Jebakan Paylater pada Generasi

Oleh: Erlita Nur Safitri

 Alumnus Universitas Pancasila

 

Di era digitalisasi ini sudah tidak asing lagi dengan istilah fintech atau financial technology. Fintech adalah sebuah perusahaan yang menggabungkan layanan jasa keuangan dengan teknologi. Dengan adanya fintech ini menawarkan kemudahan dalam layanan keuangan. Tidak perlu keluar rumah untuk melakukan pembayaran karena bisa dilakukan di rumah menggunakan aplikasi di ponsel. Seiring dengan berkembangnya teknologi ini, lahirlah metode pembayaran baru yang disebut paylater atau bayar nanti.

Fitur bayar nanti alias paylater merupakan salah satu metode pembayaran digital yang paling banyak digunakan dalam transaksi e-commerce di Indonesia. Menurut hasil survei Katadata Insight Center (KIC) dan Kredivo, penggunaan paylater menempati peringkat ketiga terbanyak digunakan setelah e-wallet dan transfer bank/virtual account. Berdasarkan survei pada Maret 2022 terhadap 3.500 responden pengguna aplikasi Kredivo yang melakukan transaksi di beberapa e-commerce, sebanyak 56% telah menggunakan paylater sebagai metode pembayaran selama lebih dari setahun. (databoks.katadata.co.id).

Fenomena paylater ini tidak luput dari generasi milenial, yang dikenal sebagai generasi yang paling adaptif terhadap teknologi. Berdasarkan riset Katadata Insight Center (KIC), dari 5.204 responden yang di survei, sebanyak 16,5 persen adalah gen Y atau milenial yang banyak menggunakan fitur paylater. Sementara dari gen Z jumlahnya berkisar di angka 9,7 persen (digitaldonat.republika.co.id).

Negara saat ini juga memfasilitasi jeratan haram ini dengan berbagai dalih, seperti terdaftar di OJK, bunga rendah, tanpa syarat adanya penghasilan dan lainnya, Selain proses pengajuan dan persyaratan yang mudah, banyak juga penawaran menggiurkan seperti promo, diskon ataupun cashback yang bisa didapatkan.  Dengan segala kemudahan akses paylater ini akhirnya banyak dari generasi milenial yang terjebak pada gaya hidup konsumtif dan hedon ala Barat.

Saat ini pemuda disibukkan dengan gaya hidup ala Barat, belum lagi fenomena flexing, mereka senang pamer dengan kekayaan, terutama di media sosial. Setiap hari mereka sibuk dengan OOTD (Outfit Of The Day)-nya, mulai dari sepatu, jam tangan, kaos, tas, hingga hijab yang dipakai, semua harus sesuai dengan trend. Merek-merek ternama mancanegara makin digandrungi juga, padahal kondisi ekonomi kian merosot. Selain dari industri fashion, industri pleasure (olahraga, hiburan, pariwisata, dan sebagainya) yang menyodorkan kesenangan hidup juga masih menjadi hal yang paling diminati pemuda saat ini.

Hasrat belanja dan gaya hidup hedon ini didukung dengan kemajuan teknologi yang memudahkan siapa pun untuk bertransaksi apa saja dalam sekali klik. Terlebih, banyak e-commerce yang menawarkan segudang diskon yang menggiurkan. Padahal nyatanya hal ini bisa menjadi bumerang yang membahayakan masa depannya. Untuk keluar dari jerat cicilan paylater ini juga tidak mudah dan muncul lah efek domino. Karena gaya hidup konsumtif yang ‘kebablasan’ ini menimbulkan semakin besarnya tunggakan hutang, bunga dan denda jika telat bayar.

Budaya konsumtif dan hedonistik bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan lahir di tengah masyarakat sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Masyarakat sekuler menjadikan kebebasan sebagai asas dalam bertingkah laku sehingga perilaku konsumtif hedonistik menjadi sesuatu yang pasti.

Hal ini tak akan terjadi dalam Islam. Meski Islam tidak melarang manusia untuk kaya, tetapi kekayaan tersebut tidak boleh menjadikan seorang Mukmin berfoya-foya. Membeli sesuatu, tetapi bingung saat akan menggunakannya adalah ciri manusia konsumtif. Islam jelas memerintahkan kaum Muslim untuk menjauhi hal ini.  Dalam mengelola marketplace, sistem Islam akan mengontrol pasar digital selayaknya mengelola pasar pada umumnya. Serta tidak ada aplikasi pinjaman berbasis riba yang menjerat masyarakat, karena muamalah rakyat akan selalu dikontrol. Sehingga masyarakat akan terhidar dari konsumerisme. Islam juga akan menghilangkan praktik utang piutang dengan skema riba.

Dengan sistem hidup yang sesuai dengan Islam, pemuda akan terhindarkan dari jebakan yang membahayakan ini. Pemuda akan terjamin hidupnya, aman dari godaan gaya hidup barat dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk menghantarkannya menjadi insan mulia. Pemuda saat ini perlu memiliki pijakan kuat, yaitu akidah Islam. Akidah dapat membentuk mereka memiliki kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap inilah yang akan menjadi pilindung dari gempuran gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Namun, untuk mewujudkan itu tentu tidak bisa sendirian. Perlu adanya sinergi yang baik antara orang tua, lingkungan masyarakat, sekolah, dan negara.

Oleh karenanya tidak ada solusi lain untuk mencabut akar masalah dari karut marutnya sistem hidup saat ini, selain berjuang mengembalikan Islam. Dengan standar hidup Islam, maka akan terwujud sistem sosial masyarakat yang berkah dan sejahtera, InsyaAllah.[]

 

 

 

 

 

 

 

 


Post a Comment

Previous Post Next Post