(Aktivis Muslimah)
Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) masih menjadi kontroversi antara warga dan pemerintah. Pasalnya uang ganti rugi yang dijanjikan tidak sesuai keinginan warga. Hal ini disampaikan juru bicara kelompok masyarakat sepaku Dahlia Yati, yang lahannya masuk KIPP IKN Sepaku, PPU. " Kami waswas terhadap masa depan kami. Terlebih nilai ganti rugi lahan yang menurut kami belum ideal,” Minggu (8/1)
Awalnya sekitar 30 warga pada kelompok ini, mengajukan tuntutan nilai ganti rugi lahan Rp 2 juta per meter persegi. Namun, kemudian naik menjadi Rp 3 juta per meter persegi. “Tuntutan kami jadi Rp 3 juta per meter persegi itu setelah kami mengetahui harga-harga lahan di luar IKN rata-rata sudah di atas Rp 3 juta per meter persegi,” katanya. “Jangan sampai harga ganti rugi yang kami terima nanti dari pemerintah nilainya justru lebih rendah, dan kami tak bisa membeli lahan lagi untuk ganti sebagai tempat kami bermukim dan berusaha seperti sebelumnya,” tambahnya.
Beliau juga menanggapi pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan (PTPP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Embun Sari yang menyebutkan, nilai ganti kerugian lahan pada kawasan yang masuk wilayah KIPP, berkisar Rp 650 ribu hingga Rp 1 juta per meternya. Pernyataan Embun Sari ini disampaikannya pada ATR/BPN Podcast yang membahas peran Kementerian ATR/BPN dalam pembangunan IKN.
"Itu pernyataan yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan,” bantah Yati Dahlia. Ia kemudian mengirimkan semacam nota pembayaran ganti rugi yang diterima salah satu warga yang hanya mendapatkan ganti rugi Rp 75 juta, untuk lahan seluas 653 meter persegi. Angka tersebut, lanjut Yati Dahlia, ganti rugi tahap pertama yang diberikan pemerintah untuk lahan masyarakat di area KIPP untuk pembangunan instalasi pembuangan akhir limbah (IPAL).
Konflik Lahan akibat sistem kapitalis sekuler
Pembangunan IKN terus digenjot oleh pemerintah, yang paling utama ialah pembebasan lahan di wilayah IKN. Termasuk lahan warga baik garapan maupun pemukiman. Pemerintah berjanji akan memberi ganti rugi lahan bagi warga yang masuk dalam otorita IKN. Namun seiring berjalannya waktu ganti rugi yang dijanjikan tak sesuai. Banyak warga mengeluh, Namun tidak ada penyelesaian dari pemerintah.
Tidak dapat dipungkiri berpindahnya Ibu Kota banyak menimbulkan konflik, Khususnya konflik lahan. Kepemilikan tanah dan pembebasan lahan menjadi konflik yang sering terjadi. Ganti rugi yang tidak sesuai harapan menjadi hal ini biasa dalam sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang melahirkan kebebasan kepemilikan. Menjadikan lahan milik umum/ individu bisa dimiliki siapa saja baik penguasa ataupun pemilik modal. Tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat.
Masyarakat lokal kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan hutan dan pertanian kini tak ada lagi yang mereka andalkan. Di tengah himpitan beban hidup yang berat dan impian hidup sejahtera penguasa atau para kapital mengincar tanah mereka.
Dalam hal ini negara hanya sebagai regulator yang hanya bepihak pada kepentingan penguasa dan pemilik modal, masyarakat lokal seolah dianak tirikan. Sehingga Keadilan tidak berpihak pada warga lokal. Alhasil kekuasaan akan beralih kepada penguasa dan kapital/pemilik modal. Warga lokal tidak akan mampu bertahan dan justru akan meminggirkan warga asli. Akhirnya mereka pun harus rela menyerahkan lahannya karena kebutuhan dan ganti rugi yang dijanjikan oleh penguasa ataupun pemilik modal cukup besar.
Namun demikian ganti rugi yang ditawarkan tidak sesuai dan sulit untuk mereka gunakan sebagai usaha baru termasuk tempat tinggal. Sejatinya pindah IKN akan tetap menambah masalah di antara masalah yang sudah ada. Semua ini tak lepas karena penerapan sistem Kapitalis Sekuler yang diadopsi penguasa. Sistem ini berjalan dengan asas manfaat, sehingga tidak memikirkan halal dan haram. Wajar saja jika konflik demi konflik terus terjadi karena kerusakan sistem ini.
Islam Atasi Konflik Lahan
Dalam pandangan Islam jika IKN dipindahkan potensi konflik lahan (agraria) sangat minim terjadi karena kepemilikan tanah yang jelas. Dalam Islam kepemilikan dibagi dalam tiga hal yakni, kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
Dalam kepemilikan individu hak seseorang yang diakui Syariah, individu tersebut diberikan hak untuk mengelola kekayaannya sendiri. Islam memberikan perlindungan hak milik individu dan menjadi kewajiban negara untuk tidak melanggar hukum itu. seperti merampok/mencuri ataupun cara lainnya yang tidak dibolehkan Syariat.
Kepemilikan negara adalah hak seluruh kaum muslim untuk menikmatinya. Pengelolaannya dilakukan oleh pihak yang berwenang yaitu negara khilafah. Harta negara tidak boleh dimiliki oleh siapapun dan diberikan kepada siapa pun, sedangkan milik negara boleh diberikan kepada siapa saja berdasarkan kebijakan khalifah dan kepentingan rakyat. Misalnya harta rampasan perang (fa'i), Al kharaj dan jizyah yang tidak ditentukan sasarannya dalam Syara’. Sementara itu untuk kepemilikan umum hanya diperuntukkan untuk masyarakat, individu dilarang menguasai. Hal ini telah dinyatakan Syara yaitu fasilitas umum, barang tambang, dan SDA.
Nabi saw bersabda: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal air, padang, dan api (HR. Abu Dawud).
Negara tidak memperbolehkan kepimilikan individu dimiliki dengan alasan demi kemaslahatan umum. Sebab hal ini dilindungi syariah. Pelanggaran atas kepemilikan individu termasuk perbuatan zalim yang bisa diadukan kepada mahkamah mazalim.
Negara menetapkan kekayaan milik umum tidak boleh dimiliki oleh individu dengan alasan kemaslahatan. Negara juga tidak boleh memproteksi harta kekayaan milik umum atau negara menjadi milik pribadi misalnya tanah dan barang yang menjadi milik umum. Sedangkan yang boleh diproteksi negara hanya untuk kepentingan kaum muslim dengan syarat tidak mengakibatkan kemudratan.
Islam memberikan solusi agar sengketa lahan tidak terjadi yang pertama Islam mengatur kebijakan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât). Kedua, Tanah yang tidak priduktif akan dibatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, seperti tanah pertanian, yang tidak produktif atau ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketiga, kebijakan Negara, memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat untuk dikelola. Keempat, Negara memberikan subsidi kepada setiap orang yang telah memiliki tanah, Negara akan memaksa individu tersebut untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh dibiarkan begutu saja. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka.
Demikianlah islam dengan tuntas mengatasi konflik lahan. Sudah saatnya kaum muslimin mengambil islam sebagai solusi mengatur segala permasalahan hidup.
Wallahualam bi' sawab…
Post a Comment