(Pengajar di Nurul Iman)
Lagi-lagi unjuk rasa dilakukan oleh Ratusan guru honorer di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang menuntut sejumlah hak kepada pemerintah. Kesejahteraan yang belum terpenuhi menjadi pemicu mereka untuk berunjuk rasa. Kenapa permasalahan Guru Honorer ini tiada kunjung selesai dari dulu?
Dalam aksinya ini, guru honorer menuntut kelayakan upah layak untuk tenaga honorer selama proses pengangkatan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tuntutan sesuai upah ini, harus sesuai dengan besaran upah yang sama dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Sumedang.
Selain itu, guru honorer juga menuntut kepastian untuk formasi tenaga honorer tahun 2023, yang tidak ada kodefikasinya. Kemudian, mempertanyakan kejelasan status eks Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan di Kabupaten Sumedang (ruber.id, 09/01/2023).
Nasib guru honorer masih saja mengenaskan, tidak ada kejelasan dari dulu. Begitupun yang pernah dialami saya sendiri dan suami saat menjadi guru honorer. Merasakan gaji yang kecil tidak sebanding dengan pengorbanan, hanya Rp 200.000 per bulan itu pun dibayar berbulan-bulan tidak dapat setiap bulan. Untuk mencari tambahan harus bontang banting mengajar di beberapa sekolah sambil mencari peluang untuk berjualan. Berharap masa depan akan cemerlang.
Hal yang ditunggu-tunggu ketika ada berita akan turun tunjangan, kami pun sigap mengumpulkan persyaratan. Berharap tunjangan turun, tapi lama dinanti tak kunjung tiba dan akhirnya kami pun gigit jari. Begitulah realita nasib guru honorer yang ingin mengamalkan ilmunya untuk kemajuan generasi penerus bangsa. Tapi apalah daya terbentur dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak sebanding dengan pendapatan.
Mengapa gaji guru honorer kecil? Tentu ini menjadi pertanyaan yang menggelitik. Guru yang pada dasarnya memiliki tugas mulia dalam mendidik calon-calon generasi penerus dan SDM unggul, penopang keberlangsungan umat pada masa depan, justru masih menyimpan permasalahan pelik yang tidak kunjung berakhir.
Kala Muhadjir Effendy menjadi Mendikbud, ia menjelaskan rendahnya gaji guru honorer lantaran hanya dibiayai pihak sekolah yang mempekerjakan. Ini karena guru honorer tidak terikat instansi manapun, melainkan diangkat kepala sekolah. Oleh sebab itu, guru honorer merupakan tanggung jawab pihak sekolah yang melakukan pengangkatan untuk membantu kegiatan belajar mengajar di sekolahnya (Detik, 3/5/2018).
Setelah berganti menteri 2020 lalu, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud 19/2020. Isinya adalah guru honorer bisa mendapatkan gaji dari dana BOS dengan ketentuan dan syarat yang harus terpenuhi.
Seiring berjalannya waktu, program Kemendikbud tersebut pun menuai berbagai reaksi, salah satunya pendapat bahwa dana BOS seharusnya digunakan untuk keperluan mendadak atau mendesak yang diperlukan sekolah. Walhasil, ketika harus membaginya dengan menggaji guru honorer, dana BOS tersebut tidak akan maksimal. (Sindo News, 8/2/2022).
Pada November 2020, pemerintah membuka kesempatan bagi para guru honorer untuk mendaftar dan mengikuti ujian seleksi menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021. Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar. Sayangnya, setelah Januari 2022 berakhir, PPPK Guru belum juga diangkat.
Hingga saat ini, baik panselnas maupun pemerintah daerah (pemda) belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kapan tepatnya PPPK Guru diangkat sebagai ASN. (Tirto, 7/2/2022).
Pemerintah juga telah sepakat menghapus tenaga honorer di lingkungan pemerintahan mulai Tahun 2023, sejalan dengan mandat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018.
Inilah realitas regulasi penggajian tenaga guru honorer dalam sistem kapitalisme sekuler. Sungguh regulasi yang tidak manusiawi. Padahal, guru honorer memiliki semangat kerja yang tidak jauh beda dengan guru ASN. Bahkan fakta di lapangan guru honorer mendapat tugas pekerjaan yang lebih berat daripada guru ASN antara lain bisa menjadi operator sekolah, pengelola laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta administrasi lain.
Tetap hidup dalam kapitalisme hanya akan membuat para guru menderita dan terhina. Padahal, guru adalah tulang punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib bangsa.
Generasi yang akan datang sangat ditentukan oleh peran guru dalam mendidik mereka. Seandainya pemerintah memperhatikan peran strategis ini, pemerintah tidak akan abai dan membuat regulasi yang serius untuk mensejahterakan para pencetak generasi ini.
Sudah semestinya pemerintah peduli dan bertanggung jawab terhadap nasib para guru honorer yang tidak mendapatkan hasil sepadan dengan jasa yang sudah tercurahkan. Ini semua membuktikan gagalnya sistem kapitalisme sekuler dalam memberikan perhatian dan jaminan kesejahteraan bagi para guru honorer.
Berbeda dengan sistem Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Negara menetapkan regulasi terkait kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, termasuk penggajian tenaga pengajarnya dengan regulasi yang manusiawi, bahkan memuaskan.
Kepala negara akan semaksimal mungkin memenuhi kepentingan rakyatnya, termasuk pada para pegawai yang telah berjasa bagi negara.
Berkenaan hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkaam menjelaskan bahwa seorang khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam, kita akan mendapati betapa besarnya perhatian khulafa terhadap pendidikan rakyatnya, demikian pula terhadap nasib para pendidiknya.
Khalifah memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan)—termasuk guru—berupa gaji dan fasilitas, baik perumahan, istri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan negara.
Guru dalam naungan Khilafah akan mendapatkan penghargaan yang begitu tinggi dari negara, termasuk gaji yang bisa melampaui kebutuhannya.
Sebagai gambaran, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadi'ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas). Bila saat ini harga per gram emas Rp 900.000, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 57.375.000.
Begitu pun masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya, yaitu Madrasah Yusufiah dan Madrasah Shalahiyah, gaji guru berkisar antara 11—40 dinar. Artinya, apabila di kurs dengan nilai saat ini, gaji guru adalah Rp42—153 juta.
Dalam sistem Islam para guru begitu terjamin kesejahteraannya tanpa ada pembedaan antara guru honorer dan non honorer.
Demikianlah kesejahteraan guru dalam naungan sistem Islam. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Hal ini menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara demi membangun peradaban agung dan mulia, tanpa harus bekerja sampingan dalam rangka mendapatkan tambahan pendapatan.
Inilah regulasi Islam yang sangat visioner. Hanya dengan sistem Islam, problematik pendidikan (termasuk kesejahteraan guru) dapat terselesaikan dan terlaksana dengan paripurna. Semoga sistem Islam kaffah segera tegak di muka bumi ini. Wallahu a'lam bish shawab.
Post a Comment