Pajak Makin Membebani, Kado Pahit Awal Tahun


Oleh Endah Nursari 
(Ummahat peduli umat)

Kemalangan rakyat kian bertambah di awal tahun ini dengan hadirnya sejumlah kebijakan yang makin menzalimi mereka. Awal tahun ini pemerintah secara resmi mengatur tarif baru pajak penghasilan(PPh) orang pribadi/karyawan yang berlaku mulai 1 Januari 2023. Aturan ini tertuang dalam PP 55/2022 tentang penyesuaian pengaturan di bidang PPh.

Adapun objek pajaknya adalah penghasilan dan tarifnya bersifat progresif. Artinya semakin besar penghasilan wajib pajak, pajak yg dikenakan bakal lebih besar. Tarif pajak yg baru ini memuat 5 layer (lapis,Ed), yaitu penghasilan hingga 60jt terkena PPh 5%, Rp 60jt-250jt (15%), Rp 250jt-500jt (25%),500jt-5M (30%), dan di atas 5M (35%).

Yang menjadi keresahan rakyat saat ini adalah karyawan bergaji Rp 5jt ternyata juga kena PPh. Jika dihitung dengan ketentuan beleid terbaru, karyawan bergaji Rp 5jt/bulan/ atau 60jt/tahun setiap tahun nya terkena PPh 300rb/tahun atau 25rb/bulan.

Banyak warga yang merespon PP ini dengan menyatakan bahwa selalu saja rakyat susah yang menjadi sasaran, sedangkan pejabat yang kaya malah dibiarkan. Pengusaha kaya beromzet triliunan rupiah juga malah dapat keringanan pajak. Hal tersebut makin memperlihatkan bahwa pemerintah kian tidak memihak rakyat kecil.

Untuk saat ini gaji 5jt/bulan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak. Harga pangan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS serta sejumlah fasilitas umum (kesehatan/pun pendidikan) semua terhitung mahal dan tidak sebanding dengan gaji mereka.

Pajak, untuk dan oleh rakyat?

Namun demikian pemerintah membantah dengan mengatakan bahwa regulasi ini sama sekali tidak menambah beban rakyat. Sebaliknya, pemerintah mengklaim bahwa rumusan baru ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Ini karena yg memiliki pendapatan besar membayar pajak lebih tinggi.

Pemerintah mempertegas bahwa tujuan PPh ini untuk meningkatkan pendapatan negara. Walhasil, aturan PPh pada karyawan bergaji 5jt ini diperuntukan untuk rakyat juga. Bahkan, pemerintah terus menghimbau agar rakyat taat bayar pajak agar negara bisa menjalankan roda pemerintahannya.

Sri Mulyani mengatakan bahwa pada dasarnya pajak adalah oleh rakyat dan untuk rakyat. Pajak yang terkumpul untuk membiayai sektor publik, semisal listrik, BBM pertalite, dan LPG 3kg yang sama disubsidi menggunakan pajak. Fasilitas sekolah, rumah sakit, dan puskesmas pun memakai uang pajak. Jalan raya, kereta api, internet, kapal selam, gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semua dari pajak.

Pemerintah pun keukeuh mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Padahal, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak lantaran semua yang diklaim dibangun oleh pajak/disubsidi pajak faktanya tetap mahal. Sebut saja tarif listrik dan air, atau pun pertalite yang katanya telah disubsidi, harganya masih saja selangit.

Begitupun pembangunan kereta api, jalan tol, rumah sakit, atau pun sekolah semuanya berbiaya mahal. Bahkan rakyat harus membayar BPJS untuk bisa mengakses pelayanan kesehatan. Terlebih jalan tol, sudah tarifnya mahal, keberadaannya pun jarang dinikmati warga biasa. Sedikit sekali rakyat yang menggunakan fasilitas tersebut.

Pajak sebagai Sumber Pendapatan Utama

Dari persoalan di atas ada dua poin yg bisa kita bahas. Pertama, pajak dalam sistem demokrasi adalah sumber utama pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambahnya. Termasuk pungutan pada rakyat yang jelas sangat membebani kehidupan mereka.

