Hutang Menjadikan Negara Bunuh Diri Secara Politik


Oleh : Hj.Padliyati Siregar,ST

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini bicara soal utang pemerintah yang terus membengkak.

Menurutnya, di masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, utang pemerintah terus menerus meningkat.

Dia memaparkan di tahun terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhyono menjabat pada 2014 utang pemerintah sudah menyentuh Rp 2.600-an triliun. Kini posisi terakhir utang pemerintah sudah menyentuh Rp 7.500-an triliun.

Lebih tepatnya, dari data yang dipaparkan Didik memperlihatkan utang pemerintah terus menerus meningkat sejak 2014, di tahun tersebut utang pemerintah tercatat Rp 2.608,78 triliun dan di November 2022 mencapai Rp 7.554,25 triliun.

"Tahun 2014 itu utang posisinya cuma Rp 2.600-an (triliun), ini SBY dihajar habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasanya. Utang itu sampai November 2022 itu sudah Rp 7.500-an triliun," papar Didik dalam Catatan Awal Tahun Indef 2023 yang disiarkan virtual, Kamis (5/1).

Didik menilai bisa saja Jokowi akan mewariskan utang belasan ribu triliun kepada pemimpin-pemimpin berikutnya. Pasalnya, tahun 2024 kepemimpinan Indonesia akan berganti.

"Itu Rp 7.500 triliun kalau ditambah BUMN Rp 2.000-3.000 triliun jadi mungkin belasan ribu triliun utang yang diwariskan pada pemimpin yang akan datang. Saya banyak teriak soal ini banyak tidak diperhatikan," sebut Didik.

"Ini implikasinya ke APBN ke depan akan habis untuk bayar utang dan utang akan masih banyak," ujarnya.

Didik menilai hal ini terjadi karena buruknya sistem politik di Indonesia, sehingga perencanaan keuangan negara menjadi sangat buruk.

Salah satu contohnya adalah saat masa Covid-19, pemerintah secara otoriter mengeluarkan Perppu yang memperlebar defisit anggaran, pasalnya dari momen ini lah yang menjadikan utang pemerintah makin besar.

"Awal Covid-19 itu sumber justifikasi krisis otoriter dilakukan dan DPR itu dia nggak bisa apa-apa dengan Perppu. DPR nggak diberikan kekuasaan apa-apa," ungkap Didik.

Dia menyatakan ekonomi dan politik sebetulnya tidak bisa dipisahkan. Yang jadi masalah adalah adanya kemunduran pada dunia politik di Indonesia, terlalu banyak kongkalikong yang membuat fungsi check and balance di DPR menjadi sangat lemah.

"Ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang pemerintah meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi," tegas Didik. (detikfinance/c)

Kemandirian ekonomi agaknya mustahil untuk kondisi Indonesia kini dan nanti. Belitan utang tidak membuat penguasa jera untuk menambah utang. Kerja sama di bidang investasi sendiri sejatinya adalah penambahan utang nasional. Utang berkedok investasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan untuk memulihkan ekonomi. Padahal, Indonesia memiliki modal untuk mandiri membangun perekonomian. 

Sayangnya, kapitalisme yang diadopsi sebagai sistem hidup negara ini telah menjadikan tata kelola ekonomi rakyat menjadi semrawut. Prinsip ekonomi yang menitikberatkan pada pemodal membuat kendali ekonomi berorientasi pada segelintir orang.

Teori “trickle down effect” adalah fatamorgana. Stimulus yang bersumber dari pemodal entah itu berbentuk utang maupun investasi bukan memeratakan sirkulasi ekonomi, melainkan makin menampakkan ketimpangan ekonomi.

Di tambah dalam sistem demokrasi, rezim yang berkuasa  memang kerap mendapatkan bantuan utang dari kapitalis asing maupun aseng. Padahal, utang tersebut merupakan alat penjajahan modern yang berprinsip timbal balik. Mereka tidak begitu saja memberikan utang secara cuma-cuma. “No free lunch” itu terlihat pada berbagai kebijakan pemerintah seiring upaya memuluskan agenda kapitalis di negeri ini. 

Oleh karenanya, tidak tepat apabila utang digadang-gadang bertujuan untuk kemaslahatan rakyat karena justru mereka terjajah karenanya. Kalaupun ada maslahat, rakyat sekadar mencicipi remah-remahnya. Pembangunan infrastruktur tol, misalnya, siapa yang benar-benar menikmati pembangunan hasil utang tersebut? Jelas para kapitalis dan orang-orang yang berduit saja.

