hari ini, melainkan sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus) rakyat.
Menurut Islam, negara harus berada di garis terdepan untuk melindungi rakyatnya, terlebih pada generasi sebab mereka adalah mutiara umat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Negara akan melindungi mereka dari segala macam mara bahaya. Mereka akan dididik dengan pemahaman akidah Islam, baik di sekolah maupun rumah. Mereka pun akan dijauhkan dari pemahaman kufur, seperti budaya liberal.
Negara juga akan memberikan sanksi yang menjerakan, termasuk pada pelaku penculikan. Hukuman bagi pelaku penculikan adalah takzir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh khalifah. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.
Selain melindungi, negara akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Sandang, pangan, dan papan, serta kesehatan, keamanan, dan pendidikan, semua akan dijamin oleh negara.
Oleh karena itu, kasus penculikan anak akan selesai jika syariat Islam diterapkan dalam sistem kehidupan. Sistem pemerintahan Islam akan bersungguh-sungguh dalam menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang aman sentosa. Tindak kriminal pun akan minim, bahkan hilang sama sekali.
Wallahu a'lam bisshawab
Post a Comment