Siswi TK Menjadi Korban Pemerkosaan, Abainya Negara Mengawal Transformasi Digital


Oleh Siti Mukaromah
Aktivis Dakwah

Miris, kasus kekerasan seksual makin marak dan mengancam di sekitar kita. Serta menjadi kekhawatiran sebagai orang tua. Kejahatan seksual ini bisa saja terjadi kepada siapa saja, dari keluarga, tetangga, dan masyarakat kita. Bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, kekerasan seksual tidak hanya sebagai korban, tetapi bisa juga pelaku. Kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Dikutip dari Liputan6.com. (20/1/2023), bocah Taman Kanak-kanak (TK) di Mojokerto diduga telah menjadi korban perkosaan 3 anak Sekolah Dasar (SD). Korban mendapat perlakuan tak senonoh secara bergiliran dan dugaan kasus ini sudah ditangani aparat kepolisian setempat.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mojokerto Ajun Komisaris Polisi Gondam Prienggondhani membenarkan bahwa pihaknya menerima laporan kasus tersebut. Kasus kekerasan seksual  kepada anak di bawah umur, menegaskan bahwa ini adalah malapetaka dahsyatnya kebobrokan negara dalam mengurus rakyatnya. Keprihatinan yang sangat mendalam akan peristiwa ini. Merupakan sebuah aib bagi suatu bangsa, bahkan malapetaka dahsyat.

Seharusnya menjadi tamparan besar bagi semua pihak. Baik keluarga, masyarakat, institusi pendidikan maupun negara. Banyak faktor yang berpengaruh dan saling terkait dalam hal ini. Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus ini. Sementara itu, negara telah gagal mengurus rakyatnya dalam berbagai aspek.

Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut saling berkaitan. Di antaranya perilaku rusak yang berkaitan dengan pengasuhan orang tua kepada anak. Bekal untuk menjadi calon orang tua yang cukup. Faktanya, kurikulum pendidikan maupun bimbingan calon pengantin pernikahan, sekadar formalitas yang hanya untuk mendapatkan sertifikat atau surat nikah saja.

Kurikulum pendidikan, bahkan tidak memberikan bekal yang  cukup untuk menjadi orang tua. Seperti yang diketahui peran yang pasti harus dijalani. Di tengah derasnya arus kampanye kesetaraan gender, pendidikan saat ini justru berorientasi untuk menjadikan peserta didik sebagai tenaga kerja. Kesetaraan gender selalu menyeru dan mendorong perempuan sebagai calon ibu agar bekerja dan berkarir. Seharusnya para perempuan disiapkan untuk menjadi ibu pencetak generasi yang bertakwa.

Kurikulum pendidikan makin menjauhkan pemahaman terhadap agama dari kehidupan. Hal ini diakibatkan oleh nilai-nilai global terlebih masifnya kampanye moderasi beragama. Nilai-nilai global ini identik dengan Barat yang didasarkan kepada liberalisme dan hak asasi manusia makin tertanam dalam benak peserta didik. Menjauhkan gambaran pentingnya peran orang tua, dan hanya menjadikan dunia saja yang dicari. Tidak terwujud kesiapan segala tanggung jawabnya menjadi orang tua dalam sebuah keluarga.

Makin sempit dan sulitnya kehidupan dalam penerapan ekonomi kapitalisme. Memaksa ibu ikut bekerja, keberadaan anak dianggap sebagai beban, maka anak menjadi terabaikan. Akibatnya peran ibu sebagai pendidik utama tidak bisa berjalan optimal. Bahkan nyaris sebagian kasus, peran ibu tidak berjalan. Belum lagi fenomena maraknya hidup lajang, hidup bersama tanpa menikah, friend with benefit, bahkan childfree.

Media sekuler jauh dari asas agama dan telah menjadi tntunan yang bisa dijangkau setiap saat. Literasi digital yang rendah, nyaris tanpa pendampingan orang tua. Anak-anak di bawah umur pun menjadi korban pengaruh serangan digital ini. Selain itu, diperparah pula dengan sistem pendidikan yang justru membuat aturan agama makin longgar.

Akibat penanaman pemahaman yang salah, agama dianggap radikal. Menganjurkan menutup aurat dengan berbusana muslimah dianggap intoleran. Otonomi atas tubuh adalah hak perempuan. Akhirnya, terjadilah kerancuan kepribadian anak, menetapkan kebenaran salah, dan terpuji tercela. Sehingga, mengakibatkan anak terjerumus pada perilaku yang rusak.

Sementara itu, abainya negara dalam mengawal pesatnya transformasi digital, tidak diimbangi dengan peningkatan literasi digital termasuk pada anak di bawah umur. Demikianlah ketika digitalisasi diarahkan demi pertumbuhan ekonomi dan meraup keuntungan semata. Konten-konten bebas pun berkeliaran mengabaikan tayangan ramah anak. Akibatnya, mendorong anak dapat mengakses dan meniru tayangan yang tidak layak dikonsumsi. Bahkan, ketika anak belum memahami apa yang ditontonnya.

Fakta tersebut nyata penyebab utama kesalahan negara dalam mengurus rakyatnya yang dilandaskan kepada sekularisme kapitalisme. Baik pendidikan, ekonomi, media, semua bidang kehidupan, maupun lainya memberikan dampak bagi kehidupan rakyat. Tatanan kehidupan menjadi rusak termasuk pemikiran dan perilaku manusia. Serta merendahkan martabat kemanusiaan. Pemerkosaan yang dilakukan siswa SD terhadap anak di bawah umur bukti nyata rusaknya tatanan kehidupan saat ini.

Kesadaran akan akhirat menjadikan penguasa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. Sehingga, dapat mewujudkan kesejahteraan dan peran setiap manusia berjalan sesuai kodratnya. Semua itu tidak akan terjadi, apabila akidah Islam dijadikan sebagai landasan dan asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Individu yang selalu terikat dengan aturan Allah, menjadikan akidah sebagai benteng. Akidah pun menjadi panduan bagi penguasa dalam membuat kebijakan dan aturan. 

Penjagaan penguasa dilakukan dalam semua aspek. Menjaga pemikiran umat agar melakukan semangat kebaikan dan menjauhkan diri dari kemaksiatan dan kemungkaran. Penjagaan juga dilakukan tanpa mengabaikan aspek perkembangan teknologi. Justru teknologi akan dikembangkan agar manusia lebih mudah dan makin meningkatkan peran sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi ini.

Semua ini akan terwujud ketika Khilafah Islamiah ditegakkan. Sebab, hanya khilafah yang mampu menerapkan aturan secara kafah/menyeluruh. Terbukti selama hampir 14 abad lamanya, masyarakat Islam dalam naungan khilafah memiliki kehidupan yang sejahtera dan mulia. Menciptakan teknologi yang maju, yang seharusnya umat Islam wujudkan kembali.

Wallahualam bhissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post