Alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin Unlam
Pindah IKN ke Kaltim tentu memerlukan lahan. Meski pemerintah mengklaim milik negara yang akan digunakan, tetapi namanya tidak sedikit pasti akan bergeser ke wilayah warga sekitar. Akhirnya, perlu ganti rugi lahan IKN bagi mereka yang masuk wilayah inti IKN. Ganti rugi lahan IKN membuat khawatir sebagian masyarakat akankah menjanjikan lebih atau malah tidak ideal.
Apalagi setelah mendengar pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan (PTPP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Embun Sari yang menyebutkan, nilai ganti kerugian lahan pada kawasan yang masuk wilayah KIPP, berkisar Rp 650 ribu hingga Rp 1 juta per meternya. Pernyataan Embun Sari ini disampaikannya pada ATR/BPN Podcast yang membahas peran Kementerian ATR/BPN dalam pembangunan IKN.
Sontak saja pernyataan tersebut membuat warga khawatir. Seperti yang diungkapkan oleh perwakilan warga Sepaku yang khawatir lahannya masuk dalam KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan) IKN karena infonya ganti rugi yang akan diperoleh tidak ideal. “Jangan sampai harga ganti rugi yang kami terima nanti dari pemerintah nilainya justru lebih rendah, dan kami tak bisa membeli lahan lagi untuk ganti sebagai tempat kami bermukim dan berusaha seperti sebelumnya” kata Dahlia Yati, juru bicara kelompok masyarakat Sepaku yang lahannya masuk KIPP IKN Sepaku.
Pelaksana Tugas (Plt) Camat Sepaku, PPU Adi Kustaman pun membenarkan apabila pernyataan Embun Sari tidak sesuai di lapangan. Nilai yang dibayarkan dan diterima warga terdampak sesuai hasil dari tim penilai independen tanpa ada potongan-potongan. Dijelaskannya, hingga kini belum semua warga pemilik lahan menerima ganti rugi. Diyakinkannya bahwa ke depan nilai ganti kerugian akan terus naik seiring perkembangan pasar. (Kaltim post.Jawapost.co, 9/1/2023)
Masyarakat Lokal Bakal Tersingkir
Memang kepemilikan tanah di kawasan IKN sempat menjadi sorotan publik. Pasalnya, ada sejumlah titik di kawasan IKN yang merupakan tanah milik perusahaan hingga masyarakat. Gubernur Kaltim, Isran Noor pun membantah dugaan itu. Dia menyebut seluruh tanah untuk IKN merupakan milik pemerintah. Kalaupun ada lahan masyarakat yang mungkin masuk kawasan IKN akan ditata kembali oleh pemerintah.
Kekhawatiran konflik akan lahan bagi masyarakat wajar. Termasuk ganti rugi lahan jika tidak ideal. Di tengah himpitan beban hidup yang berat dan impian hidup sejahtera lahan mereka jadi incaran penguasa. Andai diganti rugi, namun soal masa depan masyarakat masih luput dari perhatian pemerintah.
Lumrah kita ketahui dalam sistem saat ini potensi konflik lahan sering terjadi. Rakyat sering berhadapan konflik lahan kepada perusahaan atau pemerintah. Pembebasan atau ganti rugi lahan tidak sesuai, hingga lahan dimenangkan perusahaan atau penguasa tanpa ganti rugi.
Keberpihakan terhadap rakyat minus, atas nama kepentingan negara rakyat dikorbankan. Akhirnya pindah IKN tidak dinafikan bakal membawa potensi konflik lahan. Kesejahteraan yang dijanjikan karena pindah IKN hanya mimpi, warga lokal tetap tersingkir baik lahannya apalagi hal lainnya karena kalah bersaing dengan pendatang baru.
Konflik kepemilikan lahan sudah menjadi hal biasa dalam sistem ekonomi kapitalis liberal. Rakyat biasa atau penduduk lokal bagai “dianaktirikan” karena keterbatasan dana. Sedangkan pendatang, khususnya pengusaha akan “dianakemaskan” atas nama investasi.