Selain untung besar akibat bunga utang yang mencekik, bagaikan sekali mendayung dua pulau terlampaui, negara kapitalis pemberi utang seolah dapat mengeksploitasi negara pengutang. Inilah bahaya utama di balik penjajahan tersebut. Kekayaan alam negeri langsung menjadi jaminan agar bank-bank internasional menggelontorkan utang. Tanah alam pun tergadaikan pada perusahaan swasta dan asing.

Akibat ketergantungan pada utang yang makin menggunung, negeri pun makin mudah dikuasai dan dikendalikan oleh asing. IMF dan Bank Dunia, misalnya, bisa mendikte berbagai kebijakan negara pengutang untuk menelurkan UU yang membuat para kapitalis “legal” menjarah SDA negeri hingga terkuras habis.

Rakyat jadi tidak berdaya, hanya bisa gigit jari, dan tidak bisa menikmati hasil pengelolaan SDA mereka sendiri. SDA itu malah mengalir deras untuk kepentingan asing. Negeri ini jelas akan terjual jika tidak segera melepaskan diri dari jerat utang tersebut.

Tentu sangat sulit bagi Indonesia untuk lepas dari jerat utang apabila sistem ekonomi yang dipakai adalah ekonomi kapitalisme. Selama Indonesia sekadar berganti rezim, bukan sistem, dan selama SDA kita belum habis, utang juga tidak akan bisa selesai.


Konsep Islam


Membangun negara dengan utang adalah cara pandang khas kapitalisme. Jika pemerintah menganggap utang luar negeri sebagai bentuk kewajaran, itulah watak kapitalis yang  sesungguhnya. Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam, utang luar negeri adalah cara paling berbahaya merusak eksistensi suatu negara.

Hukum utang piutang pada dasarnya boleh menurut syariat Islam karena merupakan muamalah berbentuk ta’waun. Namun, jika kita bicara utang yang dilakukan negara, akan menjadi persoalan lain. Dalam Islam, utang bukanlah sumber pemasukan ekonomi negara. Negara tidak akan pernah menjadikan utang sebagai tumpuan ekonominya.

Dalam Kitab Al-Amwal fii Daulah al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa pinjaman dari negara-negara asing dan berbagai lembaga keuangan internasional tidak dibolehkan oleh syarak. Ini karena pinjaman seperti itu selalu terikat riba dan syarat-syarat tertentu, padahal riba hukumnya haram. Sementara itu, persyaratan (yang menyertai pinjaman) sama saja dengan menjadikan negara dan lembaga keuangan tersebut berkuasa atas kaum muslim.

Utang luar negeri juga sangat berbahaya bagi negeri-negeri muslim. Selama ada utang, umat selalu berada dalam kondisi terpuruk. Dengan demikian, Khalifah tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pos pendapatan untuk menutupi anggaran belanja negara. 

Lalu, dari mana negara mendapat pemasukan? Khilafah memiliki pos pemasukan yang dikelola melalui Baitulmal. Pemasukan negara tercakup dalam tiga bagian, yaitu fai dan kharaj; bagian pemilikan umum; dan bagian shadaqah. 

Bagian fai dan kharaj tersusun dari pos-pos berikut: (1) ganimah (meliputi ganimah, anfal, fai, dan khumus); (2) kharaj; (3) status tanah (meliputi tanah ‘unwah, usyriyah, ash-shawafi, tanah milik negara, tanah milik umum, dan tanah-tanah yang diproteksi); (4) jizyah; (5) fai; dan (6) dharibah.

Bagian pemilikan umum terdiri dari (1) minyak dan gas; (2) listrik; (3) pertambangan; (4) laut, sungai, perairan, mata air; (5) hutan dan padang gembalaan; (6) aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. 

Sedangkan bagian shadaqah meliputi (1) zakat uang dan perdagangan; (2) zakat pertanian; dan (3) zakat ternak berupa unta, sapi, dan kambing. Khusus pos zakat hanya dialokasikan untuk diberikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat berdasarkan ketentuan syariat. 

Anggaran pada masa Daulah Islam lebih banyak surplus. Prinsip pengelolaan anggaran Khilafah ialah kesederhanaan dan kemampuan untuk mandiri dan menghidupi rakyat dengan mengoptimalkan kekayaan SDA dan aset yang dimiliki negara. Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post