Penulis Opini Bela Islam
Tidak henti-hentinya polemik selalu menerpa bangsa ini. Tak terkecuali masalah biaya ibadah haji pun jadi ramai. Tidak tanggung-tanggung belum lama ini Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan kepada Komisi VIII DPR RI untuk kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2023 sebesar Rp98,8 juta. Namun, yang dibebankan kepada jemaah haji sebesar Rp69,2 juta. Adapun sisanya dibayarkan dari nilai manfaat haji.
Padahal, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun sebelumnya sebesar Rp38,8 juta, artinya melonjak hampir dua kali lipat. Tentu saja hal ini menimbulkan banyak kritikan dan penolakan dari berbagai pihak, di antaranya dari DPR, KPK, terutama publik. Kenaikan yang dinilai sangat tidak bijaksana.
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal Januari 2023, sudah mengingatkan pemerintah bahwa ada persoalan serius dalam hal tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. Ada tiga titik rawan korupsi, yakni biaya akomodasi, konsumsi, dan pengawasan, disinyalir kerugian mencapai Rp160 miliar. Selain itu publik menyoroti bahwa biaya paket ibadah haji tahun ini dari Arab Saudi turun 30 % lebih murah dibandingkan tahun lalu. Mengapa biaya haji kok justru naik?
Gencarnya arus penolakan kenaikan BPIH memengaruhi kebijakan pemerintah kemudian ditinjau ulang. Alhasil Rapat bersama Komisi VIII DPR-Kemenag menyepakati biaya haji 2023, fix naik sebesar Rp49,8 juta. Padahal tahun sebelumnya Rp39,8 juta.
Oleh sebab itu, ada kebijakan untuk jemaah lunas tunda 2022 sebanyak 9.864 orang yang diberangkatkan pada 2023 wajib melunasi dengan tambahan sebesar Rp9,4 juta. Sedangkan jemaah haji 2023 sebanyak 106.590 orang harus membayar tambahan biaya pelunasan sebesar Rp23.5 juta. (Tempo.Co, 15/2/2023)
Mengapa biaya haji naik, padahal biaya paket haji dari Arab Saudi turun dan apa dampaknya? Hal ini disebabkan karena beberapa faktor:
Pertama, tata kelola yang salah. Secara logika dengan turunnya biaya paket haji dari Saudi Arabia 30% mestinya biaya haji di Indonesia ikut turun atau paling tidak tetap. Tetapi, justru malah naik. Keanehan ini dapat dijelaskan dari adanya perubahan kenaikan biaya haji yang semula diusulkan Rp 69,2 juta menjadi Rp49,8 juta. Hal ini membuktikan betapa amburadulnya sistem itung-itungannya yang tidak profesional, karena untuk menentukan angka kenaikan hanya berdasarkan asumsi, bukan riil.
Kedua, hal tersebut amat berbahaya karena memberikan celah adanya korupsi sebagaimana yang disinyalir oleh temuan KPK sebesar Rp160 miliar. Seharusnya pemerintah segera tanggap untuk menindaklanjuti dan mengaudit secara transparan, bukan terkesan pembiaran. Akibatnya jemaah calon haji yang dirugikan dan harus menanggungnya.
Ketiga, korupsi menggurita di Kemenag karena lemahnya iman dan pengawasan. Masih segar dalam ingatan kita, dua menteri agama sebelumnya yaitu Menteri Said Agil Husin terlibat dalam korupsi dana abadi umat dan biaya penyelenggaraan haji. Sedangkan Menteri Suryadharma Ali terlibat dalam korupsi dana haji. Wajar, jika terjadi dalam sistem demokrasi sekuler karena asasnya sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh mengatur urusan publik, baik urusan bermasyarakat maupun bernegara. Akibatnya korupsi menggurita di Kemenag, uang dana jemaah haji diembat.
Keempat, merujuk data Kemenag jumlah pendaftar haji setiap tahunnya mencapai 5,5 juta. Sedangkan kuota 2023 sebanyak 221.000 jemaah. Jadi, masa tunggu haji sekitar 25 tahun, bahkan lebih dari itu. Artinya, selama itu pula dana haji yang sudah disetorkan oleh jemaah ke Bank dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Karena negara ini menganut sistem ekonomi kapitalis, yang mana sudut pandangnya hanya uang dan uang, serta asas manfaat. Wajar, jika haji hanya dijadikan obyek keuntungan sebesar-besarnya. Dana jemaah yang jumlahnya sangat fantastis dimanfaatkan untuk bisnis dan investasi dengan dalih nilai manfaatnya akan dikembalikan ke jemaah ternyata tidak sebanding.
Kelima, antrian calon jemaah haji yang panjang seperti ular naga ini merupakan masalah besar. Sebabnya, pemerintah terus membuka pendaftaran calon haji dengan memfasilitasi menerima setoran dana awal yang ringan dan memberikan talangan dana haji. Akibatnya, pendaftar calon haji makin hari membludak. Ini dikarenakan semua umat Islam berkeinginan untuk menunaikan rukun Islam kelima yaitu ibadah haji. Padahal, secara syarak mereka belum wajib berhaji. Akibatnya, orang yang seharusnya wajib berhaji karena mampu menurut syarak dan belum pernah berhaji tidak bisa menunaikan ibadah haji.
Keenam, antrian panjang hingga belasan tahun sejatinya menzalimi jemaah. Apalagi tidak semua jemaah mampu, banyak yang dari kalangan petani dan nelayan. Dengan adanya kenaikan biaya haji bagi mereka sangat membebani. Bisa jadi, keberangkatnnya tertunda lagi karena tidak mampu melunasi kekurangannya. Semisal akan ditalangi, hal ini tidak sesuai dengan syarat-syarat wajib haji tentu melanggar syariat Islam.
Sungguh memprihatinkan, inilah potret buruk pengaturan ibadah haji oleh negara dalam sistem kapitalis, tidak heran jika biaya haji semakin mahal. Ironisnya, dalam urusan ibadah pun dikapitalisasi.
Pengelolaan Haji dalam Sistem Khilafah
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Merupakan ibadah wajib bagi kaum muslimin yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Sebagaimana firman Allah Swt.
dalam Qur'an surat Ali Imran ayat 97: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengerjakan perjalanan ke Baitullah."
Oleh karena itu, Khilafah (negara) akan senantiasa memberikan edukasi kapada umatnya tentang wajibnya berhaji. Wajib, artinya harus dilaksanakan jika tidak berdosa. Karenanya ketika mampu secara syar'i pada saat itu maka wajib berazam, yakni berniat dan bertekad untuk menunaikan ibadah haji. Jika ada uzur syar'i sehingga terhalang tidak bisa menunaikannya maka dihukumi tidak berdosa. Namun, jika ada kekhawatiran akan hilangnya kemampuan maka tidak boleh menangguhkan hajinya.
Oleh sebab itu, Islam menetapkan Khalifah wajib mengurus pelaksanaan dan keperluan jemaah haji. Karena Khalifah adalah ra'in, yakni pengurus rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Imam atau Khalifah adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari)
Amanah tersebut memiliki dimensi ruhiyah, meyakini bahwa di yaumil akhir akan dimintai pertanggungjawaban Allah Swt. Oleh karena itu, perintah dan larangan Allah senantiasa dijadikan patokan dalam pengaturan seluruh urusan rakyat. Termasuk dalam memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan dan menunaikan kewajibannya.
Oleh karena itu, Khilafah akan mengatur kuota haji yang didasarkan pada dalil bahwa kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, dan akan memprioritaskan jemaah yang belum berhaji serta yang mempunyai kemampuan sesuai syarak. Dengan demikian tidak akan terjadi antrean yang panjang.
Selain itu, semua yang berhubungan erat dengan pelaksanaan ibadah haji seperti, administrasi dan teknis pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan hukum syarak. Misalnya, untuk pengembangan dana haji tidak boleh dengan cara-cara (transaksi) berbasis riba. Contohnya investasi, melainkan dengan sistem ijarah (bagi hasil) yang diatur oleh syarak.
Dalam pandangan Islam negara adalah riayatusy syuunil ummah, yakni mengatur urusan umat, termasuk mengurus urusan haji dan umrah. Bukan paradigma kapitalisasi itung-itungan untung-rugi, dengan menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis dan investasi.
Oleh sebab itu, Khilafah akan memperhatikan masalah transportasi, penyediaan logistik termasuk kesehatan demi keselamatan dan kenyamanan jemaah dalam beribadah. Khilafah akan menetapkan BPIH besarannya akan disesuaikan dengan jarak wilayah dengan Haromain yang disesuaikan fakta jalur laut, darat, atau udara).
Telah tercatat dalam sejarah. Pada masa kekhilafahan Sultan Abdul Hamid II, membangun sarana transfortasi massal dari Istambul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Bahkan, jauh sebelumnya pada masa Khalifah Abbasiyyah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekah-Madinah). Lebih dari itu, di masing-masing titik juga dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik. Termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Demikianlah Islam mengatur penyelenggaraan haji bersumber pada aturan Allah, semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam. Jadi, berbeda jauh dengan paradigma kapitalisme, negara bernisnis dengan rakyatnya sehingga untung-rugi sebagai fokusnya. Dana haji dikapitalisasi yang menyebabkan tingginya biaya haji.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment