Oleh: Septiwi Mutmainah
Mahasiswi STTIF Bogor
Pemerintah dalam mengambil kebijakan fiksal menyesuaikan dengan menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio. Melakukan reformasi di bidang perpajakan merupakan salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hal ini sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah, No 55 Tahun 2022 perihal Penyesuaian pengaturan di Bidang Pajak penghasilan yang telah ditekan Presiden Joko Widodo per 20 Desember 2022. Dalam PP dijelaskan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak. Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu alat untuk pendapatan utama negara. Pajak merupakan pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Tentu saja pajak ini selalu dibebankan kepada masyarakat. Sumber pendapatan negara terbesar justru kerapkali diberikan oleh swasta asing dengan dalih kerja sama ataupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Salah satu contohnya kekayaan alam Indonesia yang diliberalisasi dalam bentuk investasi dengan payung hukum yaitu perusahaan multinasional Freeport. Akibatnya pemasukan APBN dari sektor SDA semakin melemah. Inilah penyebab mengapa dalam negara kapitalis pendapatan negara dibebankan kepada rakyat melalui penarikan pajak yang terkadang mencekik rakyatnya. Pajak menyebabkan sistem ekonomi melambung tinggi. Sebab harga barang turut meningkat disebabkan mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak.
Walhasil, pengimplementasian pajak termasuk kezaliman yang dibungkus dengan peraturan sehingga negara merasa berhak mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Tak heran mengapa banyak individu yang menghindari pajak. Ini artinya atas nama pajak rakyat dipalak. Tentunya yang memalak adalah negara yang notabene harusnya mengurusi urusan rakyat bukan membebani.
Dalam sistem perekonomian Islam, pemungutan pajak seperti saat ini tidak pernah ada. Sistem ekonomi Islam tidak menggunakan pajak melainkan dharibah. Syaikh Taqiyyudin an Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Iqthisadiy telah menjelaskan tentang pandangan pajak dan bagaimana kebijakan khilafah dalam mengambil pajak. Dalam Islam harta merupakan hal yang amat dilindungi dan tidak boleh diambil siapa pun tanpa hak. Walaupun pajak itu baik, akan tetapi pemerintah tetap tidak boleh mengambil pajak dari rakyat, namun apabila rakyat membayar secara ikhlas hal itu menjadi diperbolehkan.
Syaikh Taqiyyudin an Nabhani mempunyai paham bahwa sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan syara untuk baitul mal sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan rakyat. Sumber pendapatan utama menurut Islam adalah ghanimah, kharaj, fai, usyut, jizyah, ghulul, rikaz, shadaqah dan sejenisnya. Dalam hal ini maka tak perlu lagi mewajibkan dharibah baik langsung ataupun tidak langsung. Jika baitul mal sudah mencukupi maka dharibah harus dihapuskan, namun syara telah memperhatikannya.
Alhasil syara mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan umat menjadi dua, di antaranya kebutuhan yang difardhukan kepada baitul mal untuk sumber-sumber pendapatan tetap baitul mal dan kebutuhan-kebutuhan yang difardhukan kepada kaum Muslimin, sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta dari mereka dalam rangka memenuhui kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Dharibah bisa juga tidak diimplementasikan selama bertahun-tahun karena negara khilafah memiliki anggaran dari pos-pos pendapatan negara secara berlimpah. Dharibah diterapkan apabila kebutuhan pembiayaan saat itu kas negara kosong, jadi tidak digunakan sebagai dana cadangan untuk berjaga-jaga jika kas negara kosong atau biasa disebut stand by capital.
Fungsi dan kedudukan dharibah di dalam sistem ekonomi Islam sebagai palang pintu terakhir yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara. Bukan sebagai ujung tombak perekonomian, sebagaimana yang terjadi di negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.[]
Post a Comment