Sertifikat Halal, untuk Kepentingan Siapa?


By : Lilis Iyan Nuryanti

Belakangan ini mencuat kabar produk-produk yang tidak mengantongi sertifikat halal bakal terkena sanksi pada tahun 2024 mendatang. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menetapkan label halal yang berlaku secara nasional.

"Oleh karena itu, sebelum kewajiban sertifikasi halal tersebut diterapkan, kami menghimbau seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal produknya," ujar Kepala BPJPH Kemenag Aqil Irham di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).

Aqil mengatakan masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. (Beritasatu, 07/01/2023).

Pemerintah begitu luar biasa menggenjot para pelaku usaha produk makanan untuk mendaftarkan sertifikasi halal di BPJPH. Mengingat, produk makanan halal (halal food) Indonesia masih berada di peringkat 2 dunia berdasarkan State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2022 yang dirilis Dinar Standard (31/04/2022).

Terkesan demi “prestasi” di kancah dunia, tetapi minim upaya penjagaan atas produk non halal di tengah masyarakat. Bukankah penjagaan terhadap makanan non halal disyariatkan dalam Islam? Semestinya penguasa dan jajarannya yang notabene beragama Islam memahami hal ini. Menjauhkan masyarakat dari segala produk haram.

Namun, publik menyadari, bagaimana mungkin penguasa negara mampu menjaga masyarakat dari banjirnya produk makanan non halal? Sebab, sistem negara yang diadopsi masih diambil dari Barat, bernama demokrasi sekuler. Di dalam sistemnya diterapkan ekonomi liberal kapitalistik yang menimbang berbagai perkara termasuk sertifikasi halal dengan timbangan untung dan rugi.

Upaya sertifikasi halal pun menjadi tren bisnis. Lihat saja nominal biaya yang diberikan untuk permohonan sertifikat halal (reguler), usaha mikro dan kecil sebesar Rp300.000. Usaha menengah Rp 5 juta, dan usaha besar atau berasal dari luar negeri Rp12,5 juta. (Kompas, 16/03/2022). Jika seperti ini, kembali rakyat yang dirugikan, dijadikan ajang bisnis tanpa menjawab persoalan banyaknya beredar makanan non halal yang meresahkan umat.

Bagi umat Islam, seluruh aktivitas haruslah terikat dengan perintah dan larangan, yaitu hukum syarak yang sudah diadopsinya. Tidak terkecuali baginya adalah perkara makanan dan minuman. Bahkan kehalalannya merupakan harga mati, artinya hanya kondisi darurat lah (perkara hidup dan mati) yang bisa membatalkan keharaman suatu benda.

Itulah mengapa pabrik minuman keras, peternakan babi, peredaran narkotika, barang-barang yang berbahaya, tidak akan mudah ditemukan secara bebas dikalangan masyarakat luas yaitu umat Islam. Bagi agama yang masih menghalalkan daging babi dan minuman keras, hanya boleh mengkonsumsi benda-benda tersebut dikalangan yang sangat terbatas dan dilarang keras untuk dipertontonkan pada umat Islam secara bebas.

Sebenarnya yang dibutuhkan oleh umat Islam adalah jaminan dari penguasa atas tersedianya produk halal di pasaran, serta terbatasnya barang haram yang memiliki potensi untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab di lapangan.

Adanya label sertifikasi halal justru tidak terlalu urgen untuk diadakan. Ketika penguasa berhasil membentuk muslim yang beriman dan bertakwa, masyarakat yang melakukan amar makruf nahi mungkar, serta penerapan Islam secara formal dalam kehidupan oleh negara, maka sertifikasi semacam itu bahkan tidak diperlukan. 

Karena sebagian besar benda memiliki status halal maka hanya sedikit macam benda yang dihukumi haram. Inilah justru yang harus diketahui oleh masyarakat luas, terutama umat Islam agar terjaga dari pelanggaran syariat yang telah ditentukan. Peran pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan perlindungan masyarakat itulah yang diperlukan umat Islam.

Dalam sistem kapitalis demokratis yang rusak dan merusak ini, umat Islam hanyalah dijadikan objek untuk mendulang keuntungan. Pihak-pihak diluar Islam sangat berkepentingan mengeksploitasi umat Islam, baik sumber daya ekonomi, demografi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya alamnya. 

Peristiwa politik dan sosial yang terjadi saat ini hanyalah puncak gunung es yang nampak ditengah lautan. Persoalan utamanya adalah diterapkannya sistem kapitalis dan tidak diterapkannya sistem Islam. 

Oleh karena itu, Islam memiliki langkah-langkah melindungi umat dari produk haram. Pertama, membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya memproduksi dan mengkonsumsi produk halal. Sertifikasi halal tidak bermanfaat jika umat Islam sendiri tidak peduli dengan kehalalan produk yang dikonsumsi.

Kedua, dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar di masyarakat. Mendirikan lembaga pengkajian mutu, membantu pemerintah dan publik mengontrol mutu juga kehalalan berbagai produk. Hasil penelitian mereka bisa direkomendasikan kepada pemerintah untuk dijadikan acuan kehalalan suatu produk.

Ketiga, negara harus mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan barang. Negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram serta memproduksi barang haram. Negara juga memberikan sanksi kepada para pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslimin. Kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram pun akan dikenai sanksi sesuai nas syariat.

Prosedur sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme sangat menyulitkan pelaku usaha. Landasan pelayanan publik adalah komersialisasi. Produsen akhirnya tidak mau mengurus sertifikasi halal dan mengakibatkan konsumen menjadi korban. 

Ditambah lagi, tren makanan masyarakat saat ini telah banyak bergeser pada menu-menu masakan asing dari negeri non muslim. Lengkaplah, banyak “jebakan” produk makanan non halal yang beredar di pasaran.

Andai saja penguasa negeri ini seperti sosok Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang pernah menuliskan surat kepada para wali di daerah. Khalifah memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim. (Al-Amwal, Abu Ubaid, hlm. 265)

Hal itu dilakukan Khalifah dalam rangka melindungi umat dari mengkonsumsi dan memperjual belikan zat yang telah diharamkan. Tentu kita merindukan pengaturan Islam dalam kehidupan untuk menjaga kita dari berbagai keharaman. Berarti kita harus menempuh jalan untuk memperjuangkan kembali tegaknya sistem Islam agar selamat dunia dan akhirat. Wallaahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post