Oleh Diana Wijayanti
Keputusan polisi menetapkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Saputra (MHAS) sebagai tersangka mengejutkan sang ibunda, Dwi Syafiera Putri. Pasalnya, putranya tewas (hilang nyawa) dalam kecelakaan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Oktober 2022, kok malah ditetapkan sebagai tersangka.
Pengacara keluarga almarhum MHAS, Gita Paulina menyatakan keputusan polisi cacat hukum. Ia menyebut AKBP purnawirawan Eko tidak menolong Khasya yang meregang nyawa setelah ditabrak. Dari kasus ini, publik kembali menyaksikan drama ketidakadilan lembaga penegak hukum.
Penetapan almarhum MHAS sebagai tersangka menjadi 'sensitif' karena mahasiswa UI itu telah meninggal dunia. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI pun merasa tindakan kepolisian itu seperti mirip skenario Irjen Ferdi Sambo dalam kasus kematian brigadir J.
Sayangnya, profesionalisme tidak berlaku dalam sistem sekuler demokrasi. Sumber hukum ini terpancar dari akidah batil, sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya diletakkan dalam masjid-masjid dan tempat ibadah ritual semata, bukan untuk mengatur kehidupan manusia.
Akhirnya aturan yang berlaku dalam sistem kehidupan adalah aturan buatan manusia. Saat ini, aturan itu legal karena sistem demokrasi memang memberi ruang kepada manusia untuk membuat hukum sendiri, kemudian disepakati bersama untuk diterapkan.
Akibatnya publik sering mendapati fenomena hukum dapat diperjualbelikan karena manusia akan mengatur dan membuat hukum sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sehingga mudah sekali kasus seperti yang menimpa MHAS terjadi.
Tentu publik masih ingat, kasus korban begal yang menjadi tersangka setelah menewaskan pembegal, beberapawaktu lalu. Meski akhirnya divonis bebas akibat desakan masyarakat namun lagi-lagi aparat penegak hukum menunjukkan ketidakprofesionalan dalam menjalankan amanahnya.
Hukum dalam negara sekuler demokrasi bagaikan pisau dapur, tajam ke rakyat bawah namun tumpul kepada orang-orang yang memiliki kedudukan maupun jabatan. Maka tidak heran jika keadilan menjadi barang mewah saat ini.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai negara dan dikenal dengan daulah. Daulah sangat menjunjung tinggi supremasi hukum. Hal ini disebabkan hukumnya sendiri adil karena dibuat oleh Allah Subhanahu wata'ala, Dzat yang Maha Adil. Serta penerapan hukum yang adil adalah bagian dari syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh aparatur negara.
Disebutkan dalam Al Quran surah al-Maidah ayat 8 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ
Artinya; "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah." (QS al-Maidah : 8)
Keadilan akan terwujud ketika kedaulatan hukum berada di tangan Asy'ari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana firman-Nya :
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
Artinya: "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki hukum Siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin."(QS al-Maidah : 50)
Ibnu Taimiyah dalam kitab Asiah halaman 15, menyebutkan keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan Sunnah baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum lainnya.
Merujuk pada kasus tragis almarhum MHAS jika dihukumi dengan sanksi Islam sangat mudah mendapat keadilan. Keluarga akan mendapat keadilan pun pelaku penabrakan yang tidak sengaja juga akan merasakan terhapusnya dosa.
Dalam daulah kasus tersebut bisa terkategori pembunuhan tersalah (tidak sengaja) sebab pembunuhan yang terjadi bukan dengan kesengajaan membunuh namun dengan halah atau jalan yang menyebabkan terbunuhnya seseorang.
Kejadian seperti ini akan ditangani Qodhi Muhtasib. Sebuah peradilan yang menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat atau jemaah. Qodhi Muhtasib bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum tanpa adanya penuntut.
Namun ketiadaan penuntut dikecualikan pada kasus hudud seperti perzinaan, menuduh berzina, mencuri minum khamr, sodomi dan jinayat seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang dengan sengaja. Maka setelah Qadhi Muhtasib mendapat laporan peristiwa, segera qadhi tersebut datang ke tempat kejadian mengumpulkan para saksi dan barang bukti.
Islam tidak mengenal peradilan banding, peninjauan kembali dan sebagainya. Karena keputusan pengadilan ini bersifat mengikat tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Konsep ini, akan menutup celah kong kalikong tarik-menarik sanksi.
Jika seandainya terbukti, terjadi pembunuhan tersalah maka pelaku akan dikenakan sanksi jinayat berupa membayar diyat mukhaffafah yakni denda ringan yang diambil dari harta keluarga pembunuh dan dapat dibayarkan secara bertahap selama tiga tahun kepada keluarga korban setiap tahunnya sepertiga. Jika seluruh keluarga tidak mampu, negara harus membantu.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda artinya diyat khatha' itu terdiri dari lima macam hewan : 20 ekor unta berumur empat tahun, 20 ekor unta berumur lima tahun, 20 ekor unta betina berumur satu tahun, 20 ekor unta betina berumur dua tahun dan 20 ekor unta jantan berumur dua tahun. (HR Darukuthni)
Selain itu pembunuh yang tersalah juga harus melaksanakan kafarat sesuai dengan firman Allah ta'ala yang artinya : "Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya yang terbunuh." (TQS an-Nisa : 92 )
Penerapan hukum dalam daulah telah terbukti membawa keadilan selama 1300 tahun lamanya, di dua per tiga dunia. Baik korban dan pelaku sama-sama mendapat keadilan.
Sanksi dalam daulah pun tidak mengenal hak istimewa golongan. Semua warga sama di mata hukum Islam sehingga tidak ada kesenjangan sosial hukum atau kecemburuan antar masyarakat. Logika pun puas menyaksikan keadilan hukum Islam.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment