Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa angka kejahatan atau tindak pidana selama kurun waktu 2022 mengalami kenaikan sekitar 7,3 persen dibanding pada tahun 2021 lalu. Pada tahun 2021 lalu ada 257.743 tindakan kejahatan sedangkan tahun 2022 sebanyak 276.507.
"Terkait masalah penegakan hukumnya jumlah kejahatan terjaid di Indonesia meningkat dibanding 2021," kata Kapolri Jenderal Sigit dalam paparan rilis akhir tahunnya.
Menurut Sigit, terjadinya peningkatan tindakan kejahatan ini bukan tanpa sebab. Melainkan adanya peningkatan aktivitas masyarakat. Hal ini berkaitan dengan adanya pelonggaran terhadap pembatasan yang pernah diterapkan selama masa pandemi Covid-19.
Namun pihaknya tetap dapat mengungkap atau menyelesaikan kasus sebanyak 73.38 persen kasus sepanjang 2022. "Seiring dengan aktivitas masyarakat yang mulai longggar," kata Sigit.
Tak dimungkiri situasi politik kian hari kian karut marut. Meski mesin pencitraan terus berjalan, namun nyatanya tak mampu menutupi kebobrokan sistem yang terus memproduksi krisis di berbagai bidang kehidupan.
Gelar rezim gagal, ingkar janji, represif anti-Islam, dan antek asing, sudah lama tersemat pada rezim demokrasi sekuler neolib yang sedang tegak ini.
Betapa tidak? Di tengah kegagapan menghadapi situasi pandemi, kesejahteraan kian jauh dari harapan. Resesi ekonomi pun seakan tak berujung. Sementara utang ribawi kian menggunung.
Alih-alih mampu mewujudkan janji manis saat pemilihan, rezim penguasa hari ini justru kian mantap berjalan bersama kepentingan korporasi dan kaum oligarki. Sibuk membangun dinasti kekuasaan yang begitu zalim dan minus hati nurani.
Di sisi lain, kriminalisasi ajaran Islam dan pengembannya pun terus terjadi. Isu radikalisme masih saja jadi senjata bagi penguasa untuk membungkam kalangan oposan. Ketundukan pada asing juga makin kuat sejalan keluarnya kebijakan-kebijakan yang memberi jalan lebar bagi penjajahan.
KONDISI ini ternyata tak hanya terjadi di negeri ini. Krisis multidimensi pun terjadi di berbagai belahan dunia, meski dengan kadar yang berbeda. Yang pasti, cengkeraman korporatokrasi dan kapitalisme global makin kuat di berbagai belahan negeri.
Tak heran jika atas realitas ini, banyak yang mulai membincang soal perubahan. Sebagian bahkan sudah mulai mempertanyakan kelayakan sistem sekuler demokrasi kapitalis neoliberal dalam mengatur kehidupan.
Pasalnya, sistem ini tampak sudah tak mampu menutupi jati dirinya yang didominasi ketamakan dan kekejaman. Wajah manis demokrasi yang sering diklaim sebagai sistem politik terbaik, kian terbaca sebagai monster penebar berbagai kerusakan.
Tengok saja. Meski kredo demokrasi memberi kedaulatan kepada rakyat, tapi kebebasan dan sekularisme yang menjadi rohnya telah memberi ruang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Meskipun ada konsep pembagian kekuasaan, yang muncul justru konflik kepentingan. Jika terjadi kasus, lazim terjadi praktik saling sandera di antara berbagai kekuatan.
Biaya politiknya yang super mahal pun nyatanya hanya membuat kekuasaan demokrasi rentan korupsi dan praktik kolusi. Kebijakan yang dikeluarkan jadi ajang transaksi. Dan supremasi hukum pun bisa dibeli. Kenapa? Karena halal haram tak ada tempat dalam sistem rusak ini.
Belum lagi dampak kebebasan menyangkut soal moral. Krisis akhlak kian telanjang dalam sistem ini. Pelaku maksiat dan para penyeru kekufuran kian jemawa, mengalahkan pamor mereka yang berusaha keras menapaki jalan kebaikan.
Tidak ada suasana aman dan nyaman dalam negara yang menerapkan demokrasi. Malah kian terbukti, kekuasaan yang tegak di atas sistem ini begitu jauh dari kata adil sejahtera. Yang ada justru kian menguatnya dominasi otoritarianisme dan kerusakan di tengah umat.