Atas nama liberalisasi kepemilikan, hasil kekayaan alam dimiliki swasta. Penguasaan BBM dan batubara, mayoritas kepemilikannya dikuasai oleh swasta baik asing maupun lokal. Padahal, tingginya BBM dan batubara akan berpengaruh pada ongkos produksi tarif dasar listrik sebab pembangkit listrik PLN banyak menggunakan keduanya. 

Andai saja keduanya dikelola negara, tarif listrik bisa murah bahkan gratis. Bukan hanya berimbas pada tarif listrik, tetapi juga pada tarif dan harga komoditas lainnya. Transportasi pengangkut barang jelas menggunakan BBM, wajar jika harga komoditas termasuk sembako semakin tinggi. Kehidupan rakyat pun makin terhimpit. Kemiskinan makin menjepit.

Jika angka kemiskinan tinggi, maka kemampuan rakyat untuk membayar pajak juga semakin melemah. Inilah jalan masuk utang luar negeri. Jika sudah berutang, bukan hanya berbicara dosa riba dan beban negara makin berat karena harus bayar pokoknya, melainkan juga kebijakan dalam negeri akan senantiasa berputar pada kepentingan negara donor.

Kedua, selain sebagai sumber utama APBN, pajak pun ditengarai sebagai alat pemerintah "memalak" rakyat. Ini terlihat pada pengaturan pajak yang tajam pada rakyat, tetapi tumpul kepada pada para pengusaha. Tidak ada ampun atau kompensasi pada rakyat yang tidak membayar pajak. Lain hal dengan para pengusaha yang beromzet triliunan rupiah. Mereka justru bisa dengan mudah mendapatkan ampunan pajak meskipun mangkir dari kewajibannya. 

Inilah watak pejabat dalam sistem demokrasi. Menghamba kepada korporasi yang telah menyuntikkan dananya saat sukses. Menjadikan jabatannya sebagai ladang korupsi. Tak heran jika kasus semisal Gayus Tambunan si mafia pajak menjadi ikon betapa lemahnya negara menangani gurita mafia pajak di tanah air. 

Oleh karena itu, pantaslah jika menyebut pajak sebagai alat palak penguasa terhadap rakyat. Ketika keuangan defisit, negara pasti mengotak ngatik regulasi pajak agar pendapatan dari pajak makin tinggi. Inilah tata kelola pajak dalam demokrasi. Walaupun rakyatnya sengsara, tetap saja rakyat yang disuruh bayar pajak.

Pajak dalam Islam
Berbeda dengan tata kelola keuangan dalam sistem Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama kas negara (Baitul mal). Pajak dalam Islam disebut dharibah. Praktiknya sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme. Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara dan tidak pula dibebankan kepada seluruh warga melainkan kaum muslim yang kaya yang dipungut dharibah.

Skema ini bersifat temporer. Dilakukan jika kas negara kosong dan saat butuh dana yg mendesak serta berakhir setelah keperluan tersebut selesai atau kas negara sudah terisi kembali. Meski demikian, sangatlah jarang mendapati Baitul mal yang kosong. Ini karena Baitul mal memiliki sumber pemasukan melimpah dari fa'i dan kharaz, juga kepemilikan umum dan sedekah. Kepemilikan umum haram dimiliki swasta. Dari sini pemasukan mengalir deras untuk Baitul mal.

Khatimah

Negara yang memalak rakyatnya hanya ditemukan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Kalau dalam Islam pajak atau dharibah ini sangat jarang ada sebab kas negara selalu penuh terisi dari sumber-sumber lainnya. Oleh karenanya, wahai kaum muslim, jika syariat Islam diterapkan sempurna dalam bingkai Khilafah, tentu rakyat tidak akan terbebani lagi oleh pajak. Kehidupan rakyat akan sejahtera karena penguasanya menjadikan rakyat sebagai "tuan" yang harus terpenuhi segala kebutuhannya. Wallahu'alam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post