Kekerasan Dalam Pacaran, Fenomena Gunung Es Yang Tidak Tersolusikan


Oleh Dewi Soviariani
Ibu dan pemerhati umat

Kekerasan dalam pacaran mencuat, dengan angka kasus yang terjadi memunculkan kekhawatiran akan nasib generasi hari ini yang semakin rusak. Belum ada ikatan pernikahan, gaya pacaran anak remaja masa kini yang terlalu bebas, hingga lahirlah berbagai kriminalitas yang menyertainya.  Banyak korban pacaran yang mengalami tindakan kekerasan, di Indonesia sendiri angka kekerasan dalam pacaran tidak selisih jauh dari angka KDRT. Dalam 5 tahun terakhir (2016-2020), kasus kekerasan dalam pacaran selalu menempati posisi 3 besar kasus kekerasan di ranah privat terbanyak selain kekerasan terhadap istri dan kekerasan terhadap anak perempuan. Data dari Komnas Perempuan mencatat  sepanjang 2021 terdapat 1.685 kasus KDP (kekerasan dalam pacaran).

Kekerasan dalam pacaran adalah perilaku kasar pasangan dalam bentuk fisik, emosional, psikologis, dan seksual. Penelitian Davis (2008) mendefinisikan kekerasan fisik merupakan perilaku kekerasan yang bertujuan untuk mengendalikan atau menyakiti pasangan, termasuk ancaman dan tindakan intimidasi. Kekerasan fisik dapat berupa memukul, menampar, menendang, menjambak, dan lain-lain. Di Kalimantan timur, data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) melansir data kasus kekerasan per 16 Mei 2021. Dari tersebut menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak masih mendominasi. Dari data tersebut, jumlah kasus kekerasan di Provinsi Kaltim berjumlah 129 kasus. Perinciannya, 23 korban berjenis kelamin laki-laki dan 114 korban berjenis kelamin perempuan. Kota Samarinda menempati peringkat teratas dengan jumlah kekerasan mencapai 67 kasus. Untuk kekerasan dalam pacaran sendiri terjadi 13 kasus.

Wakil Ketua I DPRD Berau Syarifatul Syadiah, turut berpendapat mengenai fenomena banyaknya korban kekerasan hingga pelecehan seksual, yang enggan melapor ke aparat kepolisian. “Kekerasan dalam pacaran seperti fenomena gunung es. Korban malu untuk bercerita, akhirnya hanya bisa memendam sendiri dan bisa berpengaruh pada psikologis korban juga,” terangnya. “Makanya peran orangtua sangat dibutuhkan, bagaimana mengawasi perkembangan anak. Apalagi saat ini, budaya barat sudah terlalu jauh masuk Indonesia, termasuk Berau. Batasan-batasan pacaran sudah jarang terlihat,” sambungnya. 

Menilik fenomena tersebut yang semakin menjulang bak gunung es, tentunya sangat amat membuat resah akan nasib generasi. Budaya pacaran dikalangan remaja semakin bebas jauh dari aturan. Pacaran dianggap biasa oleh masyarakat negeri mayoritas muslim ini, yang sesungguhnya bertentangan dengan syariat Islam. Kehidupan sekulerisme dengan budaya liberal masuk, dan dijadikan prinsip hidup oleh masyarakat. Liberalisasi budaya menimbulkan blunder permasalahan tak berkesudahan. Keluarga muslim bangga jika anak nya sudah pacaran, bahkan yang belum punya pacar pun akan didorong untuk segera mencari pasangan. Batasan pergaulan dalam budaya sekuler tiada, Kekerasan dalam pacaran bahkan hamil adalah akibat liberalisasi.

Maraknya kekerasan dalam pacaran juga nyatanya tak lepas dari dukungan dunia hiburan, para bintang selebritis memberikan pengaruh teladan buruk pada generasi remaja terkait gaya berpacaran mereka. Begitupula sosial media turut menunjang dengan hadirnya konten konten unfaedah berpacaran yang digandrungi remaja muslim. Pembullyan pun kerap terjadi bagi mereka yang menyandang status jomblo abadi. Walhasil, diamnya korban kekerasan pun meledak, mereka angkat bicara dengan jumlah yang tidak sedikit. Sistem kehidupan yang kapitalis menjadikan para orang tua sibuk berburu materi sehingga mengabaikan tanggung jawab dalam mengawasi dan menjaga putra putrinya yang beranjak remaja. 

Lemahnya negara dalam mengatur sistem pergaulan memperparah kondisi ini. Pemerintah hanya menawarkan upaya speak up dan undang undang yang berkedok melindungi tapi malah menjerumuskan, tak heran dari tahun ke tahun angka kekerasan dalam pacaran terus melonjak. Tiada solusi hakiki yang benar-benar dapat menghentikan kasus kasus tersebut, nasib para korban pun tanpa kejelasan, tak sedikit dari mereka mengalami gangguan psikis hingga nekat bunuh diri. Kekerasan dalam pacaran tetap tak tersolusikan. 

