Program Bagi-Bagi Rice Cooker dan Konversi Kendaraan Listrik, Bisakah Selesaikan Masalah?

   

Oleh: Afifah Azzahra

 Aktivis Muslimah

 

 

Rencana konversi kendaraan bermotor ke motor listrik yang bersubsidi sebesar Rp6,5 juta akan diluncurkan oleh pemerintah untuk mengurangi konsumsi BBM yang selama ini dianggap menyedot APBN. Karena jika dikalkulasikan, adanya 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik bisa menghemat BBM hingga 8,1 juta kilo liter serta mengurangi emisi CO sebesar 17,6 juta ton.

Selain motor listrik,  pemerintah juga akan membagikan 680.000 unit rice cooker gratis kepada masyarakat dengan anggaran senilai Rp300 miliar untuk menghemat subsidi LPG 3 kg hingga Rp52,2 miliar dengan total biaya pengadaan Rp240 miliar di tahun mendatang. Namun, program bagi-bagi rice cooker dan konversi kendaraan listrik, bisakah selesaikan masalah

Bhima Yudhistira, Direktur Centre of Economic and Law Studies (CERLIOS) mengatakan subsidi terhadap produk-produk berbasis listrik seperti motor listrik dan penanak nasi listrik tidak akan membuat rencana pemerintah melakukan transisi energi menjadi lebih baik karena sumber energi yang digunakan untuk produk-produk tersebut juga berasal dari energi fosil batubara. Sehingga rencana-rencana itu hanya sekedar memperbaiki masalah di hilir saja. Jika memang serius mau mewujudkan energi bersih, pembangkit listrik selain batubara dan BBM harus ditingkatkan, seperti tenaga kayu, panas bumi, nuklir, dan lainnya. (Narasi, 6/12/2022).

Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), pun menilai pemberian subsidi ke motor listrik sebagai strategi transisi adalah cara yang kurang tepat. Djoko mengatakan lebih baik pemerintah menggunakan anggaran subsidi tersebut untuk pembangunan dan perbaikan transportasi umum. Selain itu, penggunaan motor listrik pada praktiknya perlu ditopang dengan infrastruktur  mendukung yang memadai. Misalnya, ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang  terdistribusi di banyak wilayah, termasuk bengkel-bengkel perawatan motor listrik yang cukup dengan harga terjangkau. (Kompasiana, 10/12/2022)

Di sisi lain, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan besaran subsidi konversi motor listrik menjadi sebesar Rp5 juta dan subsidi untuk beli motor listrik sebesar Rp8 juta. Ia juga menyebut pemerintah akan memberi subsidi untuk pembelian mobil listrik yang memiliki pabrik di Indonesia, besaran subsidi yang akan diberikan Rp80 juta. Untuk pembelian mobil berbasis hybrid akan diberikan subsidi sebesar Rp40 juta. Begitu pun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif  mengatakan tahun ini pemerintah menargetkan konversi 1.000 unit motor namun sampai pertengahan Desember 2022 baru terealisasi 148 unit karena keterbatasan anggaran (CNN, 18/12/2022).

Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) maupun Bantuan Penanak Nasi Listrik (BPNL) sebenarnya rencana pemerintah untuk meningkatkan konsumsi listrik sebagai upaya pemanfaatan energi bersih dan mendorong agenda transisi energi. Namun pada kenyataannya, pemerintah tetap bergantung pada swasta untuk merealisasikan kebijakannya yaitu dengan menggandeng PT. PLN dan Pertamina. Lantas, bisakah kebijakan ini dijadikan visi untuk memandirikan energi?.

Negara yang menganut ideologi kapitalisme telah memberikan kebebasan berinvestasi pada berbagai pihak termasuk swasta maupun asing tanpa mempedulikan dampak yang dirugikan bagi rakyat dan masyarakat secara luas. Termasuk tanpa mempedulikan apakah investasi tersebut pada barang umum yang seharusnya menjadi hak publik ataukah tidak. Tak heran, negara menjadi tidak mandiri dalam mengelola industri yang memproduksi kebutuhan publik. Negara hanya bertumpu pada industri konsumtif bukan menjadi industri strategis atau industri alat berat.

Inilah fakta pengurusan negara dengan sistem kapitalisme. Hak rakyat berupa bahan bakar mesin maupun listrik dikapitalisasi. Sehingga yang terlihat justru penguasa yang berbisnis dengan rakyatnya, bukan rakyat yang dilayani oleh penguasanya.

Berbeda jika negara dipimpin dengan ideologi Islam. Khalifah sebagai pemimpin tunggal memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Oleh karena itu, Islam membagi konsep kepemilikan secara jelas menjadi tiga bagian yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan publik/umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah kepada masyarakat untuk dimanfaatkan secara bersama.

Ada tiga jenis kepemilikan umum : (1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dan lain-lain. (2) Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dan lain-lain. (3) Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).

Peran negara atas kepemilikan umum mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Harta milik umum dibelanjakan untuk pengembangan dan eksplorasi kepemilikan umum serta menyiapkan bahan dan produk yang termasuk milik umum. Atas dasar inilah, pabrik atau industri didirikan dan dikembangkan oleh negara.

Pembangkit listrik dengan berbagai jenisnya, baik tenaga nuklir, air, surya, serta penelitian dan pengembangan yang dibutuhkan semuanya dibiyai dari harta milik umum. Semua komuditi kepemilikan umum dan alat-alat yang diperlukan untuk industrialisasinya, maka produksinya dibiyai dari harta milik umum seperti industri pesawat, mobil, kereta, turbin, dan pembangkit.

Maka, kemandirian energi sebenarnya hanya akan tercipta saat negara mengelola SDA dan menerapkan politik ekonomi berasaskan Islam.[]



Post a Comment

Previous Post Next Post