Kapitalisme Sekularisme Mengerdilkan Fungsi Masjid


Oleh Ummu Nida
Pengasuh Majelis Taklim

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan, bahwa masjid harus menjadi tempat ibadah dan tidak digunakan untuk kepentingan politik. Gus Yahya juga meminta agar masyarakat menghormati masjid dan tidak ada masjid yang untuk partai politik tertentu. Hal itu disampaikannya saat ditemui di kantor PBNU. (Republika.co.id,10/01/2023)

Hal senada juga diungkap oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin bahwa masjid maupun rumah ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan partai politik (parpol) dan lainnya. Hal ini disampaikan usai adanya pengibaran bendera salah satu parpol di masjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat. Menurutnya, seluruh partai politik peserta pemilu harus menaati undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang di dalamnya menjelaskan bahwa pelaksana pemilu, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye.

Kapitalisme sekularisme yang menaungi negeri ini telah mengerdilkan fungsi masjid sebagai tempat ibadah mahdhah semata. Banyak fakta yang terjadi di masyarakat, masjid dalam keadaan terkunci, dibuka hanya pada saat melaksanakan ibadah salat wajib saja. Mirisnya lagi, ada masjid yang melarang kelompok tertentu menggunakannya, padahal tujuannya untuk syiar Islam.

Sekularisme juga membatasi tempat ibadah hanya untuk mengatur urusan hubungan manusia dengan penciptanya. Sebaliknya, di ruang publik, peran agama ditiadakan atau hanya dijadikan sebagai formalitas belaka. Memisahkan agama dari kehidupan, itulah keyakinan yang dianut orang-orang sekuler saat ini. Ironisnya lagi, propaganda sekularisme ini disampaikan oleh para tokoh dan pejabat Islam yang mereka menjadi representasi suara kaum muslimin. Karena, pernyataan mereka akan berpengaruh bagi masyarakat dan pengikutnya.

Oleh karena itu, wacana bahwa masjid adalah tempat suci, sehingga tidak boleh ada aktivitas politik adalah upaya para pembenci Islam untuk mengerdilkan ideologi Islam. Mereka berusaha memberikan gambaran yang salah di tengah masyarakat tentang makna politik dan masjid. Bagi mereka, masjid adalah tempat suci sehingga tidak boleh ada aktivitas politik. Padahal, politik yang kotor menurut mereka adalah cermin dari politik praktis demokrasi yang saat ini diterapkan.

Berbeda jauh dengan Islam, seperti langit dan bumi. Islam adalah sebuah ideologi atau pandangan hidup yang mengatur urusan ibadah ritual sekaligus urusan masyarakat dan negara. Atau dengan kata lain, Islam adalah akidah ruhiah dan siyasah. Oleh karenanya, ketika politik Islam dijauhkan dari masjid, ini adalah upaya untuk menjauhkan bahkan memalingkan umat dari politik Islam yang hakiki.

Umat semestinya faham terkait fungsi masjid di masa Rasulullah saw. Pada masa itu, masjid menjadi pusat berbagai kegiatan, mulai dari ibadah, pendidikan, menyelesaikan perselisihan masyarakat, hingga persiapan perang. Atau dengan kata lain, Rasulullah saw. membahas berbagai problematika umat, baik individu dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, maupun terkait dengan orang lain (muamalah). Di sinilah letak keagungan Islam sebagai akidah yang sempurna yang bisa menyelesaikan permasalahan kehidupan.

Begitu juga sesudah Rasulullah saw. wafat. Masjid senantiasa digunakan sebagai pusat kegiatan kenegaraan. Misalnya, masjid Hijau atau Green Mosque di kota Bursa, Turki. Masjid ini dibangun pada masa khalifah Mehmet I, salah seorang khalifah di masa kekhilafahan Utsmani  sekitar abad ke-15. Di dalam masjid ada ruangan khusus (sebagai pusat pemerintahan), ruang rapat, ruang pengadilan, dan ruang khusus untuk tempat makan orang miskin secara gratis.

Mau bukti apa lagi? Selama 13 abad, masjid senantiasa tidak terpisahkan dari politik Islam. Ketika saat ini, ada upaya  menjauhkan masjid dari politik Islam, itu adalah bentuk ketakutan dari musuh-musuh Islam akan kembalinya kemuliaan Islam dalam naungan khilafah.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post