Pemerhati Kebijakan Publik
Sosok ibu tidak lagi digambarkan sebagai seorang perempuan yang memakai daster dan identik dengan pekerjaan rumah. Bukan lagi digambarkan sosok perempuan yang sedang menimang anaknya. Tapi secara sistemik digambarkan lebih lekat pada seorang perempuan yang multi profesi. Perempuan yang berwirausaha, berkarir, dan identik dengan kehidupan luar rumah. Sosok ibu dalam sistem kapitalis saat ini adalah perempuan yang mampu berperan ganda, menjadi ibu rumah tangga sekaligus pekerja.
Sungguh sebuah ilusi, jika kebahagiaan seorang wanita diukur dengan seberapa eksis dia di luar rumah, seberapa banyak materi yang bisa dia hasilkan. Namun demikianlah fakta yang terjadi saat ini. Standar keberhasilan seorang wanita adalah materi. Kemudian secara sistemik perempuan berlomba-lomba mengejar eksistensi baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Pengalihan fungsi peran ibu ini tidak terjadi secara alami, tetapi by design atas arahan sistem dan disetujui rezim. Sistem membuat perempuan secara rela dan terpaksa keluar rumah demi membantu perekonomian keluarga. Lapangan pekerjaan lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan, setiap sektor industri memberikan kesempatan bagi perempuan lebih besar dari laki-laki. Akhirnya perempuan menjadi pelaku ekonomi di tengah sulitnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki.
Hal ini tentu saja tidak lepas dari peran negara sebagai pemangku kebijakan. Beberapa pekan yang lalu Indonesia memperingati Hari Ibu yang bertemakan pemberdayaan ekonomi ibu. Peringatan Hari Ibu, 22 Desember tahun ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu bertemakan “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”. Ini seolah-olah merupakan representasi dari seluruh ibu di Indonesia yaitu sebagai pelaku ekonomi yang harus diberdayakan.
Melenceng dari Sejarah Hari Ibu
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta yang membentuk sebuah organisasi dengan nama Perikatan Perkoempoelan Perempoen Indonesia (PPPI). Pada Kongres Perempuan Indonesia I yang menjadi agenda utama adalah mengenai persatuan perempuan Nusantara, peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, dalam berbagai aspek pembangunan bangsa serta perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, dan lain sebagainya. Sedangkan pada tahun 1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia III di Jakarta yang menetapkan fungsi utama perempuan adalah mendidik generasi baru sebagai ibu bangsa. Kemudian hari ibu dikukuhkan pemerintah melalui Keputusan Presidan no. 316 tahun 1959.
Jika melihat sejarah di atas, maka ada pergeseran misi dari awal Peringatan Hari Ibu yang mendudukkan peran ibu yang sebenarnya sesuai fitrahnya sebagai ibu pencetak generasi. Saat ini yang kita rasakan adalah misi yang dibawa sangat kental dengan aroma kesetaraan gender dan upaya eksploitasi perempuan. Padahal justru inilah awal malapetaka rusaknya generasi bangsa akibat pergeseran peran ibu.
Terpaksa dan Dipaksa Menjadi Tulang Punggung
Perempuan dari tahun ke tahun selalu menjadi pihak yang paling merasakan dampak baik psikis maupun klinis. Beberapa tahun yang lalu saat pandemi merontokkan perekonomian dunia, perempuanlah yang paling menderita. Gelombang PHK membuat sebagian besar kepala rumah tangga menjadikan perempuan banting setir guna menopang perekonomian keluarga. Tidak hanya itu, beralihnya aktivitas pendidikan di rumah dalam jaringan (daring) membuat kaum ibu semaking darting (darah tinggi).
Semakin kompleksnya problematika rumah tangga membuat kehidupan perempuan makin terpuruk. Secara naluriah sebagai seorang istri atau ibu pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan dasar karena pemenuhannya bersifat mendesak.
Kebahagiaan Semu dan Awal Kehancuran Generasi
Secara sistemik, perempuan digiring ikut meramaikan perekonomian. Lapangan kerja dibuka seluas-luasnya untuk perempuan. Sebagian besar perusahaan konveksi dan tekstil didominasi oleh pekerja perempuan. Di bidang hiburan pun sama, media baik cetak maupun elektronik menjerat kaum perempuan untuk berkecimpung ke dunia hiburan dengan mengeksploitasi tubuh mereka tanpa mereka sadari.
Dalam bisnis digital pun perempuan ditempatkan sebagai produsen, distributor sekaligus konsumen utama. Bagaimana tidak, Indonesia telah dikuasai pasarnya oleh food dan fashion. Media sosial penuh dengan iklan yang dimasifkan oleh influencer dan publik figur. Gaya hidup hedonis yang dinarasikan sebagai standar kebahagiaan telah membawa perempuan makin jauh dari fitrahnya.
Gaya hidup seperti ini tentu saja tidak murah. Lagi-lagi kapitalis menawarkan bisnis online yang tidak terlalu membutuhkan keterampilan. Dengan kecanggihan teknologi, semua orang bisa membuat toko online sendiri. Begitu juga dengan konten yang hanya mengandalkan keviralan dan bisa menghasilkan cuan. Semakin banyak follower semakin besar juga penghasilannya.
Pada akhirnya, perempuan hanya merasakan kebahagiaan semu karena hanya terpenuhi secara materi. Perempuan hanya didorong untuk fokus pada aktivitas publik. Memposisikan perempuan sebagai penyelamat ekonomi keluarga. Padahal ini sangat bertentangan dengan fitrahnya sebagai seorang perempuan yang wajib dinafkahi oleh mahramnya. Secara sistemik perempuan dijauhkan dari aktivitas domestik yaitu menjadi ibu pengatur rumah tangga.
Islam Memuliakan Perempuan
Islam telah mengatur kehidupan perempuan sesai dengan fitrahnya. Perempuan adalah makhluk yang begitu dimuliakan oleh Islam. Perempuan tidak diwajibkan untuk membiayai kehidupannya sendiri maupun keluarganya. Sebelum menikah, dia adalah tanggungjawab ayahnya. Ketika menikah dia menjadi tanggungjawab suaminya. Bahkan ketika dia sebatang kara, maka negaralah yang wajib menafkahinya.
Islam mewajibkan suami memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang baik.Hal ini termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 233: "...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut". Berdasarkan dalil ini maka negara yang menerapkan sistem Islam memastikan semua laki-laki dewasa harus mempunyai mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. Negara juga menjamin kebutuhan dasar rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan dijamin secara tidak langsung dengan memastikan harga yang terjangkau dan stok barang stabil. Sedangkan kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin secara langsung yaitu menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan secara gratis dengan kualitas yang bagus. Keamanan juga dijamin dengan menerapkan hukum jinayah yang bersifat zawabir dan zawajir.
Hal ini hanya bisa dirasakan oleh masyarakat termasuk kaum perempuan ketika sistem Islam yang dijadikan sebagai aturan bernegara. Mewujudkan Islam rahmatan lil alamin dengan menerapkan kembali sistem yang sahih yaitu Daulah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Wallahualam bissawab
Post a Comment