Sebagai negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, selayaknya untuk menyelesaikan problematika tersebut, bangsa ini kembali pada syariat Islam. Kondisi negeri yang sudah darurat zina harus segera dihentikan. Pacaran bukan ajaran Islam. Dalam sistem pergaulan Islam, hubungan antara lawan jenis diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Ada batasan dan wilayah tersendiri dalam membahas bab tersebut. Dalam kitab Nizham ijtima’i, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa perkawinan merupakan pengaturan hubungan antara unsur kelelakian (adz-dzakuurah/maskulinitas) dengan unsur keperempuanan (al-unuutsah/feminitas). Dengan kata lain, perkawinan merupakan pengaturan interaksi antara dua jenis kelamin dengan aturan khas.

Berbeda dengan sistem sekuler, Islam justru menganjurkan para pemuda yang telah mampu untuk menikah. Rasulullah saw. Bersabda, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaih).

Di dalam sistem Islam (Khilafah), kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah, kecuali ada keperluan syar’i yang membolehkan keduanya bertemu, seperti pendidikan, pengobatan, dan muamalah. Laki-laki dan perempuan juga diwajibkan menutup aurat dan menundukkan pandangan. Ikhtilat (campur baur) dan khalwat (berduaan) antara laki-laki dan perempuan dilarang. Dengan demikian, pintu-pintu terjadinya pacaran ditutup rapat-rapat.

Orang tua dan masyarakat dalam sistem Islam juga menjalankan fungsinya. Seorang anak gadis tidak akan dibiarkan pergi dengan teman laki-lakinya. Laki-laki berteman dengan laki-laki, perempuan berteman dengan perempuan. Jika ada laki-laki dan perempuan nonmahram berduaan, orang tua dan masyarakat akan melarang dan menasihati. Jika sudah dinasihati, tetapi masih bandel, negara akan memberi sanksi dan sekaligus pendidikan

Islam tidak mengenal adanya pacaran, sehingga kasus kekerasan tidak akan pernah terjadi dalam penerapan Islam.  Hukum hukum yang berasal dari Allah SWT sesungguhnya bersifat sebagai pencegah (al-jawaazir) sekaligus menggugurkan dosa pelakunya (al-jawaabir). Dalam Islam negara berperan penting dalam upaya pencegahan tersebut dengan menanamkan pendidikan akidah yang kokoh pada setiap diri kaum muslimin. Kurikulum pendidikan diatur berdasarkan syariat sehingga menghasilkan output beradab. Selain membentuk kepribadian yang mampu mengharmonisasikan pola pikir dan pola sikap, kurikulum di pendidikan formal juga bermuatan skill bagi penguatan karakter pemimpin pada laki-laki dan karakter keibuan pada perempuan. Pada masa kekhalifahan Islam, sekolah-sekolah menerapkan hal ini untuk mendukung kesiapan para pemuda memasuki jenjang usia pernikahan. 

Media sosial memiliki fungsi yang besar dalam mengedukasi masyarakat, tayangan tayangan kekerasan dan pornografi jelas tidak akan pernah mendapatkan akses tumbuh subur dalam kehidupan bernegara. Sehingga tidak memicu munculnya penyaluran yang salah terhadap naluri berkasih sayang dan naluri mempertahankan diri. Setiap hukum dalam syariat Islam terhadap kekerasan terhadap perempuan akan membawa efek jera. Dan tentunya nasib perempuan yang dalam sistem kapitalisme sekuler selalu lemah dan menjadi korban, akan terlindungi dan terjaga oleh penjagaan terbaik dari negara.
Layaknya Rasulullah yang mempecundangi Yahudi Bani Qainuqa, laksana Khalifah Harun ar-Rasyid, yang telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi dan Layaknya Al-Mu’tashim yang telah melumat Amuriah. Demi kehormatan seorang muslimah yang terlecehkan.

Demikianlah penyelesaian Islam terhadap kasus kekerasan dalam pacaran. Sistem Islam memberikan solusi hakiki atas masalah ancaman rusaknya generasi akibat penerapan liberalisasi dalam kehidupan kapitalis sekuler. Regulasi yang begitu terperinci memberikan jaminan keamanan dan perlindungan terbaik bagi para remaja. Kehidupan liar tanpa batasan para remaja harus segera dihentikan, dengan penerapan Islam secara menyeluruh, selamatkan generasi dari kehancuran. 

Wallahu A’lam Bishshawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post