Jangankan IKN, lahan warga saat ini sudah banyak beralih fungsi menjadi pertambangan. Negara tega menyerahkan SDAE yang berlimpah kepada para kapital. Padahal SDAE berupa hutan, tambang, air, gas, emas, dsbnya adalah milik rakyat. Liberalisasi SDAE ini terjadi karena dijamin oleh negara.
Dalam sistem kapitalisme saat ini berhubungan dengan lahan, pemerintah hanya sebagai regulator bukan penjaga dan pelindung atas kepemilikan tanah warganya. Pemerintah bahkan menjadi lawan rakyat sendiri. Masyarakat berjuang sendiri dalam mempertahankan tanah yang memang menjadi haknya. Sering masyarakat dibuat susah mengurus legalitas tanah. Regulasi yang ribet dan panjang akhirnya terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan.
Pindah IKN dalam Islam Tidak Korbankan Masyarakat
Dalam Islam jika pindah IKN maka potensi konflik lahan tidak akan terjadi karena kepemilikan tanah yang jelas. Negara pun menjadi pelindung atas kepemilikan lahan warganya. Kepemilikan dalam Islam dibagi dalam tiga kategori yakni, kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum.
Pertama, kepemilikan individu merupakan hak seseorang yang diakui Syariah, individu tersebut memiliki otoritas untuk mengelola kekayaannya sendiri. Undang-undang Syariah telah memberikan perlindungan hak milik individu menjadi kewajiban negara sehingga tidak boleh dicederai. Karena itu dibuat hukum yang bersifat preventif bagi siapa saja yang menciderai hak tersebut.
Kedua, kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim sementara pengelolaannya menjadi wewenang Khilafah. Ketiga, kepemilikan umum adalah kepemilikan yang telah dinyatakan Syara’ diperuntukkan untuk masyarakat dan individu dilarang menguasai. Yaitu fasilitas umum, barang tambang, dan SDAE.
Nabi saw bersabda: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal air, padang, dan api (HR. Abu Dawud).
Perlu diperhatikan negara tidak boleh memiliki kepemilikan individu dengan alasan demi kemaslahatan umum sebab kepemilikan individu dilindungi Syariah bahkan negara sekalipun. Setiap pelanggaran atas kepemilikan individu dipandang tindakan zalim yang bisa diajukan kepada Mahkamah Madzalim.
Negara pun tidak boleh menetapkan harta kekayaan milik umum atau negara sebagai milik pribadi dengan alasan kemaslahatan. Selain itu, dilarang memproteksi milik umum menjadi milik pribadi misalnya tanah mati dan barang yang menjadi milik umum sedangkan negara boleh memproteksi untuk kepentingan kaum muslim dengan syarat tidak mengakibatkan kemadaratan bagi siapapun.
Selanjutnya dalam Islam, hukum pertanahan pun diatur. Syariah Islam setidaknya memberikan 4 (empat) solusi mendasar terkait pertanahan. Pertama: Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât). Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketiga: kebijakan negara, memberikan tanah secara Cuma-Cuma kepada masyarakat. Keempat: Kebijakan subsidi negara.
Setiap orang yang telah memiliki/ menguasai tanah akan dipaksa oleh negara (Khalifah) untuk mengelola/ menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/ menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka.
Islam telah mengatur kepemilikan tanah sehingga tidak akan ada terjadi tumpang tindih tanah dan konflik. Jika negara memerlukan tanah untuk membangun IKN baru misalnya, maka akan terjadi transaksi oleh negara kepada individu secara suka rela tanpa konflik.
Demikianlah Islam mengatur kepemilikan dan pertanahan. Hanya dengan Islam, konflik lahan bisa diantisipasi. Dalam Islam pindah IKN tidak bakal menuai konflik lahan melainkan keberkahan.
Wallahu’alam...
Post a Comment