JAUHKAN POLITIK DARI MASJID, WUJUD NYATA SEKULERISASI


Oleh Siami Rohmah
Pemerhati Masyarakat

Masjid maupun rumah ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan partai politik dan lainnya. Hal ini diungkapaka Wapres Ma'ruf Amin menyusul adanya pengibaran bendera salah satu partai di sebuah masjis di Cirebon. (Republika[dot]co[dot]id).       
                                                                          Hal senada diungkapakan ketua PWNU DKI Samsul  Ma'arif dikutip dalam NU online Jakarta, "Tidak hanya ruangan dalam tempat ibadah, halamannya juga jangan digunakan untuk kampanye." (tempo.co)

Terlepas bagaimana kondisi politik di negeri ini, dari ungkapan ini menunjukkan bahwa masjid harus jauh dari urusan politik. Ketika masjid menjadi sebuah simbol agama kemudian politik adalah bagaimana masalah kehidupan ini diatur, maka begitu jelas maknanya bahwa agama ini tidak boleh terlibat dalam pengaturan masalah kehidupan. Dengan alasan menjauhkan politik identitas, sesungguhnya sekulerisme yang sedang ditekankan kembali, bahwa aturan kehidupan ini harus jauh dari campur tangan agama.

Penekanan-penekanan antipolitisasi tempat ibadah terutama masjid akan selalu semakin mengemuka ketika menjelang pemilu. Semua ini didasari ketakutan terwarnainya hasil pemilu oleh agama khususnya Islam. Kebijakan seperti ini pernah juga diberlakukan di masa kolonial Belanda. Pemerintah Belanda saat itu juga melarang masjid dipolitisasi. Semua ini sesuai arahan Snouck Hurgronje, bahwa izin eksistensi masjid hanya untuk ritual dan ibadah saja (Repubika.co.id).

Dari sini kita bisa menangkap bahwa sekulerisme barat memang terus dijajakan kepada negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Di barat ide sekulerisme, yaitu penghapusan peran agama dari kehidupan memang sebuah keniscayaan, karena itulah yang mereka sepakati, dan agama yang mereka yakini memang tidak memiliki konsep bagaimana mengatur urusan kehidupan ini.                                                                                                                                        Tentu berbeda dengan Islam, dalam Islam politik itu tidak lepas dari agama, tetapi menjadi bagian integral dari Islam, menjadi sesuatu yang agung karena politik adalah bagaimana urusan masyarakat diatur. Bahkan Imam Al-Ghazali mengatakan, "Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu tanpa penjagaga niscaya akan hilang."    
                                                            Saat ini kita saksikan apa yang disampaikan Imam Al Ghazali, sendi-sendi kehidupan yang mulai runtuh karena jauh dari agama, agama dilalaikan karena tidak ada kekuasaan yang menjaganya. Kerusakan segala bidang tak terelakkan. Akibat agama ditinggalkan, kerusakan moral generasi, korupsi, pengelolaan sumberdaya tak sesuai, pemenuhan kebutuhan masyarakat yang jauh dari kata terpenuhi.

Terkait dengan fungsi masjid, Rasulullah menjadikan masjid sebagai basis pemerintahan, selain tempat ibadah ritual masjid menjadi tempat diskusi dan konsultasi masalah umat, tempat pendidikan, tempat pengadilan sengketa, pembagian zakat, tempat menampung orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dll. 

Dari sini jelas bagaimana Rasulullah tidak menjauhkan urusan kehidupan dari agama dan masjid, tetapi menjadikan tempat penyelesaian masalah berdasarkan agama. Umat Islam tidak boleh anti politik, karena politik adalah bagian dari agama dan politik Islam jauh dari gambaran politik sekulerisme Barat saat ini.

"Sesungguhnya yang memakmurkan masjid- masjid Allah hanyalah orang - orang yang mengimani Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah. Merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS. At Taubah 18).                                                                            Wallahu a'lam bi shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post