INDONESIA sendiri katanya sudah “merdeka” sejak tiga per empat abad yang lalu. Semestinya sudah cukup waktu untuk tampil sebagai negara kuat, adil, makmur, dan sejahtera. Apalagi dengan segala anugerah rezeki yang Allah beri.
Begitu pun dengan negeri-negeri Islam lainnya yang rata-rata merupakan negeri yang kaya raya. Namun faktanya, kehidupan rakyatnya ternyata sama-sama jauh dari sejahtera. Bahkan sebagaimana kita, negeri mereka menjadi bancakan dan korban kerakusan negara-negara adidaya.
Hanya saja, menggagas perubahan tentu tak seperti membalik telapak tangan. Meski perubahan merupakan fitrah, tapi arah perubahan bisa benar, bisa salah.
Indonesia sendiri telah melewati beberapa kali momentum perubahan. Mulai dari yang damai hingga yang berdarah-darah. Tapi apa yang terjadi? Kondisi Indonesia tak pernah bertambah baik! Malah sebaliknya, kian hari kian bertambah parah.
Masalahnya, bangsa ini belum punya visi jelas tentang arah perubahan. Berbagai momentum perubahan selalu berkutat pada target pergantian orang. Sementara yang menjadi akar persoalan justru tetap dipertahankan
Proses Perubahan
Keinginan umat untuk berubah, adalah modal penting bagi perubahan itu sendiri. Artinya umat sudah menyadari fakta buruk yang ditimbulkan kebijakan penguasa dan ingin menggantinya agar menjadi baik.
Jika yang diinginkan umat itu adalah perubahan kepada penerapan hukum Islam oleh negara, dengan pemimpinnya seorang muslim yang saleh dan kapabel, memang seperti itulah yang dikehendaki Islam.
Namun, jika yang diinginkan umat itu adalah mengganti sosok pemimpin dengan Muslim yang saleh saja, sementara format negara tetap seperti yang ada saat ini, tidak akan mengantarkan pada perubahan hakiki.
Sebaliknya akan mengantarkan pada kegagalan. Mengapa? Karena umat hanya mengulang jalan dan cara yang sama dalam melakukan perubahan.
Karena itu, dalam perubahan mesti terjadi beberapa proses. Pertama, mesti ada proyeksi atau pemetaan masalah. Umat harus memahami apa yang menjadi masalah utama sebagai penyebab kondisi buruk, faktor apa yang ada pada diri umat sehingga mereka tidak hidup mulia, dan faktor eksternal apa yang memengaruhinya. Pemetaan menjadi hal penting dalam menentukan masalah.
Tahap kedua adalah mengenali masalah dengan baik. Umat harus menyadari bahwa masalah mereka adalah ketidakpahamannya tentang hidup mulia dalam naungan Islam, kelemahannya karena terpencar di berbagai negara, tidak punya power untuk mengendalikan dunia.
Menyadari masalah eksternal: negerinya dikuasai asing sehingga aspek politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, semuanya menggunakan aturan produk pemikiran asing yang pastinya tidak kompatibel dengan aturan Islam.
Proses selanjutnya adalah tahapan penyiapan untuk perubahan. Apa saja yang diperlukan, yaitu umat harus mengetahui segala hal yang menjadikan kehidupannya kembali menjadi umat terbaik, yaitu diatur dengan Islam. Mereka harus diperkenalkan pada sejarah kegemilangan Islam dalam naungan Islam.
Hidup sejahtera, minim kriminalitas, pendapatan merata, keadilan didapatkan, generasi hidup dalam jaminan keamanan, pendidikan yang baik dan benar dalam melahirkan manusia baik dan bermanfaat, merasakan layanan Kesehatan yang baik dan gratis, dll. Mendalami nas syariat dan hukumnya yang memerintahkan umat untuk hidup dalam naungan Islam. Mendalami sirah Rasul, sejarah para Sahabat, para Khalifah pemimpin umat Islam, dsb. Mereka harus mempelajari hukum akidah, syariat dakwah dan jihad.
Juga tentang Khilafah sebagai institusi yang akan menerapkan seluruh hukum Islam. Bagaimana mesti mewujudkan semua itu, dengan kewajiban untuk membentuk kelompok umat yang memperjuangkannya penerapan syariat.
Berikutnya adalah tahapan action dari kelompok tersebut bersama umat memperjuangkan pemikiran perubahan yang telah dituntunkan Rasulullah Saw..
Dimulai dengan tahapan membina umat dengan berbagai hukum syariat dan menginteraksikannya dengan masyarakat, hingga terbentuk kesadaran pada umat secara aghlabiyah (mayoritas) untuk penerapannya.
