Oleh: Esti Budiarti
Aktivis Muslimah
Selama periode 5 tahun terakhir ini, pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur secara masif di seluruh pelosok tanah air. Pemerintah meyakini jika Indonesia ingin lepas dari statusnya sebagai negara berkembang, maka ketersediaan infrastruktur menjadi modal bagi Indonesia untuk berkompetisi dengan negara lain dan naik tingkat menjadi negara maju.
Infrastruktur-infrastruktur yang dibangun pun banyak yang berskala besar, bahkan tidak sedikit yang terkesan ambisius dan dapat dikategorikan sebagai mega proyek karena dibangun dengan skala besar serta menelan biaya yang banyak. Oleh karena itu, pada pembangunan mega proyek, pemerintah tidak hanya bertumpu pada APBN saja tetapi juga melibatkan BUMN. Termasuk juga swasta baik nasional atau asing dalam pembangunannya.
Sebutlah pengembangan sisi udara Bandara Kualanamu Medan dengan nilai investasi Rp15 triliun, Pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung senilai Rp38 triliun, pembangunan jalur Kereta Api Makassar-Pare Pare senilai Rp13 triliun, dan pembangunan bandara Bali Utara senilai Rp50 triliun dan pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang baru saja diuji-cobakan oleh presiden RI bersama dengan Xi Jinping. Awalnya, biaya pembangunan KCJB ditetapkan sebesar US$6,05 miliar, namun mengalami pembengkakan anggaran sebesar US$1,4 miliar, sehingga totalnya menjadi US$7,5 miliar (cnnindonesia.com, 23/11/2022).
Untuk biaya pembangunan KCJB sendiri berasal dari investasi, yaitu konsorsium BUMN (PT Wika, PT KAI, PT Jasa Marga dan PTPN) dan perusahaan Cina dengan perhitungan bisnis. 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh Cina Development Bank (CBD) dan 25 persen dibiayai dari ekuitas konsorsium (Kompas.com, 12/12/2021).
Sayangnya pembangunan infrastruktur yang memakan biaya besar tersebut pun sebagian dilelang dan dijual kepada pihak swasta, baik domestik maupun asing. Sebutlah Bandara Kualanamu di Medan yang dilepas sahamnya oleh PT Angkasa Pura II kepada GMR Airport International, perusahaan dari India (banjarmasin.tribunnews, 27/11/2021).
Kemudian pada pertengahan tahun ini, dua ruas Tol Trans Jawa dijual kepada tiga investor asing. BUMN PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) resmi menjual dua ruas Tol Trans Jawa yakni Kanci-Pejagan dan Pejagan-Pemalang kepada Indonesia Investment Authority (INA) yang didanai tiga investor asing. Yaitu sovereign wealth fund dari UAE, dan APG yang merupakan dana pensiun dari Belanda, serta CDPQ dana pensiun dari Provinsi Quebec, Kanada (harianjogja.com, 6/9/2022).
Alasan pelepasan aset oleh negara (BUMN) dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan mega proyek infrastruktur sangatlah besar, sehingga utang BUMN pun melonjak melebihi nilai aset yang dimilikinya. Bagai pepatah besar pasak daripada tiang. Negara pun memaksakan kehendaknya demi sebuah status ‘negara maju’. Dan akhirnya rakyat pulalah yang dikorbankan untuk melunasi setiap utang, dengan wajib pajak contohnya.
Lalu, alih-alih sumber daya alam dan APBN negara digunakan untuk membangun sumber daya manusianya, membentuk generasi dan rakyat yang tangguh untuk membangun negeri menjadi ‘negara maju’, justru sebaliknya dihamburkan untuk membangun infrastruktur yang akan usang dimakan zaman. Padahal, dengan membangun manusianya, status negara maju ini akan dapat terwujud pada akhirnya.
Penguasa pun lupa dengan bangkrutnya Srilangka pada beberapa waktu lalu. Srilangka menumpuk utang untuk membangun infrastruktur hingga akhirnya hak kepemilikannya beralih tangan kepada investor yang tak lain adalah Cina. Ketidakmampuan Srilangka membayar utangnya mengarah pada kehancuran dan mengakibatkan penderitaan rakyat. Apakah tidak mungkin hal ini juga terjadi di negeri ini?
