Berganti tahun dari tahun 2022 menuju 2023 masyarakat mengharapkan banyaknya perubahan yang lebih baik terutama dari segi ekonomi. Harapan itu hanyalah khayalan belaka. Awal tahun disambut dengan kekecewaan. Adanya kekecewaan itu dengan hadirnya sejumlah kebijakan yang makin menzalimi rakyat
Miris. Satu kata yang menggambarkan kondisi masyarakat hari ini. Ditengah kesulitan mencari pekerjaan, orang yang mendapatkan pekerjaanpun tak luput dari subjek pajak. Wafer dengan lapisan yang banyak terasa tambah nikmat. Bagaimana jika lapisan penghasilan kena pajak (PKP) ya
ng ditambah?
Sebagaimana yang diwartakan www.cnbcindonesia.com, (03/01/2023) bahwa pemerintah melalui UU nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, menambah lapisan penghasilan kena pajak ( PKP) per tahun dari sebelumnya empat lapisan menjadi lima lapisan.
Perubahan tarif pajak ini sejalan dengan dirilisnya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). "Penerbitan PP bertujuan untuk memberikan kepastian hukum penyederhanaan administrasi perpajakan, kemudahan dan keadilan bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam jangka waktu tertentu, serta untuk melaksanakan perjanjian internasional bidang perpajakan dengan tetap memperhatikan tata kelola pemerintahan yang baik, perlu diberikan kebijakan fiskal melalui penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan," ucap beild yang dikutip Rabu (28/12).
Lapisan PPh bertambah
Berikut ini ketentuan tarif PPh karyawan / pasal 21 terbaru menurut undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan:
- Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 60 juta dikenakan tarif PPH sebesar 5% per tahun.
- Penghasilan kena pajak lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan pajak 15% per tahun.
- Penghasilan kena pajak lebih dari Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan pajak 25% per tahun.
- Penghasilan kena pajak lebih dari Rp. 500 juta hingga Rp 5 miliar dikenakan pajak 30% per tahun.
- Penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar dikenakan PPh sebesar 35% per tahun.
Pajak penghasilan ( PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan seseorang dan atau badan usaha dalam satu tahun pajak. Berdasarkan ketentuan di atas maka seorang karyawan dengan penghasilan 5 juta perbulan akan dikenakan pajak sebesar 5%.
Penambahan lapisan tarif ini diklaim memberikan keberpihakan kepada masyarakat kelas menengah bawah. Dan mewujudkan keadilan dengan menetapkan pajak yang lebih tinggi bagi masyarakat yang berpenghasilan besar. Kenyataannya penetapan pajak penghasilan diatas lima juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.
Hingga hari negara masih mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama APBN. Negara akan terus mencari legitimasi dengan mengeluarkan undang-undang untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Semakin lama jenis pajak semakin banyak. Lapisan atau tingkatan objek pajak juga bertambah. Lagi-lagi rakyat dibebani ditengah himpitan hidup yang ada.
Dalam kapitalisme mengartikan pajak sebagai pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan lain-lain. Pajak merupakan pungutan kepada individu rakyat, harta kepemilikan, atau aktivitas untuk mendukung pembiayaan pemerintah. Pajak juga berarti pembayaran yang dibebankan kepada individu (rakyat) atau kelompok (korporat) untuk mendukung pembiayaan bagi pemerintah. Jadi, pajak adalah harta yang dipungut dari rakyat untuk keperluan pengaturan negara.
Yang menjadi keresahan rakyat saat ini adalah karyawan bergaji Rp5 juta ternyata juga terkena PPh. Jika dihitung dengan ketentuan beleid terbaru, karyawan bergaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, setiap tahunnya terkena PPh Rp300 ribu per tahun atau Rp25 ribu per bulan.
Banyak warga yang merespons PP ini dengan mengatakan bahwa selalu saja rakyat susah yang menjadi sasaran, sedangkan pejabat yang kaya malah dibiarkan. Pengusaha kaya beromzet triliunan rupiah juga malah mendapat keringanan pajak. Hal tersebut makin memperlihatkan bahwa pemerintah hari ini kian tidak memihak rakyat kecil. Untuk saat ini, gaji Rp5 juta per bulan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak. Harga pangan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS, serta sejumlah fasilitas umum (kesehatan ataupun pendidikan), semua terhitung mahal dan tidak sebanding dengan gaji mereka.
