Anggota Komunitas Marjan
Menjelang akhir tahun 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 17 partai nasional dan 4 partai lokal Aceh untuk mengikuti Pemilu 2024. Walau masih satu tahun lagi, hawa panas pemilu sudah mulai terasa.
Bahkan, tahun 2023 dinilai sebagai tahun politik karena akan banyak diwarnai aktivitas politik berupa deklarasi pencalonan para politikus untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Agenda politik yang akan terjadi adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) Andi Widjajanto menyebutkan ada tiga tantangan terbesar dalam eskalasi politik Indonesia di tahun 2023—2024, antara lain, politik identitas, misinformasi, dan hate speech (ujaran kebencian).
“Tantangan terbesarnya secara eskalasi isu itu ada tiga, pertama politik identitas, yang kedua misinformasi, misinformasi yang terkait dengan hoaks, yang ketiga adalah tentang hate speech, ujaran-ujaran kebencian terutama yang terkait dengan politik identitas,” kata Gubernur Lemhannas RI saat memberikan Pernyataan Akhir Tahun 2022 di Lemhannas RI pada Kamis, (21/12/2022).
Politik Identitas
Politik identitas secara umum dikaitkan dengan aktivitas dan gerakan sosial-politik, baik yang dilakukan secara individu maupun kelompok untuk mendapat pengakuan yang lebih luas dari publik.
Pengertian mengenai politik identitas tidak lepas dari makna identitas itu sendiri. Dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam dengan penerbit Guepedia (2022) disebutkan identitas atau jati diri adalah pengakuan terhadap seorang individu atau suatu kelompok tertentu yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang ditandai dengan masuk atau terlibat dalam satu kelompok atau golongan tertentu.
Penggabungan ke dalam kelompok tersebut tidak terlepas dari adanya rasa persamaan yang didasari oleh sebuah identitas. Umumnya, identitas terdapat dalam berbagai bentuk dan jenis, seperti identitas gender, agama, suku, profesi, dan lain sebagainya.
Di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, para politisi tentu ingin mendapatkan citra sebagai orang yang saleh, bertakwa, dan peduli Islam. Oleh karena itu, kini mulai ramai di berbagai media, posting berita terkait aktivitas mereka itu. Ada yang mulai rajin mengunjungi pesantren sambil ikut pengajian dan menyalurkan infak, lengkap dengan aksesoris keislaman, seperti peci, sarung, sorban, dan kerudung.
Berbagai aksesoris keislaman tersebut merupakan alat pembangun citra dan identitas. Tentu tujuannya agar masyarakat tertarik untuk memilihnya atau minimal memuji dirinya. Bahkan, sebagian mereka menyewa tim buzzer untuk kepentingan pencitraannya. Padahal, aksesoris dan buzzer politik itu sangat berpotensi digunakan untuk menghipnotis hingga menipu masyarakat.
Merespon opini politik identitas yang tengah berkembang di negeri ini, Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi al-Maroky, M.Si. mengatakan politik identitas itu alamiah.
Menurutnya, di dalam berpolitik, preferensi atau cara pandang seseorang memang cenderung dilakukan melalui pendekatan identitas yang melekat pada masing-masing individu, baik preferensi agama, preferensi etnis maupun preferensi gender.
Apalagi secara makna, lanjutnya, politik identitas adalah sebuah paham atau aliran politik yang didasari pada persamaan-persamaan identitas tertentu.
Mempersoalkan politik identitas sungguh merupakan hal yang tidak realistis. Pada faktanya, Indonesia adalah negeri kaya. Bukan hanya kaya dengan kekayaan alamnya, tetapi kaya pula dengan ragam agama yang diakui negara, ragam suku, etnis, dan budaya.
Masing-masingnya mempunyai identitas yang khas dan identitas ini pula yang diperlukan dalam mengidentifikasi.
Namun, seiring perkembangan politik di tanah air dan makin masifnya arus moderasi beragama, pelekatan politik identitas dikerucutkan sekadar pada agama dan dinarasikan sebagai “ancaman” ketika itu dilekatkan pada Islam. Politik identitas Islam sebagai ancaman besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara terus diembuskan hingga memunculkan islamofobia di tengah umat.
Maraknya Islamophobia dan desakralisasi agama
Di negeri berpenduduk mayoritas muslim, Islam justru selalu menjadi kambing hitam dalam setiap persoalan bangsa. Islam dicap sebagai biang radikalisme dan terorisme.
Mulai saat itulah mereka makin menguatkan narasi bahaya politik identitas Islam.
