Anak-Anak jadi Pelaku Kekerasan Seksual, Salah Siapa?


Oleh:Eriza Irawan

Mahasiswi Universitas Gunadarma

 

Anak-anak adalah aset peradaban sebuah negara. Objek pembangunan utama dari suatu bangsa adalah pembangunan manusia, maka penting mempersiapkan anak-anak guna persiapan di masa depan. Oleh sebab itu, perlu adanya pendidikan karakter guna membentuk karakter bangsa yang kokoh.

Pendidikan karakter ini dapat dibentuk sejak dini, idealnya mulai diberikan pada anak usia nol hingga enam tahun (golden age). Menurut Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kemendikbud Muhammad Nasbi, pada usia tersebut anak-anak masih mudah dibentuk karakternya. Lalu pertanyaannya, bagaimana jika di usia tersebut anak menjadi pelaku kejahatan seksual?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan sebanyak 4.683 aduan masuk ke pengaduan sepanjang 2022. Nyaris dari lima ribu pengaduan itu bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan email), daring dan media massa. Pengaduan paling tinggi adalah klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebanyak 2.133 kasus. Kasus tertinggi adalah jenis kasus anak menjadi korban kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus.

Baru-baru ini, terdapat beberapa kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Salah satunya adalah seorang bocah TK yang diperkosa 3 anak SD di Mojokerto. Miris! Bagaimana mungkin seorang anak yang sering dianggap ‘masih suci’ mampu melakukan perbuatan sekeji itu. Apa yang salah dari pemikiran anak tersebut? Anak-anak jadi pelaku kekerasan seksual, salah siapa?

Dari kasus tersebut dapat ditemukan beberapa alasan mengapa terjadi kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak-anak. Beberapa di antaranya adalah karena faktor informasi yang ia dapatkan dari media saat ini. Mudahnya akses pornografi membuat masyarakat bahkan anak di bawah umur mampu terpapar pornografi. Tayangan media massa yang menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada remaja (Cerita Remaja Indonesia, 2001). Menurut Kartono (2003), Efek dari pornografi pada anak tidak hanya meningkatkan reaksi seksual namun juga mengakibatkan kematangan seksual yang lebih cepat pada anak.

Di Indonesia, tidak terdapat aturan jelas mengenai pornografi. Pornografi telah menjadi hal yang umum di lingkungan masyarakat. Menurut BKKBN 2004, Indonesia menjadi negara kedua setelah Rusia paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak dan remaja. Tingginya tingkat pornografi ini dapat membahayakan suatu peradaban negara. Dikarenakan sebab itu mampu memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang jauh lebih menyeramkan.

Kasus anak SD yang menjadi pelaku pemerkosaan siswi TK ini sangat memprihatinkan. Inilah buah dari kebobrokan negara dalam mengurus rakyat, khususnya sistem pendidikan serta pengaturan media. Pemerintahan dinilai tidak mampu memberikan sistem pendidikan yang baik sehingga mampu mendidik generasi menjadi aset peradaban negara. Negara juga dinilai tidak mampu menyeleksi dan mengelola media dengan baik, sehingga konten-konten pornografi dapat diakses dengan mudahnya.

Sistem sekularisme yang dijadikan asas negara akar dari permasalahan yang ada. Solusi seluruh permasalahan ini dapat dituntaskan dengan merubah asas negara yang dinilai menjadi akar permasalahan sebuah negara. Dengan menjadikan akidah Islam sebagai asas yang mampu mengendalikan serta menyelesaikan persoalan. Islam memiliki solusi yang komprehensif dalam mengatasi problematika umat. Islam memiliki aturan yang lengkap, jika diterapkan secara menyeluruh mampu melahirkan peradaban terbaik.

Jika dilihat dari banyaknya masalah dari sistem negara saat ini, mengapa masih dipertahankan? Tidakkah kita sebagai makhluk berakal berusaha bergerak mengganti sistem yang ada menjadi sistem yang sudah jelas kesempurnaannya?[]


Post a Comment

Previous Post Next Post