Sekularisme Mempersempit Fungsi Masjid



Oleh Anggia Widianingrum
(Aktivis Dakwah)

Masjid merupakan rumah ibadah umat Islam. Keberadaannya pun sangat dibutuhkan untuk berbagai mac kegiatan guna melakukan syiar-syiar keislaman. Patut kita syukuri karena keberadaannya dimana-mana, sehingga memudahkan masyarakat untuk melaksanakan ibadah. Suasana yang bersih dan nyaman menambah kekhusuan saat beribadah.

Keberadaan masjid pun dinilai strategis, hingga tak jarang hal ini dimanfaatkan parpol untuk melakukan aktivitas penjaringan dan dukungan suara.
Tentu saja hal tersebut menuai kontra terhadap peraturan perundangan di Indonesia.

Seperti yang dikutip dari Republika.co.id (7/01/2023), Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa masjid maupun rumah ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan parpol maupun lainnya. Hal ini disampaikan usai adanya pengibaran bendera salah satu parpol di masjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat.
Beliau menyampaikan sudah ada aturan, bahwa tidak boleh kampanye di kantor pemerintahan, tempat-tempat ibadah dan ditempat pendidikan. Hal itu disampaikan  usai menghadiri acara Haul ke 51 K. H. Tubagus Muhammad Falak Abbas bin K. H. Tubagus Abbas di Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan, Bogor.

Hal senada juga disampaikan oleh ketua PWNU Prov. DKI Jakarta K. H. Samsul Ma'arif, beliau mengingatkan terkait pelarangan kampanye sudah ditetapkan oleh undang-undang dan bagi pelanggarnya bisa dikenakan hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda 24 juta, dengan merujuk pada UU Pemilu tahun 2017 No. 07 pasal 521. Samsul Ma'arif membenarkan tapa yang disampaikan ketua umum PBNU K. H Yahya Cholil Staquf saat konferensi pers dengan KPU di gedung PBNU. (Voi.id,  04/01/2023).

Tidak hanya itu Kiyai Staquf juga mengungkapkan bahwa kampanye atau politisasi di tempat ibadah berbahaya sekali dan akan merusak masyarakat.

Fungsi Masjid Terpapar Sekularisme

Tidak dimungkiri kehidupan hari ini larut dalam sekularisme akut yang tidak hanya meracuni pemikiran kaum Muslim, namun juga berimbas pada tuntutan aturan hidup, tak terkecuali fungsi masjid.

Ketika kita berbicara politik hari ini, benak kita langsung tertuju pada sistem politik Ddmokrasi sekularisme. Sistem lahir dari rahim Barat yang tidak memberikan ruang bagi agama terutama Islam untuk mengatur politiknya. Sistem ini lahir akibat teokrasi absolut yang menindas rakyat di abad pertengahan.
Maka akibat dari trauma tersebut, munculah para pemikir yang menghendaki perubahan, yaitu dengan jalan sekularisme. Di mana peran agama yang diwakili gereja harus dimarginalkan dalam mengatur urusan antar masyarakat. Dengan kata lain memisahkan agama dari kehidupan dan memisahkan agama dari negara.

Agama hanya boleh dipraktikkan dalam tempat ibadah atau di rumah-rumah saja. Sedangkan untuk urusan masyarakatnya, mereka memutuskan perkara menurut kehendak akal mereka ataupun dengan suara terbanyak, yang kini dikenal dengan demokrasi.

Sejatinya, sistem inilah yang diadopsi oleh negeri-negeri Muslim saat ini. Tak hanya sistem, pemikiran dan kepribadian Barat pun telah melekat pada diri kaum Muslim.
Sering kita dengar dari masyarakat bawah hingga pejabat politisi negara yang mengatakan bahwa masjid harus bersih dari politik, jadi tidak usah berbicara politik di masjid, politik itu kotor, dan akan membawa perpecahan antar jamaah.

Hal tersebut mengisyaratkan bahwa umat telah memahami bahwa, politik praktis yang diterapkan saat ini sungguh jauh dari nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Bahkan muncul kekhawatiran  akan tepecah-belahnya umat, karena lemahnya pemahaman politik yang hanya terbatas pada politik praktis, sebagaimana yang diamalkan parpol hari ini.