Kini, jelang Pemilu 2024, ternyata hantu politik identitas Islam tetap mereka mainkan. Mereka yang menyoal politik identitas karena pertama, tidak memiliki ideologi yang kuat. Ini yang terjadi pada partai-partai nasionalis.
Hari ini, partai nasionalis tengah babak belur. Integritas mereka tengah dipertanyakan oleh masyarakat. Di mana nasionalisme yang mereka gembar-gemborkan saat sumber daya alam negeri dijarah oligarki, asing, dan aseng? Sama sekali tidak terdengar suara dan sikap dari parpol nasionalis. Sebaliknya, wakil-wakil mereka di parlemen maupun di jajaran eksekutif justru memuluskan penggarongan SDA yang hakikatnya milik rakyat.
Rezim dan kroninya, dibantu media mainstream, menebarkan opini untuk memengaruhi image publik bahwa identitas Islam bila terus menjadi rujukan utama umat, bakal membahayakan kerukunan masyarakat yang plural. Jika ngotot bertahan berpegang pada tatanan Islam, publik ditakuti-takuti akan peningkatan intoleransi, rasionalitas akan hilang, serta menjerumuskan bangsa dalam jurang permusuhan. Rezim sengaja menghidupkan hantu politik identitas agar cara berislam menjadi makin cair. Apalagi menjelang Pemilu 2024, yang membuat kontestasi itu membutuhkan suara umat Islam.
Strategi menjauhkan umat dari Islam Kaffah
Barat sebagai negara adidaya tentu tidak ingin posisinya tergeser dalam menghegemoni dunia. Barat sadar betul bahwa dunia Islam memiliki segalanya untuk menandingi Barat. Dari segi populasi, jumlah muslim sedunia sangat besar, lebih dari 1,6 miliar. Mereka tinggal di wilayah yang secara geopolitik sangat strategis, sangat kaya secara ekonomi. Yang paling utama, dunia Islam memiliki sistem nilai—Islam itu sendiri—yang sangat mungkin membuat umat Islam sedunia bangkit kembali. Selain itu, secara historis, dunia Islam memang pernah menjadi adidaya berabad-abad lamanya.
Biidznillah kekuatan adidaya Islam akan bangkit kembali. Mereka sadar bahwa tidak mungkin untuk menghentikan kebangkitan ini. Namun, mereka berpikir masih ada kemungkinan untuk menunda kebangkitannya. Bersama rezim pembebek di negeri-negeri muslim, mereka memengaruhi citra publik akan bahaya identitas Islam, yakni apabila identitas Islam dijadikan rujukan umat, bakal membahayakan kerukunan masyarakat yang plural; akan terjadi keguncangan di tengah masyarakat dengan meningkatnya intoleransi; rasionalitas akan hilang; serta menjerumuskan bangsa dalam jurang permusuhan.
Kekhawatiran dengan jebakan dan tuduhan menggunakan politik identitas pula yang membuat partai-partai Islam menanggalkan atau “mencairkan” ideologi kepartaian demi berkoalisi dengan partai nasionalis. Kalaupun ada yang berkoalisi dengan sesama partai Islam, mereka tidak lagi nyaring menyuarakan ajaran Islam. Mereka takut menunjukkan identitas keislamannya.
Berpolitik dalam Islam
Satu-satunya jalan mengembalikan posisi umat adalah melalui jalan politik. Ini karena pada hakikatnya, politik adalah pengaturan urusan umat. Barat pun tahu betul akan hal tersebut sehingga mereka berupaya keras menghalangi urusan umat (politik) diatur dengan Islam. Barat mencuci otak umat agar melihat politik sebagai dajal dan perkara najis, sedangkan agama—menurut mereka—adalah perkara suci yang tidak sepantasnya “dikotori” politik.
Padahal, politik Islam jelas berbeda jauh dengan politik Barat. Politik Barat hanyalah soal berebut kekuasaan dan demi kekuasaan itu mereka sengaja meniupkan islamofobia yang berujung konflik dan kekerasan.
Sementara itu, politik Islam bersumberkan akidah Islam. Bertujuan membimbing manusia melakukan penghambaan kepada Allah Taala, memakmurkan dan menyelamatkan dunia dan seisinya dari segala kerusakan dengan menegakkan syariat Allah secara kaffah.
Inilah yang semestinya disadari dan diperjuangkan umat Islam, yaitu dengan menegakkan kembali Khilafah Islamiah yang akan menjalankan politik Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa hanya dengan sistem Islam, manusia dimanusiakan dan bumi terjaga selama ratusan tahun lamanya.
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.”
Post a Comment