Sertifikasi Halal Mahal?



Oleh Sri Purwanti
(Founder Rumah Baca Cahaya Ilmu)

Kehadiran sertifikat halal sebuah produk sangat penting mengingat Indonesia memiliki penduduk mayoritas Muslim. Islam dengan tegas melarang mengkonsumsi makanan haram, oleh karena itu sertifikasi halal menjadi sebuah keniscayaan agar masyarakat terhindar dari rasa khawatir ketika mengkonsumsi sebuah produk. Kehadiran sertifikat ini menjadi bukti jika suatu produk makanan tidak mengandung bahan-bahan yang dilarang dalam ajaran Islam.

Sebagimana dilansir dari CnnIndonesia (7/1/2023), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menegaskan pelaku usaha yang produknya yang tidak mengantongi sertifikat halal bakal terkena sanksi pada tahun 2024 mendatang.

Regulasi tentang sertifikat halal sebuah produk di Indonesia diatur pada UU No. 33 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa semua wajib bersertifikasi halal, kecuali produk haram.

Menurut PP No. 39 Tahun 2021 ada beberapa pihak yang berperan dalam proses sertifikasi halal, meliputi Penyelenggaraan Produk Halal, yakni (1) BPJH (Badan Penyelenggara Produk Halal) yang melakukan proses sertifkasi dan jaminan halal, (2) LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) yang melakukan pemeriksaan halal dengan standar HAS 23000, (3) MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang akan menetapkan fatwa halal.

Pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi halal harus mengiktui berbagai tahapan sertifikasi dan melengkapi dokumen pendaftaran, berupa surat permohonan, formulir pendaftaran, aspek legalitas berupa Nomor Izin Berusaha (NIB), dan lain-lain.

Melihat alurnya bisa dibayangkan berapa nominal yang harus dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat halal bagi sebuah produk.
Tentu hal ini terasa berat bagi pelaku usaha yang baru saja merintis bisnis. Padahal sebenarnya menyediakan jaminan halal bagi rakyat adalah bagian dari tanggung jawab negara sebagai pengatur urusan rakyat. Sudah semestinya diberikan secara gratis. Namun realitanya jauh berbeda.

Dalam sistem kapitalis yang memandang segala sesuatu harus menghasilkan materi, hal seperti ini lumrah terjadi. Maka tidak heran jika sering kita jumpai terjadi kecurangan di tengah masyarakat.
Banyak produsen yang memilih peluang self-declare (deklarasi Mandiri) produk halal secara serampangan. Tentu hal ini sangat berbahaya karena halal dan tidaknya produk yang mendapatkan sertifikat masih belum jelas.

Hal ini sangat berbeda jika kita menggunakan sudut pandang Islam. Karena Islam sangat jeli dan teliti terkait kehalalan sebuah produk. Persoalan halal dan haram bukan perkara main-main, karena menyangkut barang yang dikonsumsi ratusan juta Muslim di negeri ini.

Karena sertifikasi halal merupakan hajat publik yang vital, maka negara harus mengambil peran sentral dalam peng­a­was­an mutu dan kehalalan barang.
Sebagaimana Rasulullah sabda Rasulullah saw. : “Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”, (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, proses sertifikasi kehalalan wajib dilakukan secara cuma-cuma oleh negara, bukan dijadikan ajang bisnis. Negara wajib melindungi kepentingan rakyat dan tidak boleh mengambil pungutan dalam melayani masyarakat.

Dalam Islam biaya sertifikasi halal akan menggunakan dana dari baitul maal. Jaminan kehalalan sebuah produk  ditentukan dari awal, mulai proses pembuatan bahan, proses produksi, hingga distribusi akan se­nan­ti­a­sa diawasi. Hal ini bertujuan untuk memastikan seluruh produk dalam kondisi aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Negara juga memberikan sanksi pada pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum Muslim. Dengan begitu umat akan merasa tenang ketika mengonsumsi sebuah produk.

Tidakkah kita ingin merasakan kondisi seperti ini? Mengonsumsi produk apapun tanpa dibayangi rasa was-was terhadap kehalalannya. Semua itu akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam setiap sendi kehidupan.

Wallahu a'lam bishawab


Post a Comment

Previous Post Next Post