Presidensi G20, Benarkah Membawa Manfaat Untuk Rakyat Indonesia?

Oleh: Arbiah, S.Pd

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia memegang presidensi tahun 2022. Rangkaian acara utama G20 dimulai hari Minggu (13/11). Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan seluruh kesiapan KTT sudah 100 persen. Dengan mengusung prinsip inklusivitas, KTT G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sebagai tuan rumah tahun ini akan melibatkan 17 kepala negara/pemerintahan dan 3.443 delegasi. Menurut Luhut, pemimpin negara G20 yang telah mengonfirmasi hadir dalam KTT G20 di Bali adalah Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Prancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa.

Menyoal berbagai kekhawatiran puncak acara KTT G20 tidak mencapai komunike dari para kepala negara, Luhut tak ambil pusing. Menurut dia, mencapai komunike atau tidak, yang jelas G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sudah menghasilkan banyak kesepakatan di berbagai bidang. Juga memberikan dampak ekonomi yang sangat besar bagi RI. ”Kalau pada akhirnya tidak mencapai leaders communique, ya sudah nggak apa-apa. Banyak hal yang sudah kami hasilkan, berbagai macam, dan bahkan kalau dihitung dari sisi ekonomi sudah mencapai miliaran dolar AS,” jelas ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan Acara G20 itu.

Dari sisi ekonomi, menurut Luhut, dampak multiplier effect kontribusi G20 mencapai USD 533 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2022. Sebagian besar akan berputar di Bali. (JawaPos.com, 13/11/2022).

Secara garis besar G20 tak lebih dari forum konsultasi atau kongsi informal yang diinisiasi oleh negara-negara industri maju guna menegosiasi berbagai kebijakan ekonomi global, dengan misi utama mengokohkan sistem kapitalisme neoliberal di dunia.

Di forum G20 mereka bukan saja mengokohkan lahan bisnis lebih besar. Mereka juga mendapatkan dukungan atas berbagai kerusakan yang mereka timbulkan untuk ditanggung oleh seluruh negara anggota. Baik kerusakan lingkungan maupun merusakan tatanan ekonomi akibat krisis. Padahal kerusakan lingkungan dan krisis ekonomi yang terjadi bukan karena tidak melibatkan negara berkembang dalam berbagai forum dunia. Akar masalah kebangkrutan lingkungan dan ekonomi dunia adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis.

Jadi pelibatan negara berkembang di dalam forum ini tidak lebih dari sekedar pemanis wajah buram kapitalis. Sepanjang perjalanan aktifitas G20 tidak ada satu pun pembahasan yang memberikan dampak positif terhadap negara-negara berkembang baik dalam sektor keuangan maupun non keuangan seperti kerusakan lingkungan.

Sejak pendirian G20 pada tanggal 26 September 1999 di Berlin, Jerman, forum ini belum bisa menjadi forum yang dapat memberikan kontribusi penting dalam pemecahan persoalan perekonomian dan lingkungan dunia. Masih banyak negara-negara berkembang yang tidak lepas dari krisis ekonomi. Realitas ini mengonfirmasi bahwa forum ini mengalami stagnasi.

Jangankan memberikan kontribusi terhadap negara yang bukan anggota, bahkan terhadap negara yang menjadi anggota pun tidak dirasakan dampak yang nyata. Sebut saja misalnya, negara-negara seperti Brazil, Afrika Selatan, India termasuk Indonesia yang hingga kini masih terus berkutat dengan krisis ekonomi dan lingkungan. Misalnya Brazil sebagai negara dengan ekonomi terbesar kawasan diperkirakan pada tahun 2022 akan tetap terjebak dalam resesi. Hal tersebut karena tingginya inflasi (di atas 10%) dan pengangguran di atas 14%. Untuk kerusakan lingkungan dalam 12 bulan, hingga agustus 2020, deforestasi di Amazon Brasil meningkat 9,5%, menghancurkan area yang lebih besar dari Jamaika. Begitu juga kondisi negara lainnya termasuk Indonesia sebagai negara berkembang.

Persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya kemiskinan, kerawanan /konflik sosial, dll. Keberadaan Indonesia sebagai Presidensi G20 nyaris seperti CEO yang melayani kepentingan negara besar. Jelas dengan adanya G20 tidak akan memberikan efek perbaikan ekonomi kepada negara Indonesia.

Oleh karena itu forum G20 merupakan forum untuk mengukuhkan ideologi kapitalis. Amerika Serikat memiliki kepentingan ingin mengukuhkan sistem neoliberalisme kapitalisme dalam ekonomi politik di dunia. Bagi negara-negara berkembang yang terlibat status keanggotaan G20 sama sekali tidak membawa dampak terhadap perbaikan ekonomi dan lingkungan di negaranya. Oleh karena itu G20 bagian dari masalah bukan bagian dari manfaat.

Karena itulah kaum muslim harus menyadari pentingnya kemandirian politik sehingga mampu menentukan sikap dan masa depannya sendiri tanpa harus ada dalam sentilan kapitalis global. Hanya arah pandang terhadap politik Islam di bawah ideologi Islam yang dapat menjadi metode kebangkitan kaum muslim saat ini. Inilah satu-satunya manifestasi yang layak menuju kepemimpinan dunia yang hakiki.

Sebab Islam memiliki aturan yang sempurna yang mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan terutama sistem ekonomi. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang standar ekonominya dari sektor ribawi, pengunaan mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas berharga apapun (fiat money) dan lain-lain. Sedangkan ekonomi Islam yang menjadi standar ekonomi yakni:

Pertama, sistem ekonomi Islam berbasis pada sistem keuangan nonriba. Apabila riba hilang dalam perekonomian dunia, dunia akan menjadi seperti peradaban Islam dalam khilafah islamiyyah yang pertama. Yakni berhasil mewujudkan sistem ekonomi yang melejitkan produktivitas. Kebijakan sistem fiskal khilafah dalam bentuk pemberlakuan sistem baitulmal terbukti melejitkan sistem penerimaan negara dalam jumlah yang sangat besar, bahkan tanpa harus memungut pajak kepada rakyatnya.

Kedua, sistem moneter di dalam Islam yakni emas dan perak berhasil mewujudkan stabilitas sistem moneter dunia. Sistem ekonomi Islam akan menghasilkan stabilitas ekonomi yang terus menerus hingga menciptakan kesejahteraan yang merata atas seluruh rakyat. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Negara Khilafah).

Hubungan dagang dengan luar negeri pun terkontrol dalam mekanisme yang menjamin kemandirian dan keamanan negara. Apabila demikian solusinya Indonesia dan negeri muslim lainnya akan terbebas dari penjajahan negara produsen. Tak akan ada lagi forum internasional yang harus diikuti demi kepentingan negara besar.

Wallahualam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post