Korupsi Semangkin Menjamur Di Sistem Kapitalis


Oleh :Elya Saragih
Aktivis Dakwah

Bagaikan jamur di musim hujan, bukannya hilang justru makin menggurita. Itulah gambaran kasus korupsi di negeri ini. Bahkan bukan hanya menggerogoti tubuh lembaga pemerintahan namun kini tak sedikit pula yang mulai terkuak di lembaga peradilan.

Banyak kejutan akhir tahun dengan berbagai bentuknya menghampiri negeri ini. Salah satunya kasus korupsi dana hibah Provinsi Jawa Timur yang menyeret Sahat Tua P. Simandjuntak selaku Wakil Ketua DPRD Jatim. Kasus ini melengkapi daftar panjang korupsi selama 2022 (Kompas.com; 29/12/2022).

Kasus terhangat terjadi di lembaga Mahkamah Agung (MA) belum lama ini. Seorang hakim yustisial berinisial EW telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan atas kasus suap pengurusan perkara di MA pada Senin (19/12) yang lalu. EW ditetapkan sebagai tersangka ke-14 pada kasus tersebut. Sebelumnya KPK juga telah menetapkan Hakim Agung GS, Hakim Yustisial sekaligus asisten GS yakni PN, Hakim Agung nonaktif  SD dan Hakim Yustisial ETP. 

Seorang hakim yustisial - hakim yang diperbantukan untuk hakim agung - berinisial EW, ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kasus ini KPK menduga terdapat uang suap senilai Rp2 miliar dalam bentuk mata uang asing untuk mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. Sebelumnya dua hakim agung berinisial SD dan GS, serta dua hakim yustisial lainnya ETP dan PN sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Kasus korupsi di negri ini kian marak tak terkecuali menjerat pihak yang seharusnya menetapkan keadilan pun ikut terseret dalam lubang kenistaan. Hal ini menunjukkan berapa bobroknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Alih-alih untuk memberantas korupsi agar bebas dari negri ini, beberapa oknum penguasa seolah memberi ruang untuk kejahatan korupsi ini agar terus berkembang.

Maraknya kasus korupsi di lembaga peradilan ini menurut mantan Hakim Agung, Gayus Lumbuun disebabkan oleh proses persidangan yang tertutup sehingga menjadi celah bagi hakim untuk "bermain" dalam memutuskan perkara. Sehingga beliau berharap agar persidangan kasasi di Mahkamah Agung bisa berjalan "lebih transparan". 

Namun demikian, di tengah maraknya kasus korupsi, pernyataan kontraproduktif justru keluar dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Ia memandang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Karena menurutnya OTT dapat merusak citra bangsa Indonesia. 

Bahkan ia meminta agar KPK memperbaiki kinerjanya dan tidak ingin KPK lebih sering melakukan OTT dan berupaya toleran. Jadi KPK jangan pula sedikit-sedikit tangkap tangkap, ya lihat-lihatlah. Jadi kalau kita mau bekerja dengan hati, ya kalau hidup-hidup sedikit bolehlah, kita kalau mau bersih-bersih amat di surga lah kau,” kata Luhut.

Pernyataan tersebut ternyata didukung Menkopolhukam Mahfud MD. Eks ketua Mahkamah Konstitusi itu juga menilai digitalisasi lebih baik daripada pelaksanaan OTT yang kerap menghebohkan publik. Melihat kondisi seperti ini maka pantas saja kalau kasus korupsi tak kunjung henti. Bagaimana akan melahirkan hukum yang menjerakan para koruptor bila ternyata pandangan terhadap kejahatan yang satu ini masih berbeda antara satu pejabat dengan pejabat lainnya.

Ini karena negeri ini menerapkan sistem kapitalisme-sekulerisme dalam mengatur kehidupan termasuk dalam menetapkan aturan dalam pemberantasan korupsi. Karena paham sekulerisme inilah, nilai-nilai agama dibuang jauh-jauh dan tak dijadikan acuan dalam menetapkan sebuah aturan. Karena peran agama dinihilkan, maka digunakanlah akal sebagai standar dalam menetapkan sebuah aturan.

Karena akal manusia bersifat lemah dan memiliki banyak keterbatasan, maka tidak heran banyak lahir pandangan dan aturan-aturan yang sarat akan kepentingan. Disinilah celah korupsi mulai terjadi. Ditambah dengan kapitalisme yang mendewakan materi dan menjadikan standar kebahagiaan hanya sebatas pada terpenuhinya materi maka tak sedikit yang menjadi gelap mata dan akhirnya melakukan korupsi. Alhasil mimpi negeri bebas korupsi nampaknya akan tetap menjadi sebuah ilusi.

Membasmi Jamur Korupsi

Kalau tak mau disebut kanker politik, korupsi bisa menjamur ke semua lini kekuasaan. Dari level bawah hingga atasan. Dari sendirian hingga bersamaan. Trias politica pun tak lepas dari belenggu tindak korupsi. Menggunakan sistem yang sama untuk memberantas korupsi, sama saja bohong. Ibaratkan sapunya kotor untuk membersihkan sampah. Hasilnya sama dan tak ada gunanya.

Janganlah semua menutup mata. Pura-pura Islam tak mampu mengatasi korupsi hingga ke akarnya. Justru Islam memiliki seperangkat untuk mencegah dan membasmi jamur korupsi. Terkait pencegahan maka Islam memiliki beberapa mekanisme:

Pertama, pejabat yang dipilih tak hanya amanah tapi juga kafaah. Amanah mengemban tugas rakyat. Mampu menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan Islam. Dalam diri pejabat terinstal aqidah yang kokoh. Aqidah yang taat dan patuh pada Allah dan Rasul-Nya. Aqidah yang tak hanya takut pada zona integrasi bebas korupsi, tapi takut di mana-mana bahwa Allah Maha Melihat.

Kedua, tugas pejabat dan penguasa memang berat. Maka sistem penggajian harus sepadan dengan pekerjaannya. Tidak boleh menerima hadiah, suap, atau bentuk apapapun dari rakyat selain gaji dari negara. Hal ini untuk menanggulangi sikap culas. Padahal jelas tugasnya itu melayani semua rakyat tanpa membandingkan kelas.

Ketiga, kontrol yang ketat dari rakyat ketika ada penyelewengan. Kritik, masukan, dan ide dari rakyat menjadi penyelamat. Tak boleh kriminalisasi. Harusnya pejabat berterima kasih. Amar ma’ruf nahi munkar terus tumbuh dan mengakar. Alhasil ulama dan umara’ menjadi mitra utama yang menjadi panutan rakyatnya.

Adapun pembasmian harus ditegakkan hukum yang tanpa pandang bulu. Jika hukum manusia biasanya berkompromi dan mudah dibeli. Keadilan sulit ditegakkan. Sementara hukum Allah dalam syariah Islam mampu memberikan kemaslahatan dan keberkahan.

Sanksi tegas dalam Islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).

Siapapun dengan hati ikhlas dan akal yang waras merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptor itu malah bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Belum lagi, ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post