Oleh: Dyandra Verren
Aktivis Muslimah
Kabupaten
Aceh Besar dan Kabupaten Pidie belakangan ini kedatangan 231 masyarakat Muslim
Rohingya yang menaiki 2 kapal kayu, selama 25-26 Desember 2022. Kapal-kapal itu
rusak di pertengahan jalan dan mengobang-ambingkan masyarakat Rohingya selama
42 hari dan 10 hari terakhir mereka tidak makan apa pun karena kehabisan bahan
pangan. Kapal yang rusak itu terdorong angin laut hingga akhirnya bisa tiba di
Kabupaten Aceh.
Kondisi mereka saat ditemukan sangat memprihatinkan karena dehidrasi, kelaparan dan putus asa. Setelah ditolong oleh masyarakat sekitar dan Pemerintah daerah, mereka mengatakan bahwa kehidupan di ibu daerah mereka, Myanmar dihancur leburkan. Tercatat bahwa selama puluhan tahun warga Rohingya kerap mendapatkan operasi militer oleh Pemerintah Myanmar. Rumah mereka dibakar, perempuan-perempuan diperkosa, dan tidak diberikan hak-hak sebagai warga negara seperti, kartu identitas dan pelayanan masyarakat. Myanmar selalu terkukung pada sejarah kelam mereka di Perang Dunia kedua.
Negara yang tidak bisa move on ini malah melakukan genosida terhadap masyarakatnya sendiri dan tidak mengindahkan nurani kemanusiaan mereka. Bahkan setelah pertemuan ASEAN menghasilkan adhoc di akhir 2019, yang mana Myanmar harusnya bisa mengembalikan para Refugee ke negara mereka, tetap saja masyarakat Rohingya merasa itu adalah kebohongan belaka. Mereka takut kembali dipersekusi dan tak diberikan status kewarganegaraan di Myanmar.
Refugee ini banyak yang akhirnya mengungsi ke Bangladesh ataupun Australia, tetapi, keadaan di camp Bangladesh sungguh memprihatinkan dan sangat tidak ideal untuk ditinggali. Perjalanan ke Australia yang cukup jauh juga malah mengantarkan nyawa-nyawa Rohingya karena keterbatasan sarana yang mereka miliki. Itu lah yang kemudian membuat kapal-kapal mereka banyak yang terdampar di Malaysia maupun Indonesia.
Pihak UNHCR sendiri malah seakan ingin melimpahkan pengurusan masyarakat Rohingya tersebut pada Indonesia. Mereka berlindung di bawah perkataan “tolong menolong adalah HAM” bukannya memberikan sanksi lewat Badan Besar sekelas PBB yang ‘katanya’ Polisi Dunia. Ini membuktikan rentetan rapor merah PBB bahwa kalau warga Muslim yang bermasalah, mereka tak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata tak penting seperti ‘pengecaman’ atau ‘turut berduka’. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk menyelasaikan permasalahan itu dari akarnya. Kejamnya lagi malah menyepelekan sehingga masyarakat dunia yang memiliki empati malah berangsur-angsur bodo amat dengan kasus-kasus semacam Rohingya ini.
Padahal kalau menilik sesuai peraturan dunia, Indonesia tidak berkewajiban memberikan bantuan pada Refugee karena Indonesia tidak meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967). Solusi yang PBB lewat UNHCR serukan hanyalah solusi pragmatis seperti tempat penampungan, bukan menyelesaikan akar permasalahan yang terjadi di Myanmar. Sikap seperti ini menggambarkan bahwa mereka tidak peduli keadaan Refugee Rohingya yang sebenarnya. Mereka membutuhkan kehidupan layak, Pendidikan, dan Kesehatan tapi semua itu seakan hanyalah angan-angan belaka.
Di dalam Islam salah satu hadits termashur Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda,
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).
Pada hadits lain
yang kurang lebih mirip artinya yakni,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا
“Permisalan seorang mukmin dengan
mukmin yang lain itu seperti bangunan yang menguatkan satu sama lain” (HR.
Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2585).
Harusnya Mukmin yang
satu dan lainnya bagaikan tubuh yang jika satu bagian tersakiti, maka yang
lainpun sama tersakitinya. Pun layaknya rumah, bagaikan bagian penguat bangunan
satu sama lain. Tapi apa yang terjadi? Mereka terus menerus sakit yang anehnya,
tanpa Mukmin lain
merasakan kesakitan itu. Ini disebabkan kita tidak paham bagaimana Islam
mengatur kehidupan kita dan ketiadaan sistem pemerintahan Islam yang menaungi Mukmin.
Kita dibuat cuek oleh sekuler dan terlena di sana. Hanyalah jika Islam diterapkan, akan menjadi solusi yang dahsyat bagi semua permasalahan masyarakat termasuk Rohingya. Pemerintahan Islam yang terpusat dan tak mengenal ikatan sebatas nasionalis, tapi benar-benar memiliki ikatan ideologis akan memberikan solusi terbaik yang mana semua masyarakat Islam akan membantu masyarakat Rohingya. Islam tidak akan membiarkan satu nyawa yang hilang tak berarti begitu saja karena Islam memegang sabda Rasulullah, yakni:
لَزَوَالُ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Hilangnya
dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang Mukmin tanpa
hak” (HR.
Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Negara menyediakan hak-hak semua masyarakatnya karena memang berpegang pada posisi sebagai Ri’ayatul Ummah (Menjaga Umat) sehingga tak mungkin membiarkan Rohingya terlunta-lunta dan menderita begitu saja. Disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW lainnya, “Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan kekuasaannya” (H.R. Al.Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya).
Islam pernah mencontohkan ini di masa kejayaan Khilafah Utsmaniyyah, khalifah saat itu, Sultan Bayezid II pernah mengirimkan Angkatan laut Ottoman ke Spanyol untuk menyelamatkan orang-orang kafir yang terusir dan menampung di wilayah Ottoman juga diberikan hak menjadi warga negara Utsmaniyyah. Padahal Yahudi adalah Kafir dzimi tapi, Islam tetap menyelamatkan nyawa mereka dan diberikan perlindungan. Kurang lebih inilah gambaran jika Islam digunakan dalam pengaturan keseharian kita. Sudah saatnya kita menjadikan agama Allah benar-benar sebagai tuntunan hidup kita.[]
Post a Comment