Selama ini, pajak memang dianggap berperan penting dalam meningkatkan berbagai aspek agar Indonesia makin bagus. Sehingga Rezim membuat statman bahwa yang tidak bayar pajak adalah mereka yang tidak cinta Indonesia dan tidak mau Indonesia maju, dan bahkan meraka dianggap menetang aturan negara. Dengan dalih mengatakan bahwa pada dasarnya pajak adalah oleh dan untuk rakyat. Pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai sektor publik, semisal listrik, BBM Pertalite, dan LPG 3 kg, yang semua itu disubsidi menggunakan pajak. Fasilitas sekolah, rumah sakit, dan puskesmas pun memakai uang pajak. Jalan raya, kereta api, internet, kapal selam, gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semua dari pajak.
Pemerintah keukeuh mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Padahal, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak lantaran semua yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak, faktanya tetap mahal. Sebut saja tarif listrik dan air, ataupun Pertalite yang katanya telah disubsidi, harganya masih saja selangit. Dibuktikan dengan biaya kereta api, jalan tol, rumah sakit, ataupun sekolah, semuanya berbiaya mahal. Bahkan, rakyat harus membayar iuran BPJS untuk bisa mengakses layanan kesehatan. Terlebih jalan tol, sudahlah tarifnya mahal, keberadaannya pun jarang dinikmati warga biasa. Sedikit sekali rakyat yang menggunakan fasilitas tersebut.
Pajak dalam Pandangan Islam
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam penerimaan Baitul mal (sebutan APBN dalam Khilafah). Perlu diketahui, dharibah atau pajak dalam Islam jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme.
Pajak tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga. Hanya kaum muslim yang kaya saja yang dipungut dharibah. Skema pemungutannya pun bersifat temporal, hanya jika kas negara kosong dan saat itu butuh dana sesegera mungkin. Misalnya, ketika negara butuh dana untuk menanggulangi bencana, tetapi kas negara kosong, kewajiban pun jatuh pada kaum muslim yang kaya. Dari sinilah dipungut dharibah atas mereka. Akan tetapi, setelah kas negara terisi kembali dan keperluan selesai, penarikan dharibah harus dihentikan.
Meski demikian, kondisi Baitul mal yang kosong sangat jarang terjadi. Ini karena ada regulasi kepemilikan yang mengharamkan swasta untuk memiliki SDA yang menjadikan sumber kas negara melimpah. Begitu pun pengeluaran yang mengenal skala prioritas, akan menahan pembangunan yang dianggap tidak urgen dibutuhkan umat.
Sumber-sumber pendapatan Baitul Mal dalam Khilafah Islam yang telah ditetapkan syariat sebenarnya cukup untuk membiayai pengaturan dan pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat. Karena itu, sebetulnya tidak perlu lagi ada kewajiban pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Syariat Islam telah menetapkan pembiayaan atas berbagai keperluan dan bidang, yang dibebankan kepada Baitul Mal, tentu ketika terdapat harta di Baitul Mal. Namun, ketika di Baitul Mal tidak terdapat harta atau kurang, sementara sumbangan sukarela dari kaum Muslim atas inisiatif mereka juga belum mencukupi, maka syariat menetapkan pembiayaannya menjadi kewajiban seluruh kaum Muslim.
Hal itu karena Allah telah mewajibkan yang demikian. Sebab, tidak adanya pembiayaan atas berbagai keperluan dan bidang itu akan menyebabkan bahaya bagi kaum Muslim. Allah telah mewajibkan kepada negara dan umat untuk menghilangkan bahaya itu dari kaum Muslim.
Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri. (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Negara yang memalak rakyatnya hanya akan ditemukan dalam sistem demokrasi kapitalisme. Kalau dalam Islam, pajak atau dharibah ini sangat jarang ada sebab kas negara selalu penuh terisi dari sumber-sumber lainnya.
Oleh karenanya, wahai kaum muslim, jika syariat Islam diterapkan sempurna secara kaffah , rakyat tidak akan terbebani lagi oleh pajak. Kehidupan rakyat akan sejahtera karena penguasanya menjadikan rakyat sebagai “tuan” yang harus terpenuhi seluruh kebutuhannya.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Post a Comment