Pajak Buka Tarif Baru, Rakyat Kena Palak Melulu


Oleh: Erlike Handayani
Pemerhati Remaja

Pemberlakuan tarif baru pajak di awal tahun semakin mengenaskan. Pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan dilakukan dengan alasan menekan defisit anggaran dan menaikkan tax ratio semakin membuat masyarakat mengelus dada. 

Alih-alih untuk menaikkan pendapatan negara. Pemerintah mengklaim dengan menciptakan bracket baru, memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar, membayar lebih tinggi. namun tentunya Penetapan Pajak Penghasilan di atas 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.  

Hal ini tertuang dalam PP no. 55 tahun 2022. Presiden Jokowi Dodo telah mengesahkan pada tanggal 20 Desember 2022. Dalam peraturan tersebut di jelaskan bahwa “setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak” dikutip dari (Kontan.com.Id Jakarta, Minggu 1/1/2023).

Inilah yang terjadi jika negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Tarif baru pajak terasa memalak rakyat secara brutal. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara  berupa pungutan pajak pada rakyat.  Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada.

Islam menjadi sumber ketenangan bagi rakyat, baik masalah ibadah, sosial, bahkan ekonomi. Sistem kenegaraan yang berlandaskan kepada Islam memiliki sebuah tujuan untuk menyejahterakan rakyat dengan adil. 

Kontribusi pajak dalam Islam bukan merupakan sumber pendapatan yang paling utama seperti halnya dalam sistem kapitalis. Meski beban pajak menjadi kewajiban kaum muslim, tetapi tidak semua kaum muslim menjadi wajib pajak. Pajak hanya diambil dari kaum yang mampu saja.

Pengambilan pajaknya setelah dikurangi dari kebutuhan pokok dan sekundernya. Dan apabila berlebih maka baru diambil pajaknya, jika tidak ada kelebihan maka dia tidak menjadi wajib pajak.

Pajak diambil hanya semata untuk kebutuhan yang ditetapkan Syara’. Dan lagi negara juga tidak menetapkan biaya  apa pun dalam pelayanan publik, baik biaya kesehatan, pendidikan, keamanan, semua dapat dinikmati secara gratis dan terbaik. Begitu pun biaya administrasi, karena hal tersebut merupakan kewajiban negara kepada rakyatnya. 

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, serta mewujudkan kesejahteraan rakyat, sistem ekonomi, dan keuangan Islam. 
Hal demikian menjelaskan bahwa pajak dalam Islam bukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bukan menghalangi orang kaya, atau pun menambah pendapatan negara, akan tetapi jika pungutan dilakukan tidak sesuai dengan pendapatan rakyat. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang berbunyi:

“Tidak akan masuk surga orang yang memungut mukus” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Khuzaimah).

Mukus diartikan sebagai pungutan menzalimi.

Inilah paradigma yang berbeda pada sistem Islam. Pajak akan dipungut in sidental sesuai kondisi keuangan negara dan dari rakyat yang mampu. 

Sebagaimana yang di jelaskan dalam Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 97: 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Artinya: 

“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Wallahu a’lam Bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post