Pajak Jadi Alat Negara Malak Rakyat


By : Irma setyawati, S.Pd 
(Pemerhati Masalah sosial)

Dilansir dari CNBC Indonesia - Pemerintah secara resmi akan memberlakukan aturan baru pajak penghasilan karyawan atau PPh Pasal 21. Seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).Ketentuan teknis mengenai pajak penghasilan diatur secara rinci lewat Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh. 

Lewat aturan baru tersebut, kini pekerja dengan penghasilan Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun termasuk ke dalam kategori penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Sebelum adanya UU HPP, masyarakat kategori ini dikenakan pajak 5%.  Adapun saat ini, mereka yang memiliki penghasilan Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta dalam setahun dikenakan pemotongan pajak 5%.

Inilah realitas negara yang mendasari sistem ekonominya dengan sistem kapitalis. Selalu menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara.  Sistem ekonomi kapitalisme berprinsip bahwa individu bebas memanfaatkan sumber daya alam yang ada . Sehingga yang terjadi adalah meskipun Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat luar biasa, hal itu tidak bisa menjadi sumber utama pemasukan negara, karena sumber daya alam yang ada telah di kuasai oleh para kapitalis (pemilik modal). Walhasil, ketika negara di hantam dengan masalah ekonomi, pajaklah sebagai andalan untuk memulihkannya. Dan rakyatlah yang selalu menjadi korbannya. Sedangkan para kapitalis yang telah menguasai sumberdaya alam yang ada berada pada posisi aman. 

Berbeda halnya dengan istem ekonomi islam yang  berprinsip bahwa ada kewajiban individu, masyarakat, dan negara yang di atur secara proporsional, dalam artian bahwa masing-masing memiliki porsi untuk mengatur kewajiban dan sumber daya apa saja yang boleh dikelola dan dikembangkan oleh masing-masing bagian. Sehingga tidak terjadi kediktatoran oleh negara ataupun kebebasan sebebas-bebasnya oleh individu.
Di dalam sistem Islam pendapatan negara di bagi menjadi dua, yaitu pendapatan yang tidak tetap dan pendapatan tetap.

Sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Sedangkan pendapatan tidak tetap bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim. 

Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengatasinya. 

Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut.

Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya. 

Bagaimana cara menghitungnya? Pertama, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya. Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya. Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’[un] fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) [HR Muslim dari Jabir]

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain. 

Selain itu, khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Bandingkan dengan negara kapitalisme seperti saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir.

Post a Comment

Previous Post Next Post