Ancaman perpecahan umat sejatinya sudah muncul sejak adanya partai Islam, bukan lagi partai ideologis Islam. Yang mana parpol Islam hanya mengejar kepentingan pribadi dan golongan bukan kepentingan umat secara keseluruhan.

Sungguh amat disayangkan, jika fungsi masjid hanya berkutat pada ranah ibadah ritual saja. Ketika masjid diperindah dan diperluas hanya sebagai sarana selebrasi di peringatan-peringatan tertentu. Ramainya masjid ketika pejabat melakukan safari subuh atau pada saat salat Jumat saja.

Masjid yang terkadang tak ramah pada anak-anak, menjadikan masjid berkesan sakral dan jauh dari permasalahan yang dihadapi umat.
Masjid hanya dijadikan tempat kampanye gelap oleh para politisi pada saat menjelang musim pemilu  demi meraih suara umat Islam. Tetapi anehnya, Islam dan umatnya sering dimonsterisasi dan ajarannya yang agung sering difitnah.

Fungsi Masjid di Era Kegemilangan Islam

Berbeda halnya dengan masjid di Madinah  pada masa Rasulullah saw. menjadi kepala negara. Setidaknya ada beberapa fungsi masjid, selain tempat ibadah, juga sebagai pusat kegiatan pendidikan. Tempat Beliau saw. berdiskusi dengan para sahabat memutuskan persoalan umat, sebagai baitul maal, tempat merawat orang sakit dan terluka saat peperangan, tempat latihan militer dan menyusun strategi perang serta untuk mengurusi kepentingan politik dan pemerintahan.

Tentu saja politik yang dijalankan Rasul saw. adalah politik Islam. Politik yang dibangun berasaskan akidah Islam untuk mengatur dan melayani urusan rakyatnya. Sistem yang juga mampu menjadikan para pejabat dan rakyatnya memiliki ketakwaan. Hal ini dikarenakan setiap memutuskan perkara dibimbing oleh wahyu, bukan hawa nafsu dan akal manusia yang terbatas.

Mereka akan sadar betul bahwa setiap dari mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dibebankan di pundak mereka.
Sebagaimana sabda Rasulullah:

كلكم راه اكلكم مسؤل عن رعيته الامام راه و مسؤل عن رعيته..
Artinya: "Ingatlah, Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Seorang amir(imam) atas manusia adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu.." (H.R Bukhari no. 844)

Menurut para ulama, ra'in (pemimpin) adalah orang yang memberikan perlindungan, dapat dipercaya, layak diikuti dan berlaku adil.
Pemimpin bertanggung jawab atas seluruh persoalan umat, serta mengimplementasikan segala sesuatu yang ditetapkan Allah Swt. atas mereka. Semisal dalam perkara hukum, perundangan, dan persanksian menurut haknya yang telah ditetapkan syariat.

Begitulah fungsi masjid dan peran pejabat dalam Islam. Sedikit pun tidak pernah berubah dari masa Rasulullah saw. dan para khalifah sesudahnya hingga masa berakhirnya khilafah islamiyah pada Maret tahun 1924.
Namun kini fungsi masjid semakin menyempit tatakala dunia jatuh dalam sistem sekularisme kapitalis, yang menjadikan umat Islam jauh dari pemahaman dan aturan Islam yang benar.

Oleh sebab itu, hendaknya umat sadar, bahwa demokrasi sekular adalah sistem rusak yang diterapkan untuk melenakan umat Islam dengan janji manisnya setiap lima tahun sekali.
Mengingat hal ini, maka fungsi masjid seharusnya dikembalikan sebagaimana mestinya dalam penerapan Islam, tidak bisa dilakukan secara parsial dan membutuhkan kekuatan kepemimpinan politik umat Islam secara keseluruhan.

Oleh karena itu umat harus segera bangkit bersama partai politik sahih untuk berjuang bersama-sama mengembalikan sebuah konstitusi politik Islam untuk menegakkan agama Allah dan meraih maslahat atas rida-Nya bagi seluruh umat manusia dalam bingkai syariah yang telah Allah janjikan.

Wallahu a'lam bishawwab 

Post a Comment

Previous Post Next Post