Sistem Kapitalis, Menambah Beban Rakyat Dengan Pajak


Oleh : Eliya Saragih
Aktivis muslimah ngaji

Tahun 2023 rakyat Indonesia mendapat kado pahit dari pemerintah yang semakin menambah beban kehidupan.
Bagaimana tidak? Pemerintah secara resmi telah menetapkan pajak penghasilan untuk golongan dengan pendapatan minimal 5 juta/bulan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Peraturan ini diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022 lalu. Salah satu poin dari PP tersebut adalah penghasilan sampai dengan Rp 60 juta/tahun atau 5 juta/bulan dikenakan tarif pajak PPh sebesar 5% (kontan.co.id, 1/1/2023).

Kebijakan ini jelas menambah beban rakyat yang sebelumnya telah berat dengan pungutan di sana-sini. Rakyat baru saja mulai bangkit menata kembali kehidupan yang sempat terpuruk karena pandemi. Kondisi ekonomi rakyat masih belum stabil. Harga-harga barang kebutuhan juga masih naik. Namun, harus dihadapkan pada kebijakan terkait penarikan pajak. 

Kapitalisme, Sistem Pemalak

Seperti yang kita tahu bahwa saat ini negara kita menganut kapitalisme, yang mana akan mengupayakan berbagai cara demi suatu keuntungan tanpa memerhatikan cara itu salah atau tidak. Berbagai peraturan dan strategi baru mengenai pajak tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara. Pemerintah akan mencari berbagai strategi untuk memalak rakyatnya dengan dalih apa pun. Inilah yang terjadi apabila pajak dijadikan sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara. 

Negara tidak mau repot dalam melayani rakyat, karena itulah mengandalkan pajak sebagai jalan untuk mengisi pendapatan negara. Bahkan pajak ini merupakan suatu hal yang wajib, yang mana apabila tidak ditunaikan maka terdapat sanksi. Hal ini terbukti dengan adanya peraturan yang membuat setiap individu tidak bisa lepas dari jeratan pajak. Hal ini jelas menyiksa rakyat. Di tengah kesulitan hidup saat ini, di tambah harus membiayai negara dengan wajib membayar pajak.


Hal ini makin memperlihatkan bahwa fungsi negara yang sesungguhnya tidak hadir. Negara yang sejatinya memiliki kewajiban dan tanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, memberikan kemakmuran dan kesejahteraan dalam segala aspek baik politik, sosial, ekonomi, dsb. Namun bisa kita lihat fakta hari ini semua itu bahkan tidak dipenuhi oleh negara. Padahal negara memiliki peranan besar tersebut. 
Sungguh ini merupakan kebijakan yang dzolim. Selain itu Pemerintah juga memberlakukan tarif PPh karyawan secara progresif. 

Artinya, makin besar penghasilan wajib pajak, pajak yang dikenakan bakal lebih besar. Tarif pajak baru dalam UU HPP yang mulai berlaku sejak awal tahun ini berubah dari empat menjadi lima layer. Berikut rinciannya:
1. Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif PPh 5%
2. Penghasilan di atas Rp 60 juta - Rp250 kena tarif PPh 15%
3. Penghasilan di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta dikenaikan tarif Pph 25%
4. Penghasilan di atas Rp 500 juta – Rp 5 miliar dikenaikan tarif PPh 30%
5. Penghasilan di atas Rp 5 miliar dikenakan tarif PPh 35%.

Pajak dalam Pandangan Islam
Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan,

“Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].

Sistem perpajakan dalam Islam sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Saat Rasulullah menjalankan roda pemerintahan, pendapatan negara diperoleh dari lima sumber utama, yaitu harta rampasan perang (ghanimah), harta kekayaan yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan (fai), zakat, pajak tanah (kharraj), dan pajak kepala (jizyah). Yang selanjutnya di teruskan oleh para khulafaur rasyidin dan khalifah setelahnya.

Untuk pajak tanah (kharaj) dan pajak kepala (jizyah) penetapannya di atur dengan aturan yang tepat, sehingga tidak ada masayarakat yang benar-benar merasa terdzolimi dan di rugikan dan di gunakan seluruhnya untuk kemaslahatan umum, bukan dijadikan sebagai kesenangan pribadi.

Berbeda dengan sistem yang diterapkan sekarang, bahwa negara hanya menjadikan pajak sebagai alat untuk menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio. Seharusnya pemerintah bisa melihat lebih banyak lagi peluang, misal dengan mengelola sendiri hasil alam negeri, sehingga dapat di ekspor dengan nilai jual yang sangat mahal, dan hasilnya dapat di gunakan untuk membangun bangsa, bukan dengan menyerahkan kekayaan alam kepada asing, sehingga kita membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal. Jika sistem pembangunan masih dengan cara memalak rakyat atas nama pajak, maka akan ada masyarakat yang terus menerus terzalimi.

Ingatlah bahwa Rasulullah SAW telah mengingatkan kepada kita tentang keharaman pajak, sebagaimana yang diterapkan di negara kita saat ini. Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadis yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7].

Wallâhu a’lam bishshawâb.

Post a Comment

Previous Post Next Post