Langkah ini harus terus digelorakan, dilakukan, dan terus dijaga hingga terbentuk kesadaran umum di berbagai lapisan masyarakat akan keharusan menerapkan syariat Islam dalam bentuk negara baru yang ditetapkan Islam, yaitu Khilafah.
Dan terjadi akad baru antara umat dengan calon pemimpin yang mereka inginkan agar pemimpin ini menerapkan syariat Islam dalam kehidupan mereka.
Pada tahapan penjagaan perjuangan ini, memerlukan keteguhan hati, ketekunan, kesabaran, dan keyakinan untuk mendapatkan hasil.
Tantangan dalam Perubahan
Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam melakukan proses perubahan, yaitu saat umat menggunakan cara dan metode yang sama dalam perubahan.
Melakukan langkah yang sama dengan jalan yang sama, tetapi berharap hasil yang berbeda. Tentu saja ini melanggar sunatullah perubahan. Karena bersikukuh ingin berubah, tetapi menempuhnya dengan cara yang menjadi penyebab keburukan itu sendiri, yaitu umat bertahan dengan sistem demokrasi dan cara-caranya dalam mewujudkan kepemimpinan.
Yang karena sistem inilah, sistem ekonomi kapitalis liberal, sosial budaya permisif, politik koruptif, dsb. masih tetap bercokol. Hal ini dikarenakan ketidakpahaman umat akan wujud perubahan hakiki, yaitu berubahnya negeri-negeri muslim menjadi negara Islam (daar al Islam) dalam wujud tegaknya Khilafah di satu negeri muslim yang akan memimpin umat dan dunia dengan syariat Islam.
Perubahan Hakiki Tidak Cukup dengan Niat Baik
Dalam gambaran umat yang belum paham, perubahan itu mungkin terjadi dengan mengganti pemimpin, namun mempertahankan format yang ada dan hanya mengganti konstitusi dengan syariat Islam, tanpa mengubah tatanan atau konstelasi global.
Dua hal utama yang harus ada pada negara Islam adalah pemerintahannya menerapkan hanya syariat Islam, tidak yang lain. Keamanannya berasal dari tentara muslim, sandaran kekuatannya berasal dari dalam negeri, dari dukungan umat dan militer.
Jika tidak demikian, negeri muslim meskipun dalam negerinya bisa menerapkan syariat Islam, hubungan luar negerinya tidak mungkin independen, karena dia tetap berhubungan dengan negara adidaya yang masih ada.
Jadi, negara Islam Khilafah itu adalah negara adidaya baru yang berhasil melemahkan adidaya lama sekuler yang menjadi sebab kesengsaraan umat dan dunia.
Jika masalah ini tidak dipahami umat dengan baik, perjuangan mereka akan tetap mengulangi hal yang sama, yaitu mendapati kegagalan.
Ilustrasi yang menginspirasi misalnya: Salah satu negara mengalami masalah kronis di bidang pendidikan, Menteri Pendidikannya meminta pada Komite Kurikulum Pendidikan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan negara tersebut. Perubahan tidak akan terjadi, mengapa? Karena yang diminta adalah orang yang sama dan pemikiran yang sama yang mengakibatkan kegagalan dalam dunia pendidikan. Mereka tidak akan mampu melakukan perubahan dengan mentalitas dan pola pikir yang sama yang menciptakan kurikulum lama.
Misal lain, ada partai tertentu yang ikut pemilu di negara tertentu, dan hasilnya gagal besar. Pimpinan partai ini diminta untuk melakukan perubahan, dalam alam politik yang tidak berubah. Apa hasil yang diharapkan?
Karena itu, perubahan hakiki itu tidak cukup dengan niat baik tanpa dibarengi dengan aksi dengan pengerahan tenaga. Perubahan nyata hanya dapat terjadi setelah mengakui masalah dan kesalahan, mengidentifikasi cacat, dan mengembangkan rencana strategis; selain mengubah pikiran, cara berpikir, dan metode untuk menemukan solusi praktis, dengan kejelasan visi dan misi yang dijadikan panduan semua pelaku perubahan.
Walhasil, mendakwahkan perubahan hakiki yakni mewujudkan tegaknya Khilafah sebagai negara adidaya baru yang mengatur peradaban dunia dengan syariat Islam adalah satu-satunya bentuk komitmen serius dari umat untuk mengubah kezaliman menjadi kesejahteraan dan kemuliaan.
Post a Comment