Biaya Ongkos Haji Melejit, Rakyat Semakin Menjerit


Oleh Ummu Nida
Pengasuh Majelis Taklim

Sungguh miris! Ibadah haji yang sejatinya adalah niat suci umat untuk mengunjungi tanah haram, hari ini menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan. Di samping biaya, masa menunggu yang sangat panjang menjadi batu sandungan bagi umat untuk menumpahkan  kerinduannya berkunjung ke baitullah. Terlebih, setelah adanya wacana kenaikan Ongkos Naik Haji (ONH). Penguasa melalui Menag, hilang rasa empatinya kepada rakyat. Alih-alih memudahkan proses pelaksanaan ibadah haji, yang ada biaya haji melejit, di tengah rakyat yang sedang menjerit menghadapi beban hidup yang semakin sulit.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, mengusulkan biaya haji di 2023 naik jadi Rp 69 juta, naik dari biaya haji 2022 yang besarnya Rp 39,8 juta. Alasan kenaikan tersebut adalah untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Usulan kenaikan biaya haji itu disampaikan dalam Rapat Kerja bersama Komisi Vlll DPR. (CNNIndonesia.com, 20/01/2023)

Usulan Menag ini mendapat kritik keras dari berbagai pihak. Salah satunya dari PKS, yang menolak rencana kenaikan biaya haji yang diusulkan Kementerian Agama karena menilai kenaikan itu tidak rasional. Menurut Iskan Qolba Lubis, anggota Komisi VIII DPR Fraksi PKS, bahwa rencana kenaikan biaya haji itu disebabkan karena adanya kesalahan dalam pengelolaan dana, di antaranya 70 persen diambil oleh Kemenkeu dalam bentuk surat utang negara. Selain itu, dana haji juga dipakai oleh pemerintah secara jor-joran. 

Kapitalisme sekularisme yang diterapkan di negeri ini telah berhasil mengubah pola pikir dan pola sikap manusia dalam segala aspek kehidupan. Penyelenggaraan haji pun tidak bisa terlepas dari jeratan sistem yang rusak ini. Standar perbuatan berupa manfaat dan standar kebahagiannya adalah materi sudah menjadi arah pandang umat dan penguasa di negeri ini. Penguasa bersama jajarannya tidak amanah, menggunakan dana umat sekehendak hatinya. 

Kapitalisasi menjadi sebuah keniscayaan  dalam kapitalisme. Pelayanan publik yang terkait urusan umat termasuk masalah ibadah pun tak luput dari incarannya. Ibadah haji pun dinilai sebagai aset yang bisa mendatangkan keuntungan. Bisnis transportasi, perhotelan, catering, jasa perizinan, jasa pembimbingan, adalah contoh bisnis yang menggiurkan saat penyelenggaraan ibadah haji. Penguasa berhitung untung rugi terhadap rakyatnya sendiri. Penguasa menjual, rakyat membeli. 

Berbeda dengan Islam. Negara dalam sistem Islam (khilafah) memiliki kebijakan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Negara akan meriayah dan memberikan kemudahan kepada rakyatnya dalam mewujudkan kerinduannya berkunjung ke baitullah, pastinya setelah terpenuhi syarat dan berkemampuan untuk melaksanakannya. Kebijakan tersebut di antaranya:

Pertama, khilafah akan membentuk departemen khusus untuk mengurus ibadah haji dan umrah. Departemen ini bertugas untuk memudahkan calon haji dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan sampai kepulanggannya. Departemen ini pun menggandeng departemen kesehatan dan perhubungan guna memberikan pelayanan terbaik bagi calon haji. Aturan ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi.

Kedua, negara akan menetapkan ONH (Biaya Naik Haji) disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah haram (Mekah-Madinah) serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara khilafah adalah riayatu syuun al-hujjaj wa al-ummar (mengurusi urusan haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya.

Ketiga, khilafah adalah sebuah kesatuan wilayah yang berada dalam satu kepemimpinan dan satu wilayah negara. Oleh karena itu, akan ada kebijakan penghapusan visa haji dan umrah, karena seluruh jemaah adalah warga khilafah yang bebas keluar masuk Mekah-Madinah tanpa visa.

Keempat, khalifah akan mengatur kebijakan quota haji dan umrah, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi penghalang bagi para calon jemaah haji dan umrah.

Kelima, seorang khalifah juga senantiasa memperhatikan infrastruktur Mekah-Madinah. Mulai dari perluasan Masjidilharan, masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi dan penyediaan logistik bagi jemaah.

Di zaman Sultan Abdul Hamid II misalnya, khalifah saat itu membangun sarana transportasi masal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Begitu juga, jauh sebelum khilafah Utsmaniyah, khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalan haji dari Irak hingga Hijaz (Mekah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos pelayanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Maka, perlu bukti apalagi? Hanya dalam sistem yang menerapkan Islam kafah (khilafah) karut marutnya persoalan haji hari ini akan terselesaikan. Saatnya, umat berpaling dari kapitalisme sekuler yang hanya melahirkan kerusakan di segala bidang kehidupan.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post