Selain itu, pinjaman dan utang yang besar akan memberi tekanan moral pada pihak peminjam, sehingga memungkinkan bagi peminjam untuk mengikuti keinginan pemberi pinjaman. Dalam suatu negara, sangat memungkinkan sekali kebijakan suatu negara dipengaruhi oleh negara pemberi pinjaman. Kedaulatan negara pun mulai terkikis bahkan tergerus.
Kepemilikan aset negara oleh swasta baik lokal maupun asing tentunya merugikan rakyat. Aset negara berupa sektor publik seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, jika pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta tentu prioritas mereka adalah profit. Sehingga untuk mendapatkan profit, rakyat pun akan dibebankan biaya yang tidak sedikit untuk dapat mengakses sektor publik tersebut. Sebutlah jalan tol, rakyat diharuskan membayar nominal yang besar untuk melintasi jalan tol. Padahal rakyat telah dikenakan pajak yang juga tidak sedikit. Sungguh sebuah ironi.
Inilah produk dari kapitalisme dan neoliberal. Liberalisasi ekonomi merata di semua sektor. Sektor publik banyak dikuasai oleh swasta, para cukong dengan modal besar. Bahkan pemain asing pun boleh ikut meramaikan jual beli aset negara. Akibatnya kedaulatan negara akan tergerus karena pemerintah yang begitu ambisius demi sebuah status. Harapan rakyat hidup sejahtera pun pupus. Rakyat harus merogoh kocek untuk menikmati setiap sektor publik yang sejatinya dibangun dari harta mereka.
Berbeda sekali dengan hukum Islam. Dalam Islam status kepemilikan diatur secara jelas. Islam mengakui dan menghormati eksistensi kepemilikan sekaligus memberikan rambu-rambu aturannya dengan maksud menciptakan kemaslahatan manusia. Di dalam Al-Qur’an surah al-Ma’idah ayat 120 Allah SWT berfirman: “Milik Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (TQS al-Ma'idah:120).
Dari ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah pemilik tunggal atas apa yang ada di langit dan di bumi. Kepemilikan manusia atas suatu harta senantiasa terikat dengan aturan Allah SWT. Ayat ini pun menggambarkan bahwa manusia hanyalah sebagai perantara Allah SWT yang diberi tanggung jawab atas pengelolaan kepemilikan baik secara individu maupun umum.
Secara unsur, Islam membagi status kepemilikan menjadi tiga, yaitu: Pertama, kepemilikan individu (al-milkiyat al-fardiyah). Kepemilikan ini merupakan hak seseorang untuk memanfaatkan kepemilikan kekayaannya. Harta yang dimiliki harus sesuai dengan kaidah Islam, yakni halal dan diperoleh dengan cara yang diperbolehkan.
Kedua, kepemilikan umum (al-milkiyyat al-’ammah). Kepemilikan ini memiliki kebermanfaatan besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup masyarakat dan diperuntukkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umum, serta dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat. Hak milik umum ini tidak dapat dialihkan menjadi hak milik individu, serta tidak boleh dikuasai oleh negara. Namun, pengelolaan kepemilikan umum dilaksanakan oleh negara sebagai wakil rakyat.
Terdapat tiga jenis kepemilikan umum yaitu fasilitas atau sarana umum, barang yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki oleh individu secara perorangan (seperti jalan umum, rumah ibadah), sumber daya alam (seperti air) atau barang tambang (seperti emas, perak, besi).
Ketiga, kepemilikan negara (al-Milkiyyat al-Daulah). Kepemilikan negara pada dasarnya merupakan hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Namun kepemilikan ya dapat dialihkan menjadi milik individu. Misal, ghanimah, fa'i, khumus, jizyah, pajak.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sektor publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak boleh dikuasai dan dikelola oleh swasta. Setiap sektor publik harus dikembalikan kepemilikannya kepada rakyat dan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita kembali kepada hukum Islam yang sumber hukumnya sudah jelas, dari Allah SWT. Dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan akan membawa rahmat bagi seluruh Alam. Sebaliknya, jika hukum dan sistem buatan manusia digunakan untuk mengatur kehidupan, maka kesengsaran dan penderitaan rakyat adalah akibatnya. []
Post a Comment